Thursday, December 22, 2005

Bicaralah Polly

Vonis 14 tahun penjara untuk Pollycarpus Budihari Priyanto tidak mengubah keyakinan banyak orang bahwa dia bukan satu-satunya pembunuh Munir, aktivis hak asasi manusia yang berani itu. Polly adalah seorang pilot Garuda Indonesia yang cukup senior. Rasanya Polly juga bukan tipe seorang ultranasionalis yang bersedia membunuh hanya karena Munir dianggap mencemarkan bangsa atau aparat militer. Sangat diragukan Polly bertindak atas nama pribadi dan beraksi seorang diri. Dalam bahasa majelis hakim, Polly ikut melakukan pembunuhan berencana terhadap aktivis hak asasi manusia itu.

Kata "ikut" menunjukkan pelaku pembunuhan berencana itu bukan seorang. Artinya, ada orang lain, atau sekelompok orang lain, yang menghabisi Munir dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, 7 September 2004. Pollycarpus tak punya urusan pribadi dengan Munir. Keduanya tidak akrab dan baru saling mengenal. Di persidangan, motif Polly membunuh Munir tak terbukti secara meyakinkan.

Yang diungkapkan majelis hakim, ada pihak luar yang memotivasi pembunuhan. Kesimpulan itu didapat dari bukti adanya kontak telepon sebanyak 41 kali antara Pollycarpus dan telepon seluler Muchdi Pr., mantan Kepala Deputi V Badan Intelijen Negara. Ketika didengar sebagai saksi, Muchdi membantah kenal dan pernah berhubungan dengan Polly. Hakim mengesampingkan bantahan itu. Majelis justru mencatat pengakuan Muchdi bahwa dia tidak suka kepada Munir yang selalu mengkritik pemerintah, terutama soal Tentara Nasional Indonesia dan Badan Intelijen Negara. Sayang, kesimpulan hakim tentang motivasi pembunuhan itu tak dikembangkan lebih jauh, misalnya dengan memerintahkan Muchdi diperiksa lebih intensif.

Persidangan juga belum mengungkap secara jelas cara Polly membunuh Munir. Jaksa mendakwa Polly memasukkan arsenik melalui minuman orange juice. Dakwaan ini diperkuat keterangan sejumlah saksi. Namun, hakim berpendapat lain. Dengan keyakinannya sendiri, tanpa didukung keterangan saksi ataupun alat bukti lain, hakim berpendapat racun itu masuk melalui mi goreng yang disantap Munir pada penerbangan Jakarta-Singapura. Masih menjadi misteri mengapa hakim mengambil kesimpulan berdasarkan keyakinan tanpa didukung fakta dan bukti kuat di persidangan.

Misteri demi misteri itu membuat kasus pembunuhan Munir tetap berkabut. Pollycarpus menolak disebut sebagai pembunuh Munir. Lalu siapa yang bersalah? Kalau Polly tak mau ketiban beban sendirian, dia harus mengungkapkan siapa dalang semua ini, dia harus berani bicara jujur dan blakblakan. Memang ada risiko, tapi hanya itu pilihan yang tersedia. Istri Polly, Hera, bisa-bisa saja berencana mengadu ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB atau menemui Paus di Vatikan, tapi tanpa membongkar yang sebenarnya, dia tak akan didengar.

Jadi, bicaralah Polly....

Diterbitkan di Koran Tempo, 22 Desember 2005

Wednesday, December 14, 2005

Komisaris Jenderal Suyitno Jadi Tersangka

Terlepas dari kelak terbukti bersalah atau tidak bersalah, penetapan status tersangka pada Komisaris Jenderal Polisi Suyitno Landung adalah langkah berani yang menunjukkan ada yang berubah di Markas Besar Kepolisian RI.

Pemeriksaan Suyitno, perwira polisi dengan pangkat tertinggi yang pernah diusut selama ini dalam kasus BNI, bisa jadi merupakan momentum baru bagi polisi untuk membersihkan diri dari berbagai tuduhan dan citra tak menguntungkan yang selama ini disandangnya.

Suyitno adalah perwira ketiga yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyuapan ketika ia menjadi petugas penyidik para tersangka pembobol Bank BNI yang merugikan negara Rp 1,7 triliun. Sebelumnya, Komisaris Besar Irman Santoso dan Brigadir Jenderal Samuel Ismoko telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan untuk kasus yang sama.

Keduanya tergolong orang penting di kepolisian. Itu sebabnya menarik untuk mengetahui sampai di tingkat mana permainan ini berjalan. Banyak yang percaya kasus pembobolan Bank BNI telah merayap ke mana-mana dan diduga melibatkan sejumlah perwira tinggi lain. Kalau benar begitu, penyidikan jangan berhenti hanya pada Suyitno, Irman, dan Ismoko. Pejabat yang lebih tinggi pangkatnya, baik yang sedang menjabat maupun yang telah pensiun, perlu juga diperiksa. Kepala Polri Jenderal Sutanto kali ini benar-benar perlu membuktikan kesungguhannya "mencuci" bersih rumahnya sendiri, sebelum kepolisian mengusut lembaga lain.

Tugas membersihkan rumah sendiri tidak begitu mudah. Bahkan kasus yang tersisa boleh dibilang alot, yakni menuntaskan kasus perwira yang memiliki rekening pribadi dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Banyak jalan yang tersedia untuk mengungkapkannya. Soalnya tinggal adakah niat untuk benar-benar memeriksa para jenderal berbintang dan perwira menengah polisi itu. Selain itu, lima tersangka tindak pidana pencucian uang ini yang dilaporkan masih berdinas perlu segera diproses sesuai dengan hukum.

Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk memulihkan citra diri. Keberhasilan polisi menghentikan aksi buron bom kelas tinggi Dr Azahari mendapat simpati yang luas dari masyarakat. Tinggallah kini membuat serangkaian tindakan yang bisa mendongkrak citra polisi di mata publik. Jelas tindakan itu harus dimulai dari membersihkan rumah kepolisian dari para polisi yang berperilaku tercela lebih dulu.

Tanpa kesungguhan, sulit citra polisi bisa diangkat, harapan bahwa polisi akan berubah pun segera pupus lagi. Dan kita selalu saja dengan pedih menerima humor yang sama sekali tak lucu: di negeri ini hanya ada dua polisi jujur, "polisi tidur" dan patung polisi.

Dimuat di Koran Tempo, edisi 15 Desember 2005

Thursday, November 17, 2005

Pemanggilan Bagir dan Ruki

Inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil dan mempertemukan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki tentu dilandasi itikad baik. Namun, itikad baik tak selalu menghasilkan solusi yang baik apabila cara yang ditempuh tidak tepat.

Sudah diketahui umum, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung tengah bersilang pendapat. Asal-muasalnya, Komisi menyidik kasus dugaan penyuapan di Mahkamah Agung. Komisi memanggil Bagir Manan untuk diperiksa, tapi yang bersangkutan tidak datang. Tarik-menarik kekuasaan terjadi. Sebagai lembaga penyidik yang dibentuk dengan undang-undang, Komisi merasa mempunyai hak memanggil siapa pun. Sebaliknya, Mahkamah Agung merasa belum ada aturan hukum yang jelas tentang pemeriksaan terhadap pemimpin lembaga tinggi negara itu.

Kebuntuan pun terjadi. Dalam kasus ini, semestinya Komisi hanya perlu lebih arif karena yang dipanggil untuk dimintai keterangan adalah Ketua Mahkamah Agung, lembaga tinggi negara yang menentukan arah hukum dan peradilan. Yang perlu dihindari Komisi, pemanggilan ini mendelegitimasi Mahkamah. Ini kurang menguntungkan untuk menjaga wibawa Mahkamah--tempat yang juga menjadi muara kasus-kasus yang ditangani Komisi.

Untuk menengahi, Presiden Yudhoyono lalu memanggil kedua pemimpin lembaga independen itu. Presiden mengaku mempunyai kepentingan bahwa semua lembaga negara bisa menjalankan tugas masing-masing dengan baik tanpa harus saling mengintervensi. Ternyata justru pemanggilan ini yang memicu polemik.

Meskipun Yudhoyono bertindak selaku kepala negara, inisiatif pemanggilan ini dianggap mengganggu independensi kedua lembaga itu. Apalagi Presiden bukan mediator. Pemanggilan itu justru menggerus prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang dianut oleh sebuah negara demokratis.

Pemanggilan itu juga kurang sehat bagi kehidupan sebuah negara hukum, kalau tak bisa dibilang menjadi preseden buruk dalam kehidupan bernegara. Bisa muncul kesan bahwa kedudukan presiden sebagai eksekutif lebih tinggi daripada MA sebagai lembaga yudikatif.

Semestinya kedua lembaga itu diberi kesempatan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ini penting agar proses hukum yang sedang berjalan tidak dicampuri oleh siapa pun.

Jika tetap ingin membantu, Presiden bisa memikirkan cara lain yang tak mengesankan campur tangan. Misalnya saja dengan mengundang Bagir dan Ruki minum kopi, makan malam, atau apa saja acara informal. Acara "santai" begini pasti jauh lebih baik dampak hukum dan politiknya ketimbang pemanggilan seperti sekarang ini. Seperti ketika membuat terobosan dengan memperkenalkan SMS, Presiden pasti belum kehabisan solusi cerdas untuk menyelesaikan kemelut yang melanda Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung.

Dimuat di Koran Tempo, 18 November 2005

Monday, October 31, 2005

Reshuffle dengan Pendekatan Positif

TERLEPAS dari pro dan kontra yang semakin ramai terdengar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang perlu merombak kabinet. Beban persoalan yang dihadapi pemerintahannya, setidaknya sampai empat tahun mendatang, akan semakin berat.

Di tengah lesunya perekonomian, pemerintah harus mengejar target pertumbuhan 6,6 persen. Di bidang penegakan hukum, korupsi yang kian menggurita membutuhkan penanganan yang cepat, tegas, dan cerdas. Angka pengangguran yang terus meningkat juga memerlukan penanganan yang tak gampang. Masih banyak lagi masalah yang perlu ditangani.

Sayangnya, Presiden memiliki pembantu dengan kualifikasi yang berbeda-beda. Tak semua menteri mempunyai program yang jelas untuk menjawab tantangan di depan. Kabinet ini juga terasa kurang solid, kurang koordinasi antara satu menteri dan yang lain. Ada menteri yang sudah tampak bekerja, tapi kurang meyakinkan kemampuannya untuk tantangan yang lebih berat.

Seandainya nanti Presiden jadi merombak kabinetnya, sebaiknya jangan mengikuti pola yang sekarang dipakai: melakukan reshuffle dengan pendekatan negatif. Pendekatan negatif dilakukan dengan menilai program yang sudah dilakukan oleh kabinet. Para menteri diukur dengan indeks prestasi. Seandainya ada menteri yang indeks prestasinya jauh dari yang diharapkan, Presiden akan mempertimbangkan untuk diganti.

Cara ini kurang bijaksana mengingat para menteri tak pernah tahu angka yang menjadi batas lulus atau tidak (passing grade). Cara ini seperti menjadikan menteri layaknya murid sekolah saja. Padahal ini urusan pemerintahan, bukan sekolah. Presiden bukanlah kepala sekolah untuk para menterinya.

Perombakan kabinet sebaiknya dilakukan dengan pendekatan positif. Presiden mencari menteri yang memenuhi kualifikasi, yakni mereka yang dianggap memiliki kemampuan menyelesaikan masalah-masalah yang telah diproyeksikan oleh Presiden. Orang yang dipilih adalah pribadi yang kuat, baik integritas maupun konsep manajerialnya.

Agar tugas Presiden lebih ringan, sebaiknya para menteri mengikat janji untuk bersedia diganti kapan saja bila tak lagi mampu menjawab tantangan. Tak perlu memaksa diri, silakan mundur sendiri apabila banyak programnya yang gagal. Dengan begitu, Presiden lebih mudah memilih tim sesuai dengan target dan beban yang ditetapkannya.

Partai-partai politik atau Wakil Presiden boleh saja mengajukan calon menteri dan dimintai pendapat. Ini realitas politik yang tak bisa ditolak oleh Presiden. Tapi konsultasi bukan berarti tawar-menawar atau malah membuat keputusan bersama-sama. Yang menentukan dan bertanggung jawab atas perombakan kabinet dalam sistem presidensial ini sepenuhnya adalah Presiden. Kalau calon menteri yang diajukan partai atau Wakil Presiden tak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Presiden, ya, sebaiknya tegas-tegas ditolak saja.

Dimuat di Koran Tempo, edisi 1 November 2005

Tuesday, October 18, 2005

Kapan Urusan Haji Bebas Korupsi

Tidak terlalu mengagetkan lagi apabila polisi menduga ada penyimpangan dalam pengadaan vaksin dan asuransi haji oleh Departemen Agama. Dugaan penyimpangan, yaitu markup, juga bukan barang baru dalam khazanah kamus korupsi di negeri ini. Bahwa itu diduga dilakukan Departemen Agama, yang selama ini seakan-akan mewakili moralitas bangsa ini, tak perlu membuat kita terkaget-kaget.

Meski baru diduga, inilah untuk kesekian kali terkuak bahwa urusan haji--urusan perjalanan mengunjungi rumah Allah--tidak lepas dari korupsi. Sebelumnya, sudah ada kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar dan Direktur Jenderal Haji Taufik Kamil--keduanya masih ditahan sampai sekarang.

Yang harus segera ditinjau ulang adalah peran Departemen Agama dalam proyek haji. Peran ganda sebagai penyelenggara sekaligus pengontrol perjalanan haji, yang disahkan undang-undang, sudah waktunya dikaji. Departemen itu memberangkatkan 95 persen jemaah setiap tahun, yang total biayanya sekitar Rp 5 triliun per tahun. Tapi, dari dana segunung itu, 200 biro perjalanan haji swasta hanya kebagian 5 persen. Departemen Agama boleh dibilang adalah biro perjalanan haji terbesar di dunia. Peran ganda itu terbukti rawan korupsi. Tugas Departemen Agama sesungguhnya cukup sebagai regulator.

Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji perlu cepat dirampungkan. Undang-undang ini tidak sesuai dengan prinsip good governance karena sistem pengelolaan dana ada pada pemerintah yang cenderung tertutup dalam hal manajemen haji.

Padahal perjalanan ibadah yang kolosal itu--setiap tahun ini diikuti tak kurang dari 200 ribu hujjaj--menuntut manajemen yang ketat dan akuntabilitas yang tinggi. Mengelola dana Rp 5 triliun tak bisa dilakukan tanpa manajemen modern yang transparan dan sikap profesional. Kebocoran gampang terjadi ketika pengelolanya memasukkan keinginan menangguk untung secara curang.

Dengan manajemen yang andal dan jujur, bisa diharapkan ongkos naik haji akan lebih murah. Maka, koran ini menyarankan, jangan pilih-pilih bulu dalam urusan pemberantasan korupsi perjalanan suci ini. Yang bersalah langsung ditangkap, diperiksa, disidangkan, dihukum seberat-beratnya. Aparat Departemen Agama yang terlibat harus dihukum lebih berat. Bukankah mereka ini pagar makan tanaman?

Selanjutnya, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, perlu audit kinerja Departemen Agama, khususnya dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kedua, memberikan kesempatan lebih banyak kepada pihak swasta untuk mengelola haji agar terjadi kompetisi yang adil dan terbuka. Di masa depan, harus dipastikan setiap anggota jemaah mendapat pelayanan yang baik, sesuai dengan kemampuannya, dalam menempuh ibadah penting itu. Jemaah yang biasanya sudah bertahun-tahun menabung untuk naik haji seharusnya dimuliakan, bukan dijadikan sapi perahan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Oktober 2005

Tuesday, October 11, 2005

Perlukah Amrozi cs Segera Dieksekusi

Pemindahan tiga terpidana bom Bali I--Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron--dari penjara Kerobokan, Bali, ke Pulau Nusakambangan merupakan keputusan yang tepat. Akibat meledaknya bom Bali pada Sabtu (1/10), warga Bali marah dan menuntut agar para pelaku bom Bali I yang sudah divonis mati segera dieksekusi. Memang belum pasti pelaku kedua kejahatan itu berkaitan, tapi tak ada yang bisa memastikan juga bahwa kedua kejadian itu tak berhubungan sama sekali. Sebelum kemarahan orang Bali terhadap para pelaku bom itu berubah jadi tak terkendali, pemindahan memang perlu dilakukan.

Kalau para terpidana itu tak dipindahkan, pengusutan para teroris yang meledakkan bom di Kuta dan Jimbaran pada 1 Oktober lalu justru bisa terganggu. Petugas pasti jadi lebih sibuk menghadapi pengunjuk rasa dan massa ketimbang menyelidiki pelaku bom Bali yang belum tertangkap. Padahal pengejaran otak bom Bali II, Oktober 2005, tentu perlu mendapat prioritas sekarang ini.

Tak ada orang normal yang tak marah dengan aksi bom di Bali. Sangat penting mencari benang merah antara dua kejahatan biadab itu. Sebelum itu dilakukan, kita semua harus menahan diri, tak segera menghakimi Amrozi cs, betapapun jengkelnya kita kepada pelaku bom Bali I itu. Apalagi polisi belum mempunyai bukti yang cukup untuk mengaitkan atau membebaskan Amrozi cs dari aksi teror di Kuta dan Jimbaran pada 1 Oktober lalu. Sejauh yang kita tahu, polisi masih mengumpulkan bukti dan keterangan para saksi.

Amrozi dan kawan-kawannya memang sudah terbukti sebagai pelaku peledakan bom pada 12 Oktober 2002 dan sudah pula divonis hukuman mati. Mahkamah Agung juga sudah menolak kasasi mereka. Tapi Pengadilan Negeri Denpasar -- sesuai dengan ketentuan hukum, yaitu surat edaran Mahkamah Agung nomor MA/PEMB/2057/86 tertanggal 26 Februari 1986 -- mengajukan grasi kepada Presiden.

Hukum harus dijunjung tinggi. Suka tidak suka, kita harus menghormati proses hukum yang masih berjalan. Amrozi dan kawan-kawan tak bisa dieksekusi sebelum Presiden mengeluarkan grasi.

Pemberian grasi adalah hak prerogatif presiden yang diatur oleh konstitusi. Terlepas dari apakah kita setuju atau menolak eksekusi mati, Presiden harus segera merespons permohonan grasi itu. Apakah Presiden mempertimbangkan pemanfaatan Amrozi sebagai petunjuk untuk mengungkap bom Bali pada 1 Oktober 2005, sehingga grasinya ditunda atau justru dipercepat, kita beri kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkannya.

Sementara itu, apabila dalam penyelidikan polisi segera terbukti bahwa Amrozi dan kawan-kawan jelas terlibat dengan aksi teror di Kuta dan Jimbaran awal bulan lalu, Presiden harus segera mengeluarkan keputusan tentang grasi itu. Dan kira-kira kita sudah bisa menebak apa isi keputusan Presiden itu.

Diterbitkan di Koran Tempo, 12 Oktober 2005

Friday, October 07, 2005

Gagasan Komando Teritorial

Terorisme adalah kejahatan transnasional. Pelakunya bisa datang dari mana saja, bisa jadi berhubungan dengan banyak pihak di berbagai negara, dan melakukan aksi di mana saja. Mungkin karena menyangkut ancaman dari luar negeri itulah TNI berencana menghidupkan kembali komando teritorial -- seperti dikatakan Panglima TNI seusai peringatan hari ulang tahun TNI kemarin. Niat meningkatkan kewaspadaan terhadap teror memang perlu, tapi komando teritorial mungkin bukan jawaban tepat.

Jika menyangkut aksi teror di dalam negeri, semestinya polisilah yang berwenang melakukan penyelidikan, pengusutan, penangkapan, dan seterusnya. Kewenangan ini diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Polisi pulalah yang bertanggung jawab mencegah terjadinya aksi teror, dibantu oleh aparat intelijen.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang menyebutkan bahwa militer dapat melakukan operasi militer selain perang, antara lain untuk menghadapi terorisme. Namun, dalam kondisi negara normal, fungsi teritorial adalah tugas pemerintah sipil. Militer hanya menjalankan tugas ini pada saat keadaan darurat militer. Karena Indonesia tidak berada dalam kondisi darurat, militer tak diperkenankan menjalankan fungsi teritorialnya secara independen, tapi di bawah koordinasi pemerintah.

Menangkal kegiatan teroris harus dilakukan, tapi tidak perlu sampai membuat TNI memiliki aparat hingga ke desa-desa. Mengaktifkan kembali komando teritorial sampai menanam aparat di tingkat desa -- disebut bintara pembina desa (babinsa) -- berpotensi membuatnya terjerumus dalam kesalahan masa lalu.

Di zaman Orde Baru dulu, peran babinsa lebih banyak berurusan dengan penggalangan massa untuk memenangkan Golkar, sebagai alat pemerintah, ketimbang memantau keamanan di desa-desa. Sudah banyak cerita bahwa babinsa justru menimbulkan ketegangan sosial di desa jika penduduk di sebuah desa berseberangan dengan penguasa.

Kehadiran babinsa juga mengandung potensi konflik karena polisi juga menempatkan aparatnya di desa dan perangkat desa pun memiliki pertahanan sipil (hansip). Lagi pula, efektivitas komando teritorial dalam menangkal terorisme juga bisa dipertanyakan. Sudah terbukti bahwa aksi terorisme jalan terus, bahkan di tempat-tempat yang dijaga ketat, baik di sini maupun di negara maju. Amerika Serikat saja, yang memiliki pengamanan berlapis-lapis, menjadi korban ketika dua pesawat ditabrakkan oleh teroris ke menara kembar World Trade Center pada 2001.

Tapi pencegahan terorisme bukan tak perlu dilakukan. Untuk ini lebih baik kinerja aparat kepolisian di desa-desa dan di kampung-kampung yang dibereskan. Kualitas kerja intelijen negara juga perlu diperbaiki. Kalau semua ini dirasa kurang memadai, dan TNI tetap merasa perlu ikut membantu dengan gagasan komando teritorial, sebaiknya soal ini diputuskan oleh wakil rakyat di DPR.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Oktober 2005

Tuesday, September 27, 2005

JANGAN BEKERJA TERLALU KERAS!

Tuesday, September 20, 2005

Ahmadiyah Teraniaya

PENYERBUAN dan perusakan puluhan rumah dan masjid milik pengikut Ahmadiyah di Cianjur, Jawa Barat, adalah perbuatan kriminal yang harus dikecam keras. Di negeri Pancasila ini, tidak ada (dan tak boleh ada) kelompok yang mempunyai otoritas menggunakan kekerasan untuk menindak yang lain. Kelompok penyerbu di Cianjur itu tidak hanya mencederai ajaran agamanya, tapi juga melabrak aturan hukum.

Jika pelakunya tidak dihukum setimpal, itulah tanda bahwa otoritas penegak hukum di negeri ini sudah tak mampu melindungi warganya. Negeri tanpa penegak hukum yang bisa diandalkan sungguh mengerikan. Aksi di Cianjur itu bukan tak mungkin segera diikuti oleh aksi serupa di daerah lain. Kita tahu bahwa aset pengikut Ahmadiyah banyak macamnya dan tersebar di berbagai daerah. Sebelum aksi perusakan massal terjadi, para pelaku kekerasan di Cianjur harus ditangkap dan diproses secara hukum. Apalagi yang dirusak adalah masjid, tempat ibadah yang seharusnya dijaga oleh kelompok mana pun, termasuk kelompok yang mengatasnamakan Islam di Cianjur itu. Pantas juga jika para pelaku dikenai tambahan pasal penodaan terhadap agama dengan aksi beringasnya ini.

Pendapat ini dikemukakan bukan untuk membela ajaran Ahmadiyah. Tindakan hukum mesti diambil karena kebebasan memeluk keyakinan masing-masing merupakan hak konstitusional setiap warga di negeri ini. Mereka yang menghalangi kebebasan memilih berarti melanggar konstitusi.

Ajaran Ahmadiyah boleh-boleh saja dipersoalkan atau digugat, tapi itu jelas bukan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok ini. Di negara demokratis ini, mereka yang merasa terganggu oleh keyakinan pihak lain memang harus mampu menahan diri. Jika merasa pihak lain sesat, silakan membuka dialog untuk mempertemukan pandangan. Kalau pandangan tidak bisa dipertemukan, sepakatlah untuk berbeda pandangan dengan damai.

Suka tidak suka, demokrasi menuntut setiap warga mampu bersikap seperti Voltaire. Pemikir Prancis ini pernah mengatakan, "Aku sama sekali tak setuju dengan pendapatmu, tapi hak kamu untuk berpendapat akan saya bela mati-matian." Maka silakan saja menganggap Ahmadiyah atau siapa pun sesat, tapi hak konstitusional mereka untuk secara bebas memilih keyakinannya sendiri tetaplah harus dihormati.

Perbedaan keyakinan bukan masalah hukum. Tapi tindak kekerasan terhadap orang lain jelas sebuah perbuatan kriminal. Jika terus dibiarkan, karena aparat selalu merasa "kikuk" menindak kelompok yang membawa-bawa nama agama, kekerasan akan bersimaharajalela dan menginjak-injak aturan hukum yang berlaku. Negara wajib melindungi hak konstitusional warganya, termasuk pengikut Ahmadiyah. Bila gagal, berarti amanat konstitusi sudah dilanggar.

Diterbitkan di Koran Tempo, 21 September 2005

Tuesday, September 13, 2005

Sidang Kabinet Jarak Jauh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya suka memanfaatkan kecanggihan teknologi -- satu kebiasaan yang bagus. Dialah presiden pertama Indonesia yang menyediakan nomor khusus untuk menerima pesan pendek (SMS) dari rakyatnya. Sekarang, ketika melawat ke Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono menjadi presiden pertama yang memimpin rapat rutin kabinet melalui fasilitas konferensi jarak jauh (teleconference). Rapat jarak jauh ini rencananya dilakukan setiap hari selama sepekan lawatannya.

Teleconference bukanlah jenis teknologi baru, tapi bukan juga layanan yang murah. Kalau Presiden Yudhoyono memanfaatkannya sekarang, yang segera terbayang adalah sebuah rapat yang harus memutuskan persoalan yang berat dan mendesak. Atau setidak-tidaknya Presiden merasa perlu bertatap muka untuk mendengar laporan anggota kabinetnya sebelum keputusan yang penting dan mendesak diambil. Sampai dua kali rapat jarak jauh dilakukan, memang belum ada keputusan besar, genting, dan mendesak yang dikeluarkan. Umumnya, Presiden Yudhoyono -- yang harus tetap terjaga pada sekitar pukul 2 dini hari waktu AS -- hanya meminta laporan sekitar pelaksanaan program yang sedang berjalan.

Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, menurut kelaziman ketatanegaraan selama ini. Setiap kali presiden ke luar negeri, ia akan mengeluarkan surat keputusan presiden, yang berisi pendelegasian wewenang kepada wakil presiden. Dalam keputusan presiden itu bisa diatur agar wakil presiden yang diberi delegasi harus selalu berkonsultasi kepada presiden bila hendak mengambil keputusan. Cara praktis ini dilakukan pertama kali oleh Bung Karno, dilanjutkan di zaman Abdurrahman Wahid.
Apabila presiden ingin mendengar laporan umum tentang situasi di dalam negeri, ia bisa menelepon wakilnya. Dia juga bisa meminta Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet untuk memberinya laporan setiap hari.

Di Jakarta, cukuplah wakil presiden yang memimpin sidang kabinet. Dalam kasus sangat urgen, untuk mengambil keputusan tentang persoalan yang gawat dan mendesak, yang tak bisa dilakukan tanpa kehadiran seorang presiden, barulah telekonferesi diadakan. Pendelegasian wewenang yang dilakukan dengan tepat, yang merupakan praktek berpemerintahan yang baik, tentu menambah kredibilitas pemerintah yang sedang berkuasa. Kesan bahwa kabinet ini kompak, dengan personel yang mampu mengatasi keadaan, dan mampu bekerja tanpa pengawasan secara ketat harus ditunjukkan kepada umum di masa sulit seperti sekarang ini.

Sementara itu, presiden yang berada di luar negeri bisa berkonsentrasi penuh pada misi lawatannya. Tentu banyak yang perlu ditemui dan dikunjungi Presiden Yudhoyono di AS. Kalau ada waktu yang tersisa, lebih baik dipakai untuk beristirahat saja, agar esok hari lebih segar dan lebih banyak ide untuk memperbaiki kondisi negeri yang sedang dipimpinnya ini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 September 2005

Sunday, August 07, 2005

Heboh Hasil Pilkada Depok

Banyak pertanyaan sekitar keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan gugatan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad dari Partai Golkar dalam pemilihan Wali Kota Depok. Putusan ini menganulir kemenangan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra dari Partai Keadilan Sejahtera yang sebelumnya ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok.

Putusan tersebut bersifat final sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan karena itu tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali terhadapnya.

Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan itu sebagai "wakil" Mahkamah Agung yang telah mengeluarkan Peraturan MA Nomor 2/2005 bahwa semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah diputuskan hanya sampai tingkat pengadilan tinggi.

Meskipun sifatnya final, ada beberapa hal yang perlu mendapat penjelasan. Apalagi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat ini merupakan putusan sengketa hasil pilkada pertama yang memenangkan pemohon. Belum ada preseden hukum dalam kasus pilkada ini.

Dalam amar putusannya, misalnya, majelis hakim mengambil kesimpulan berdasarkan asumsi yang diajukan termohon dan bukan alat bukti. Majelis meyakini bahwa pemohon, Badrul Kamal, kehilangan sekitar 60 ribu suara. Membuktikan hilangnya suara sebanyak itu tidaklah mudah dan tak sederhana. Pengecekan harus dilakukan di lapangan dan tak bisa dikerjakan dari balik meja kerja sambil membolak-balik timbunan kertas. Mendasarkan putusan pada laporan satu pihak bisa mendatangkan masalah, juga ketidakpuasan yang luas. Kurang dalamnya penelitian di lapangan bisa berakibat luas dan sukar direhabilitasi mengingat sifat putusan yang final itu.

Dampak politik putusan ini cukup serius. Dengan dikabulkannya gugatan pemohon, secara tidak langsung dianggap telah terjadi kecurangan dalam pilkada Depok. Kecurangan itu, bila benar ada, tentu dilakukan oleh salah satu pasangan calon dan ini perlu diusut.

Tentu Pengadilan Tinggi Jawa Barat mempunyai argumentasi. Maka, agar tidak timbul bermacam kecurigaan, disarankan agar Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial meneliti proses persidangan ini. Jika kelak semua prosedur dinyatakan benar, putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat perlu dijadikan preseden berharga dalam ajang pilkada ini.

Sebaliknya, bila dalam pembuatan putusan ditemukan adanya kesalahan prosedur, kelalaian, atau pelanggaran hukum, Mahkamah Agung atas rekomendasi Komisi Yudisial perlu segera mengeluarkan pengumuman. Hasil pilkada Depok mungkin tak bisa diubah lagi, tapi apa yang terjadi di Depok bisa diharapkan tidak terulang di daerah lain. ***

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Agustus 2005

Monday, August 01, 2005

Re-Humanize Yourself

I really wanna hear this song now ....

He goes out at night with his big boots on
None of his friends know right from wrong
They kick a boy to death 'cause he don't belong
You've got to humanize yourself

A policeman put on his uniform
He'd like to have a gun just to keep him warm
Because violence here is a social norm
You've got to humanize yourself

Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself

I work all day at the factory
I'm building a machine that's not for me
There must be a reason that I can't see
You've got to humanize yourself

Billy's joined the National Front
He always was (just) a little runt
He's got his hand in the air with the other cunts
You've got to humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself

I work all day at the factory
I'm building a machine that's not for me
There must be a reason that I can't see
You've got to humanize yourself

A policeman put on his uniform
He'd like to have a gun just to keep him warm
Because violence here is a social norm
You've got to humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself
Re-humanize yourself

Monday, July 25, 2005

Jaksa Agung Jangan Menyerah

ADA berita baik dan berita buruk ketika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bicara dalam rapat kerja Lembaga Bantuan Hukum di Bali kemarin. Berita baik dari Bali itu cukup menumbuhkan harapan. Jaksa Agung menyatakan, koruptor dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan dijerat dengan Undang-Undang Korupsi. Sebelumnya, pelaku korupsi APBD hanya dikenai pasal-pasal Peraturan Pemerintah Nomor 110/200 tentang Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Korupsi jelas lebih keras sanksi hukumnya ketimbang peraturan pemerintah tadi.

Namun, berita baik ini seakan ditelan berita buruknya. Jaksa Agung memerintahkan para jaksa menunda penanganan kasus korupsi anggaran daerah. Alasannya, sejumlah pengadilan membebaskan para terdakwa. Sejak Oktober 2004 memang banyak kasus korupsi anggaran daerah disidangkan. Sejak itu sudah lima pengadilan membebaskan terdakwa dengan pertimbangan, yang terjadi bukan korupsi tapi kesalahan administrasi.

Sesungguhnya, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, dari 62 kasus dugaan korupsi DPRD, hanya satu yang tersangkanya bebas murni, yaitu di Cianjur. Selebihnya masih menunggu proses banding dan kasasi, atau malah masih dalam tahap pemeriksaan, penyidikan. Dari hasil ini, Jaksa Agung memang perlu mencermati cara kerja anak buahnya dalam membuat dakwaan, tapi tak perlu menunda menyidik perkara.

Menunda penyidikan akan membuat penanganan kasus korupsi di daerah terbengkalai. Padahal korupsi anggaran daerah ini sudah bagai "hujan merata" di hampir semua provinsi. Terlalu banyak anggota Dewan di daerah yang tersangkut. Bila "wabah" ini gagal dicegah, daya rusaknya terhadap rakyat di daerah lebih buruk daripada wabah flu burung.

Pemberantasan korupsi juga tak boleh kehilangan momentum. Jaksa Agung perlu bekerja searah dengan Presiden yang bertekad menjadikan 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi. Dalam kasus korupsi anggaran daerah, mencari penyebab kekalahan jaksa di lima pengadilan tadi lebih bermanfaat. Harus bisa ditunjukkan kepada publik, yang terjadi bukanlah kerja sama yang kompak: surat dakwaan sengaja dibuat "lemah", disambut vonis yang sudah "diarahkan".

Kita khawatir penundaan oleh Jaksa Agung akan diartikan oleh para koruptor anggaran daerah sebagai kalah sebelum bertanding. Jangan sampai muncul kesan Jaksa Agung kurang keras berusaha dalam kasus ini. Abdul Rahman perlu menyadari bahwa beban hidup masyarakat yang bertambah berat menerbitkan dukungan yang tidak kecil bagi upaya pemberantasan korupsi. Dukungan ini tidak boleh dibiarkan surut dengan penundaan penyidikan koruptor anggaran daerah ini. Jaksa Agung Abdul Rahman sudah waktunya menunjukkan bahwa ia masih sanggup menjawab antusiasme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. ***

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 Juli 2005

Monday, July 18, 2005

Sidang Bersama, Kenapa Tidak

DEWAN Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat mestinya tak perlu mempermasalahkan siapa yang berhak mengundang Presiden untuk membacakan pidato nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006, Agustus mendatang. Kedua lembaga tersebut juga tak perlu bersitegang dalam menentukan sidang terpisah atau bersama-sama hanya untuk mendengarkan masalah yang sama. Urusan sederhana tak perlu dibuat rumit, asalkan kedua belah pihak mau berkomunikasi berdasarkan sikap saling menghargai dan kesetaraan.

Baik DPR maupun DPD merupakan lembaga negara. Hak dan fungsi keduanya diatur dalam konstitusi. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah.

Meski berbeda hak dan fungsinya, pada prakteknya kedua lembaga itu setara di mata konstitusi. Kesetaraan itu diperoleh dari prinsip perwakilan dan perolehan suara. DPD merupakan perwakilan daerah-daerah. Baik anggota DPR maupun DPD dipilih melalui pemilihan umum. Hanya, konstitusi mengatur jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah empat orang, karena itu semua DPD berjumlah tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.

Karena posisinya setara, tak perlu ada perasaan yang satu lebih tinggi daripada yang lain. DPR, misalnya, tak harus merasa paling berhak membuat undang-undang hanya karena konstitusi menyatakan demikian. DPD pun tak perlu merasa jadi underdog, meskipun perannya hanya memberi masukan kepada DPR dalam pembuatan undang-undang. Kedua lembaga negara ini jangan terlalu terikat pada kekakuan atau basa-basi bahasa konstitusi. Daripada terjebak dalam sesuatu yang tak perlu, lebih baik melakukan terobosan-terobosan untuk memecah kebuntuan, seperti kasus undangan kepada Presiden ini.

Salah satu terobosan adalah melakukan sidang bersama untuk mendengarkan rancangan anggaran yang diajukan Presiden. Semangat kesetaraan perlu dikedepankan dalam konteks ini, lagi pula tak ada larangan untuk ini. Kalau tidak ada larangan, mengapa harus bersusah payah berdebat mengenai lembaga mana yang harus mengundang Presiden? Kekhawatiran bahwa forum sidang bersama itu berubah menjadi sidang MPR juga berlebihan. Sidang MPR jelas berbeda dengan sidang bersama antara DPR dan DPD.
Sidang bersama, selain hemat waktu, pasti jauh lebih irit anggaran. Tak perlu ada waktu dan pengeluaran tambahan hanya untuk mendengarkan pidato Presiden atas masalah yang sama. Mumpung pemerintah juga sedang melakukan kampanye penghematan, tak ada salahnya pilihan ini dicoba. ***

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Juli 2005

Tuesday, July 05, 2005

Tiga Gerakan Muhammadiyah

KETUA baru Muhammadiyah, siapa pun yang terpilih dalam muktamar yang ke-45 di Malang, diharapkan mengingat kembali tiga gerakan Muhammadiyah: Islam, dakwah, dan tajdid (pembaruan). Sebagai gerakan Islam dan dakwah, Muhammadiyah berkembang pesat. Organisasi itu kabarnya mempunyai 25 juta pengikut. Sekolah, rumah sakit, dan fasilitas sosial yang didirikan organisasi ini berkembang baik. Tapi sebagai gerakan pembaruan Islam, Muhammadiyah bisa jauh lebih maju dari apa yang ditunjukkannya sekarang.

Tiga gerakan itu sebenarnya bisa lebih intensif digarap apabila Muhammadiyah menjaga jarak dengan politik. Niat beberapa kadernya untuk mendirikan partai baru, menurut koran ini, haruslah dicegah. Sudah terbukti, tidak efektif membawa Muhammadiyah sebagai "jualan politik". Partai Amanat Nasional yang "dekat" dengan Muhammadiyah terbukti hanya mengumpulkan suara jauh lebih sedikit daripada jumlah pengikut Muhammadiyah. Amien Rais, bekas Ketua Muhammadiyah yang mencalonkan diri sebagai Presiden RI, juga gagal meraih suara sebanyak pengikut Muhammadiyah.

Karena itu, keputusan Amien Rais dan Syafi'i Ma'arif yang tak bersedia dipilih kembali sebagai ketua merupakan teladan bagus. Selain agar kaderisasi bisa berjalan teratur, organisasi itu perlu figur yang tidak terkait dengan kegiatan politik praktis. Muhammadiyah perlu seorang manajer andal bagi sebuah "korporasi keagamaan" besar dengan banyak fasilitas layanan sosial. Kalau layanan umat yang hendak dituju, seyogianya yang terpilih nanti bukanlah seorang aktivis politik yang mewakili kepentingan politik tertentu selama ini.

Dari luar panggung politik, dengan jaringan yang luas, Muhammadiyah lebih leluasa membantu memecahkan banyak persoalan bangsa. Amien Rais menyebut tujuh persoalan utama bangsa, di antaranya, kemiskinan, korupsi, separatisme di Aceh dan Papua, narkoba, dan hilangnya kepercayaan diri bangsa.

Lewat pengajaran di sekolah, bahaya narkoba bisa ditangkal, kemudaratan tindakan korupsi bisa ditanamkan sejak usia sekolah. Ada soal lain yang bisa dilakukan, Muhammadiyah disarankan memikirkan pendidikan yang kian mahal di negeri ini. Dengan pendidikan yang terjangkau untuk semua kelas sosial, anak-anak tak mampu bisa ditampung, dan kehidupan kalangan tak berpunya diharapkan bisa lebih baik.

Semua langkah penting Muhammadiyah ini bisa dilakukan dengan intens bila pengurus organisasi ini tidak terlibat dalam kegiatan politik dan perebutan kekuasaan. Untuk itu, sekali lagi, diharapkan Muhammadiyah tidak ikut-ikutan mendukung partai yang ada sekarang. Biarlah suara warga Muhammadiyah disalurkan ke partai mana saja. Muhammadiyah lebih baik meneguhkan perannya sebagai lokomotif gerakan madani--yang menghela bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Dimuat di Koran Tempo, edisi 6 Juli 2005

Thursday, June 30, 2005

Republik SMS

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang trendi--setidaknya dalam hal penggunaan alat komunikasi. Dia menjadi presiden pertama Indonesia yang mengirim pesan pendek atau SMS kepada rakyatnya. Isi pesan itu mulia, ajakan memerangi narkoba.

Indonesia memang Republik SMS. Sekarang sudah jamak orang saling kirim SMS. Selain terkesan lebih trendi, ide SMS oleh Presiden Yudhoyono orisinal dan--ini yang penting--tak melanggar aturan. Kita layak menghargai niat baik Presiden ini.

Namun, niat baik saja belum cukup. Ada beberapa hal yang harus dibuat jelas. Soal hak mengirim SMS, misalnya. Apakah seorang presiden punya hak meminta semua operator telepon seluler mengirimkan pesan? Siapa yang memberikan hak istimewa ini? Bagaimana bila wakil presiden, menteri, gubernur, wali kota, atau pejabat pemerintah lain menuntut hak yang sama?

Bila memang semua pejabat diberi hak yang sama, bisa-bisa banjir SMS menyerbu pengguna telepon seluler setiap hari. Padahal SMS itu belum tentu bermanfaat atau malah tak ada gunanya sama sekali bagi pengguna telepon. Ini dampak yang harus dipikirkan.

Kita patut pula bertanya soal biaya. Kalau diasumsikan ongkos mengirim satu SMS Rp 300 dan jumlah pelanggan telepon seluler yang dikirimi sekitar 10 juta orang, siapa pula yang akan membayar biaya pengiriman sebesar Rp 3 miliar itu? Apabila operator membebankan biaya ini kepada konsumen, ini jelas pelanggaran hak konsumen. Seandainya biaya itu ditanggung operator, sampai kapan operator sanggup menggratiskan layanan SMS sosial semacam itu?

Perlu juga dipertimbangkan wilayah privasi rakyat dalam pengiriman SMS ini. Telepon seluler adalah layanan untuk pribadi di wilayah pribadi. Pelanggan membayar sendiri tagihannya. Dia punya hak menolak pesan yang dirasakannya tak penting atau malah "mengganggu". Tidak seorang pun di negeri yang demokratis ini boleh memaksa pelanggan telepon seluler menerima pesan apa saja di wilayah pribadinya. Ini sama saja dengan telepon rumah kita tiba-tiba berdering dan si penelepon menyampaikan pesan yang baik-baik tanpa kita minta. Hak pelanggan untuk tidak bersedia menerima telepon itu, seperti hak untuk menolak SMS yang berisi ajakan baik, harus juga dihormati.

Memang benar, pemakai telepon seluler yang tak membutuhkan SMS itu bisa langsung menghapusnya, tapi SMS sudah telanjur masuk dan hak pelanggan untuk menolak sudah diabaikan.

Kita sambut ajakan Presiden untuk memerangi narkoba. Tapi sudah selayaknya jika Presiden mengkaji ulang pengiriman SMS massal ini--ketimbang jadi polemik yang tak perlu dan mengurangi pentingnya ajakan pemberantasan narkoba.

Diterbitkan di Koran Tempo, edisi 30 Juni 2005

Monday, June 13, 2005

Ayo SMS Presiden

LANGKAH Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka akses langsung bagi rakyat untuk menghubunginya patut dipuji. Baru pertama kali ini ada seorang presiden yang menyediakan nomor telepon genggamnya untuk menerima sandek (pesan pendek atau SMS) dari masyarakat. Sejak akhir pekan lalu, Presiden SBY membuka nomor khusus 0811-109949 untuk menampung informasi apa saja yang dianggap penting diketahui Presiden. Saking bersemangatnya warga mengirim sandek, bahkan info soal benda-benda keramat pun ikut dikirimkan kepada Presiden.

Dibandingkan para pendahulunya, SBY beruntung hidup di zaman sandek ini. Sekarang ini bahkan tukang bakso keliling pun memiliki hand-phone dan keranjingan ber-sandek ria. Mau memilih penyanyi idola, dai atau pelawak favorit, ikut kuis sepak bola, semua lewat sandek. Karena itu, boleh-boleh saja bila Presiden ikut demam sandek. Selain terkesan lebih “gaul” dengan rakyat, idenya orisinil, dan niatnya layak kita hargai.

Membuka hotline sandek adalah pilihan yang tepat karena mudah, murah dan melampaui jalur birokrasi. Yang terpenting, pesan dijamin sampai ke telepon Presiden tanpa sensor, tanpa khawatir dicegat ajudan atau satpam.

Dulu di zaman Presiden Soeharto ada layanan Kotak Pos 5000 yang disediakan untuk menampung keluhan, usul, saran, kritik dari masyarakat. Kita tak pernah tahu kasus apa saja yang dicarikan solusi lewat kotak pos itu. Belakangan tak jelas nasib kotak pos itu.

Layanan sandek SBY juga mengundang resiko, misalnya ada banyak pengirim pesan iseng, kasar, atau bahkan merasa SBY adalah teman sebaya yang bisa diajak membahas perceraian artis atau dandanan penari latar dangdut yang kian seronok. Pasti tidak semua pesan yang masuk ada gunanya. Maka, sebaiknya masyarakat hanya mengirim info yang berguna, misalnya soal korupsi atau pelayanan untuk umum.

Yang perlu diperbaiki, satu nomor akses dipastikan kurang menampung animo masyarakat yang begitu besar. Perlu ada beberapa nomor akses. Terbukti, hanya dalam tempo sehari layanan itu sudah "tulalit" alias tak bisa diakses lagi.

Di balik langkah Presiden ini seharusnya para pembantunya mafhum bahwa ada yang tak beres dengan jalur komunikasi antara birokrasi dengan masyarakat. Sebab, seandainya saluran komunikasi itu lancar, yang disampaikan ke atas bukan info ‘asal bapak senang’, tentu Presiden tak perlu menyediakan hotline khusus. Soalnya tinggal, kapan para jajaran birokrasi – dari menteri sampai bupati -- membuka akses yang sama luasnya bagi rakyat -- melalui sandek, telepon khusus, email, atau apa saja. Akses ini penting, agar Presiden SBY tidak “tertimbun” tumpukan sandek.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Juni 2005

Tuesday, June 07, 2005

Ba'asyir dan Transparansi Sistem

Kasus Abu Bakar Ba'asyir adalah contoh betapa amburadulnya sistem manajemen perkara pengadilan kita. Urut-urutan kejadian berikut ini menunjukkannya. Pengacara Ba'asyir, terpidana kasus terorisme ini, pada 4 Juni meminta kliennya dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Alasannya, hari itu masa penahanan Ba'asyir sudah habis, dan tak ada satu pucuk pun surat perpanjangan penahanan yang diterima Ba'asyir dan pengacaranya.

Seharusnya penahanan lebih dari 4 Juni itu tak punya dasar hukum. Tapi Direktur Jenderal Pemasyarakatan, dan tentu juga LP Cipinang, menolak membebaskan Ba'asyir. Ternyata pada 3 Juni, Dirjen Pemasyarakatan sudah menerima surat perintah perpanjangan penahanan Ba'asyir dari Mahkamah Agung. Surat inilah yang pada saat dikeluarkan belum sampai ke tangan Ba'asyir atau pengacaranya--setidaknya begitulah versi pengacara Ba'asyir.

Debat tentang tanggal surat itu diterima Ba'asyir pasti akan panjang. Masing-masing pihak akan bersikukuh dengan versinya, karena kedua pihak tahu tanggal surat itu sampai ke tangan Ba'asyir merupakan kunci untuk menentukan pihak mana yang berbohong.
Kita sepakat bahwa Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memperpanjang masa penahanan Ba'asyir. Tapi terasa ada yang tidak transparan dalam urusan administrasi perkara ini. Yang tidak transparan itu adalah kenyataan bahwa publik tak pernah bisa mengecek tanggal berapa sesungguhnya surat perintah perpanjangan masa penahanan Ba'asyir dikeluarkan.

Ini bisa dihindari seandainya manajemen perkara pengadilan kita dibuat transparan. Sistem yang transparan memungkinkan pihak yang beperkara dan publik dapat memantau perkembangan suatu kasus. Ini seperti layanan 121 yang dulu ada di Mahkamah Agung. Dengan layanan 121, para pencari keadilan yang ingin mengetahui perkembangan perkara, tapi berada jauh dari lokasi MA, cukup menekan nomor telepon 121.

Di era Internet ini, layanan semacam 121 bisa dikembangkan menjadi sistem online seperti yang pernah diusulkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Semua tingkat pengadilan sampai Mahkamah Agung tinggal mengisi semua informasi yang berkaitan dengan perkara di situs masing-masing. Yang diisi, misalnya siapa terdakwa, apa dakwaannya, kapan disidangkan, berapa hukumannya, masa tahanan, bagaimana putusannya. Dengan layanan ini para pencari keadilan, juga publik yang ingin mengetahui perkembangan perkara, bisa mengaksesnya lewat Internet dari mana saja.

Dan kasus keterlambatan surat-menyurat, dan "kelalaian" manusia, yang merugikan terpidana seperti dalam kasus Ba'asyir bisa dihindari.

Diterbitkan di Koran Tempo, 8 Juni 2005

Friday, June 03, 2005

Pelajaran buat Australia

KITA tak pernah setuju dengan aksi terorisme. Karena itu, kita mengutuk keras teror yang ditujukan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia. Terorisme adalah tindakan pengecut dan tak bertanggung jawab. Tidak ada satu dalih apa pun yang membenarkan aksi tersebut.

Kita hargai Perdana Menteri Australia John Howard yang telah meminta maaf atas insiden tersebut. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Australia pernah menuntut agar para pelaku peledakan bom Bali yang menewaskan banyak warga Negeri Kanguru itu dihukum secara setimpal. Canberra juga meminta Jakarta bersedia bekerja sama mengungkapkan kasus peledakan bom di Kedutaan Besar Australia di Kuningan. Sudah sepantasnya bila kita sekarang meminta hal yang sama.

Kita belum tahu apa motif teror itu sesungguhnya. Namun, jika benar teror itu terkait dengan vonis yang diterima oleh Schapelle Corby, perempuan Australia yang dihukum 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana di Bali, sungguh tak masuk akal.

Corby sebenarnya tergolong orang yang beruntung karena tertangkap basah di Bali. Para hakim di sana mungkin sedang bermurah hati atau memang "terpengaruh" oleh tekanan pemerintah dan media massa Australia, sehingga mereka menjatuhkan hukuman yang tergolong ringan. Corby "cuma" diganjar hukuman 20 tahun penjara. Seandainya saja Corby berkelakuan baik selama di bui, bukan tak mungkin ia akan mendapatkan remisi dan tak perlu mendekam di penjara selama dua dasawarsa.

Bayangkan kalau saja Corby tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta dan diadili di Pengadilan Negeri Tangerang, ceritanya bisa lain. Pengadilan Tangerang terkenal sebagai "kuburan" para penjahat narkotik. Hakim-hakim Tangerang kerap menjatuhkan vonis tanpa ampun dan tak pandang bulu. Baik pria maupun wanita, warga Indonesia, Nigeria, ataupun warga asing lain, bila terbukti terlibat kejahatan narkoba, pasti divonis hukuman mati atau minimal seumur hidup di Tangerang. Nasib Corby jauh lebih "baik" ketimbang mereka yang dihukum di Tangerang.

Warga Australia, terutama para pendukung Corby, mestinya menggunakan akal sehat dan tak bereaksi berlebihan menanggapi vonis Pengadilan Negeri Denpasar. Misalnya sampai memboikot Indonesia. Toh, ini kasus kriminal biasa. Biarlah diselesaikan melalui proses hukum yang biasa juga. Bila tak puas pada putusan tingkat pertama, toh Corby masih punya kesempatan naik banding dan, bila perlu, mengajukan kasasi nantinya. Artinya, dia masih memiliki peluang. Anggap saja kasus itu sebagai pelajaran buat Corby, juga warga Australia yang lain, agar tak melanggar hukum.

Dimuat di Koran Tempo, 3 Juni 2005

Wednesday, June 01, 2005

Bikin Blog Trulek Jawa

Ahad, 29 Mei 2005, aku membuatkan situs blog buat kawan-kawan di komunitas Sahabat Burung Indonesia. Mereka mau bikin ekspedisi mencari trulek Jawa alias plirik alias Javanese Lapwing alias Vanellus macropterus yang katanya tak pernah terlihat lagi sejak 1940-an.

Setelah berkutat seharian, jadi juga blog itu. Namanya Ekspedisi Trulek Jawa 2005. Lumayan oke juga setelah kulihat hasilnya. Hehehe.... boleh dong, bangga.

Kawan-kawan yang sudah melihat blog itu langsung kirim komentar. Rata-rata seneng, sih. Malah tawaranku untuk berbagi ilmu bikin blog juga disambut antusias. Wah, orang-orang SBI emang oye, hehehe....

Well, I am glad anyway.... That's what friends are for, isn't it?

Friday, May 27, 2005

Ini Waktunya Bertindak

KORUPSI di negeri ini sudah tergolong luar biasa, maka memberantasnya pun harus dengan cara yang tidak biasa. Sangat penting Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan prioritas pemerintahnya membasmi korupsi di depan 200 warga Indonesia dan investor di AS, tapi ini bukan yang pertama kali.

Kita sudah mendengarnya berkali-kali. Presiden bahkan secara terbuka telah mengungkapkan niatnya membersihkan praktek jahat itu dimulai dari lingkungan terdekatnya, Istana Kepresidenan. Kita juga sudah tahu bahwa guna mendukung niat luhur itu, telah dilahirkan perangkat yang lengkap, yakni Undang-Undang Antikorupsi, serta dua lembaga pemberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak ada salahnya memang bila Presiden mengulang kembali apa yang sudah menjadi tekadnya selama ini. Toh, forumnya di luar negeri. Warga Indonesia di rantau juga perlu mendengar secara langsung bahwa pemerintah SBY benar-benar serius. Para investor asing juga lebih merasa pasti dalam berinvestasi jika orang nomor satu negeri yang bicara.

Selanjutnya, yang lebih penting adalah pelaksanaan. Janji-janji ini akan ditagih. Ini bukan lagi masa kampanye, tapi sudah masuk masa bakti. Kita perlu bukti pemerintah serius membasmi korupsi. Apabila luput, itu hanya akan membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dan investor pun pasti hengkang lagi.

Berhati-hati tentu harus dilakukan, tapi terlalu banyak basa-basi dan mengikuti "prosedur umum" rasanya sudah waktunya ditinggalkan. Perlu dicari cara-cara yang tidak konvensional untuk melawan "kanker" yang sudah menjalar. Bila ada pejabat diduga melakukan korupsi, sebaiknya langsung dinonaktifkan saja. Langkah itu penting dilakukan agar penyelidikan tak terganggu. Toh, kalau tak bersalah, dia bisa bertugas kembali dan Presiden bisa memulihkan namanya.

Yang juga penting, penegakan hukum tak boleh terkesan pilih kasih. Jika Gubernur Aceh Abdullah Puteh telah dihukum, anggota Komisi Pemilihan Umum terus diperiksa, gubernur, bupati, wali kota, serta anggota Dewan di beberapa daerah dijadikan tersangka, seharusnya menteri yang terindikasi penyelewengan juga dinonaktifkan.

Membersihkan potensi korupsi dari lingkungan yang terdekat sangatlah besar pengaruhnya untuk menunjukkan keseriusan Presiden Yudhoyono. Ini semacam ujian pertama. Ujian lain akan datang bergelombang. Masih banyak kasus megakorupsi lain, seperti penyelewengan bantuan likuiditas Bank Indonesia dan kasus korupsi di Bank Mandiri. Sepantasnyalah jika Presiden juga memperlakukan kasus-kasus tersebut dan pelakunya tanpa pandang bulu. Sudah mandi separuh badan, jangan lagi takut basah.

Diterbitkan di Koran Tempo, 28 Mei 2005

Thursday, May 26, 2005

Understanding Abusive Parents

Researchers at the University of Toronto have taken important steps toward producing a profile of an abusive parent. Prof. Gary Walters and doctoral student Lynn Oldershaw of the Department of Psychology have developed a system to characterize parents who physically abuse their children. This could ultimately allow social service professionals to identify parents in child abuse.

Over the last five years, Walters and Oldershaw, in collaboration with Darlene Hall of the West End Creche, have examined over 100 mothers and their three to six-year-old children who have been physically abused. In the laboratory, the mother and child spend 30 minutes in structured activities such as playing, eating and cleaning-up. The family interaction is video-taped and later analyzed.

The researchers have developed a system which allows them to record the efectiveness of parenting skills. They are particularly interested in disciplinary strategies because abuse most commonly occurs when the parent wants the child to comply. "It's a question of trying to determine which type of parent produces which type of child or which type of child elicits which type of parental behaviour," explains Oldershaw.

As a result of their work, Walters and Oldershaw have identified distinct categories of abusive parents and their children. 'Harsh/intrusive' mothers are excessively harsh and constantly badger their child to behave. Despite the fact that these mothers humiliate and disapprove of their child, there are times when they hug, kiss or speak to them warmly. This type of mothering produces an aggressive, disobedient child.

A 'covert/hostile' mother shows no positive feelings towards her child. She makes blatant attacks on the child's self-worth and denies him affection or attention. For his part, the child tries to engage his mother's attention and win her approval.

An 'emotionally detached' mother has very little involvement with her child. She appears depressed and uninterested in the child's activities. The child of this type of mother displays no characteristics which set him apart from other children.

In order to put together a parenting profile, the two researchers examine the mother/child interaction and their perception and feelings. For instance, Walters and Oldershaw take into account the mother's sense of herself as a parent and her impression of her child. The researchers also try to determine the child's perception of himself or herself and of the parent. Abusive parents are often believed to have inadequate parenting skills and are referred to programs to improve these skills. These programs are particularly appropriate for parents who, themselves, were raised by abusive parents and as a result are ignorant of any other behavior toward her child.

One of the goals of the psychologists is to provide information to therapists which will help tailor therapy to the individual needs of the abusive parents. "Recidivism rates for abusive care-givers are high," says Walters. "To a large extent, abusive parents which require a variety of treatment. "Their research is funded by the Social Sciences and Humanities Research Council.

Wednesday, May 25, 2005

Nonaktifkan Hamid Awaluddin

Kasus dugaan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah semakin terang. Namun, perkembangan penyidikan kasus ini terasa lambat. Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, misalnya, sudah mengaku bahwa setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu atau Rp 1,008 miliar dari total dana US$ 1,155 juta. Uang ini diambil dari dana taktis KPU, pos anggaran yang berasal dari pemenang tender pengadaan barang, yakni perusahaan yang ditunjuk mengadakan keperluan logistik pada Pemilu 2004.

Adapun anggota KPU yang menerima uang itu, menurut Hamdani, termasuk menteri yang sekarang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin. Selama di KPU, Hamid memang pernah menjadi ketua tim pengadaan kartu pemilih untuk mencetak 145 juta kartu dengan harga penawaran Rp 69 miliar. Namun, Hamid berkelit dengan mempertanyakan apa yang dimaksud dengan dana taktis itu. Jika yang dimaksud dana taktis itu adalah dana di luar gaji atau honorarium bulanan, Hamid mengaku menerimanya. Tapi ia mengaku tidak mengetahui dari mana dana itu.

Sudah sepantasnya Komisi Pemberantasan Korupsi segera memeriksa Hamid Awaluddin supaya kasus itu semakin jelas hitam-putihnya. Kita perlu menyampaikan hal ini karena kinerja KPK terkesan lambat.

Pemeriksaan Hamid menjadi penting karena posisinya sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ikut menentukan berhasil-tidaknya upaya pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangan lupa pula, Hamid bahkan pernah mengirimkan koruptor ke penjara Nusakambangan. Karena itu, Hamid harus bersih dari virus korupsi.

Seandainya status Hamid sebagai menteri menghalangi atau membuat KPK rikuh, ya, sebaiknya dia dinonaktifkan sementara. Apabila pemeriksaan selesai dan ternyata Hamid benar bersih, dia bisa aktif kembali di pemerintahan. Sebaliknya, kalau Hamid terbukti melakukan pelanggaran atau tindak pidana korupsi, Presiden Yudhoyono harus rela melepaskan pembantunya dari kabinet. Bahkan Hamid harus berinisiatif sendiri menghuni penjara di Nusakambangan. Memberantas korupsi tak bisa setengah-setengah.

Kita ingin KPK tuntas mengusut dugaan korupsi di KPU. Jangan sampai kasus ini mengambang dan hanya Mulyana yang jadi korban. Kalau memang semuanya terlibat, kita harus rela mengganti semua anggota KPU. Sekalian mengembalikan ide awalnya bahwa anggota KPU hanyalah pembuat kebijakan dan mengarahkan, bukan mengurusi proyek-proyek. Andaikata ide awal itu tetap dipegang teguh, korupsi di KPU tak akan menyeret lembaganya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Mei 2005

Thursday, May 19, 2005

Cover Koran Tempo Edisi Minggu

Konsepnya adalah poster/cover, mirip cover majalah Tempo. Visualnya adalah foto berita terkuat pada hari Sabtu, misalnya pemenang Miss Universe. Foto itu diberi judul besar, katakanlah MISS UNIVERSE 2005 yang menggambarkan sosok Miss A sedang diberi mahkota. Lalu ada keterangan singkat, 5 W + 1 H. Panjangnya sekitar 1.500 karakter.

Cover juga bisa kita isi dengan foto yang mencerminkan intisari berita selama sepekan, misalnya bahaya polio, diwakili oleh gambar sosok anak yang tergolek di ranjang rumah sakit. Seandainya foto jenis ini yang dipilih, contoh judulnya: AWAS, POLIO! atau POLIO STRIKES BACK. Di bagian bawahnya kita bisa menuliskan fenomena kekhawatiran masyarakat sepanjang pekan terakhir gara-gara berita kemunculan kembali wabah polio.

Foto tokoh minggu ini, misalnya mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang tengah diincar Tim Kasus Munir untuk diperiksa, bisa dipertimbangkan untuk dimuat. Contoh judulnya: HENDRO DIINCAR atau TIM MUNIR MENGINCAR HENDRO. Foto ini hanya diberi sedikit keterangan, berisi alasan mengapa kita memilih dan memuatnya. Kita tuliskan saja, misalnya, penjelasan tentang alasan Tim Munir mengincarnya.

Saya bayangkan, beberapa alternatif cover seperti di atas akan membuat pembaca yang menikmati koran di hari Minggu tetap merasa tak ketinggalan berita, sekaligus mendapatkan hiburan setelah penat dihajar kerja sepekan. Semacam jeda kemanusiaan begitulah. Pembaca tak perlu berkerut di hari libur, tapi tetap mendapatkan informasi terakhir. Bagi tempo, konsep ini menampung dua keinginan sekaligus. Tujuan menjadikan koran minggu sebagai koran hari ketujuh terwakili. Keinginan menyajikan berita santai juga terpenuhi.

Mengapa saya memilih konsep cover koran minggu seperti ini? Halaman depan itu ibarat pintu masuk orang yang ingin membaca seluruh isi koran. Bila pintunya saja sudah tak menggiurkan, menggugah rasa dan minat, jangan harap orang akan masuk lebih dalam. Tapi kita juga tak bisa menjejalkan semua yang kita anggap bagus dan menarik di halaman depan. Kita harus jeli memilih, mana yang PALING menarik. Ini format kompak, bung! Bukan layar lebar.

Ngomong-omong soal minat, sebenarnya apa sih yang paling menarik buat pembaca? Bagaimana pula nasib berita yang layak headline?

Bersihkan Istana dari Korupsi

Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar serius akan membersihkan korupsi dimulai dari "rumah" sendiri, sekaranglah saat yang tepat. Kejanggalan yang ditemukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Sekretariat Wakil Presiden pada tahun anggaran 2003 senilai Rp 7 miliar lebih bisa dijadikan momentum. Presiden Yudhoyono diharapkan tidak mengulangi adanya dana Rp 100 juta yang digunakan untuk pernikahan putri Wakil Presiden Hamzah Haz ketika itu. Dugaan penggelembungan anggaran di lingkar dekat kekuasaan itu diharapkan tidak terjadi lagi sekarang ini.

Kejanggalan memang belum tentu korupsi. Mungkin saja sekadar administrasi yang tidak tertib. Bisa juga karena ada pejabat yang malas atau alpa menyetorkan laporan. Apalagi Sekretariat Wakil Presiden juga sudah memberikan klarifikasi ke BPKP dan mengklaim bahwa negara tidak dirugikan. Alasannya, misalnya, dana Rp100 juta untuk pernikahan putri Hamzah pada Agustus 2003 itu telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1979 tentang Hak Keuangan Presiden dan Wakil Presiden. Undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa seluruh kebutuhan keluarga presiden dan wakilnya dibiayai negara.

Meskipun demikian, belum tentu juga korupsi tak terjadi. Toh, temuan BPKP itu belum diklarifikasi secara hukum. Karena itu, menurut hemat kami, sudah selayaknyalah bila BPKP segera meneruskan temuannya ke kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap dugaan perlu dituntaskan. Setiap tuduhan harus diklarifikasi sehingga tidak ada keraguan lagi dan syak wasangka. Dan jika memang ada penyimpangan, tidak perlu terulang di masa depan.

Tentu kita harus berbaik sangka tentang yang terjadi di kantor wakil presiden dulu. Boleh jadi ini hanya cerminan kekurangpekaan individu terhadap anggaran, bukan pelanggaran yang sengaja dilakukan.

Memang dibanding kasus megakorupsi lain yang nilainya mencapai triliunan rupiah, jumlah Rp 7 miliar itu bukan tergolong luar biasa. Namun, korupsi tetaplah korupsi seberapa pun jumlahnya. Berapa pun nilainya, bila terbukti, pelakunya layak dihukum.

Kalau Presiden Yudhoyono ingin berbeda dengan pendahulunya, sekaranglah saatnya membersihkan hal-hal yang janggal di "rumah"-nya. Sudah jadi rahasia umum pada zaman dulu bahwa kantor Sekretariat Negara ataupun Sekretariat Wakil Presiden merupakan "sarang" proyek. Dan setiap proyek ini sangat mudah terpeleset menjadi sumber korupsi.

Kami juga menyarankan, tugas dan wewenang dua lembaga itu diubah saja. Dua kantor sekretariat itu, misalnya, hanya difungsikan untuk memelihara dokumen negara. Bisa juga kedua lembaga itu terlibat dalam proyek-proyek membangun identitas dan kebanggaan bangsa, misalnya memilih pegawai, guru, atau pelajar teladan. Tugas yang lain, terutama yang menyangkut proyek, biarlah diurus oleh departemen teknis. "Halaman dalam" Istana harus bersih dari korupsi, sebelum Presiden membersihkan tempat lain.

Editorial Koran Tempo, 20 Mei 2005

Sunday, March 20, 2005


somewhere, near niagara falls, canada -- 9 maret 2005

suatu siang, di ontario, kanada -- 6 maret 2005

Saturday, March 19, 2005

Surat Terbuka untuk Wakil Rakyat

KEPADA tuan dan puan wakil rakyat yang terhormat di Senayan. Terus terang kami geram dan kecewa melihat tuan dan puan kembali ricuh di ruang sidang kemarin. Julukan apa lagi yang mesti kami berikan kepada Anda sekalian. Anak TK, murid play group? Atau apa? Apakah ada lagi "status" murid di bawah play group?

Sikap tuan dan puan yang emosional, tolak pinggang, dan petantang petenteng seraya berteriak-teriak di ruang sidang kemarin sudah seperti gaya preman jalanan. Apakah tuan dan puan anggota Dewan setara dengan preman jalanan, tentu tidak demikian adanya, meskipun para pemirsa televisi dan pembaca koran banyak yang menggerutu kalau tuan dan puan anggota Dewan sudah ibarat preman-preman pasar.

Tuan dan puan, bukan sekali ini Anda sekalian bertindak memalukan. November tahun lalu, tuan dan puan juga ribut ketika membahas surat Presiden Megawati yang mengusulkan pergantian Panglima TNI. Rasanya juga baru kemarin ketika kami melihat tuan dan puan adu mulut dengan rombongan dari Kejaksaan Agung, bahkan saling gebrak meja dan tuding-tudingan.

Mengapa tuan dan puan kembali melakukan tindakan yang memalukan? Kenapa tuan dan puan di Senayan lebih "bodoh" dari kami, rakyat kebanyakan? Ini kemunduran luar biasa, mengingat kesantunan dan kesopanan para pendahulu tuan dan puan di masa lalu ketika berbeda pendapat.

Sudah tak terhitung pula kami mengingatkan tuan dan puan agar menjaga sikap ketika bersidang. Tahanlah emosi sedikit. Bertindaklah yang elok. Beda pendapat, mempertahankan argumen, tentu saja tidak dilarang. Tapi caranya janganlah sampai memalukan. Tuan dan puan toh bukan preman, murid TK atau play group. Tuan-tuan adalah orang-orang yang terhormat. Teladan bagi rakyat.

Tuan dan puan, bukankah mestinya Anda sekalian segera mengambil sikap untuk menanggapi kenaikan harga bahan bakar minyak yang diambil pemerintah? Mengapa malah ribut tak keruan? Tuan dan puan, kericuhan bukan saja hanya menghabiskan energi, tapi juga tak menyelesaikan masalah. Rakyat sedang menghadapi gejolak harga barang yang melambung akibat naiknya harga BBM. Jutaan rakyat melarat tengah menanti kucuran dana kompensasi pencabutan subsidi BBM. Waktu terus berjalan. Tak ada keputusan. Kenapa tuan dan puan seperti tak peduli?

Tuan dan puan tentu tak sedang berlagak di ruang sidang. Bersikap seolah-olah menentang kenaikan harga BBM hanya untuk menunjukkan bahwa tuan dan puan sedang mengemban amanat hati nurani rakyat. Tuan dan puan tentu juga tak lagi bergaya supaya terlihat kerja keras memperjuangkan nasib rakyat - dan karena itu layak naik gaji. Mohon maaf sebesar-besarnya kalau ternyata begitulah cara tuan dan puan menunjukkan kepedulian. Kami tak tahu.

Yang kami tahu hanyalah ada jutaan rakyat miskin di luar sana yang tak bisa melakukan apa-apa, kecuali menumpahkan kekecewaannya lewat koran dan televisi. Mereka kecewa melihat wakilnya yang cuma bisa petentengan. Kami berharap tuan dan puan menyadari hal ini. Karena kami percaya tuan dan puan masih punya akal sehat dan hati nurani. Wasalam. ***

Dimuat di Koran Tempo, 17 Maret 2005