Monday, May 22, 2006

Beleid Perlindungan Pejabat

Rencana pemerintah membuat aturan khusus untuk melindungi pejabat publik dari penuntutan hukum kasus pidana tentu dilandasi niat baik. Namun, niat baik ini bisa disalahtafsirkan dan disalahgunakan sehingga perlu dikaji lagi sebelum diteken oleh Presiden. Apalagi, sudah ada undang-undang yang cukup memadai untuk mengatasi tindak pidana korupsi dan penyelewengan kekuasaan.

Ditilik dari niatnya, bisa dimaklumi bila pemerintah membuat aturan itu agar pejabat merasa nyaman menjalankan tugas. Belakangan ini banyak pejabat enggan menjadi pemimpin suatu proyek karena takut dituduh terlibat korupsi. Peraturan itu, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga tak serta-merta membuat pejabat kebal dari hukum.

Aturan itu hanya untuk memilah antara kejahatan dan kesalahan kebijakan. Kejahatan itu misalnya terjadi jika pejabat menggelembungkan anggaran. Kesalahan kebijakan itu contohnya jika pejabat membuat kebijakan ekonomi tapi terjadi masalah karena perubahan kondisi.

Dengan aturan itu, pemerintah berharap jika ada pejabat berbuat kejahatan, aparat penegak hukum menangkapnya. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan kebijakan, pejabat yang bersangkutan tidak boleh ditahan. Kesalahan kebijakan harus diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan oleh peradilan pidana. Jadi sanksinya pun berupa teguran atau pemecatan, bukan sanksi pidana.

Aturan itu terkesan berlebihan. Sebab, pejabat publik mestinya tak perlu takut menjadi pemimpin proyek atau menjalankan suatu kebijakan tertentu sepanjang prosesnya transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Pejabat tak bisa dituntut karena kebijakan yang dilakukannya. Kesalahan kebijakan harus dibedakan dari penyalahgunaan kekuasaan.

Sebuah beleid tak bisa dijadikan perkara hukum. Pejabat bank sentral yang mengambil kebijakan menaikkan suku bunga sehingga mengakibatkan banyak perusahaan ambruk dan peluang negara mendapat pemasukan pajak hilang, misalnya, tak bisa serta-merta dijerat dengan pasal-pasal korupsi. Pejabat yang bersangkutan hanya bisa dimintai pertanggungjawaban secara politis dan administratif.

Seorang pejabat hanya bisa dituntut seandainya tindakan yang dilakukannya mengandung unsur melawan hukum dan ada niat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Aturan itu justru dikhawatirkan bisa menjadi semacam tameng berlindung pejabat yang berniat jahat. Seorang pejabat mungkin saja membuat sebuah kebijakan yang seolah-olah benar, padahal sesungguhnya menguntungkan yang bersangkutan. Contohnya produk-produk kebijakan semasa Orde Baru, seperti beleid tentang mobil nasional dan tata niaga cengkeh.

Yang lebih diperlukan sekarang sebetulnya kesamaan pemahaman di kalangan aparat hukum untuk membedakan mana kesalahan kebijakan dan mana yang penyelewengan kekuasaan sehingga tak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum. Karena itu, Presiden perlu mempertimbangkan lagi sebelum meneken aturan perlindungan pejabat

Diterbitkan di Koran Tempo, 23 Mei 2006