Sunday, April 30, 2006

Amuk Tuban Jangan Terulang

Langkah Kepolisian Daerah Jawa Timur meringkus puluhan tersangka aksi brutal di Tuban akhir pekan lalu sudah tepat--walau pengamanan dini rasanya jauh lebih tepat. Apa pun alasannya, setiap aksi perusakan tetap melanggar hukum. Siapa pun pelakunya, provokator atau bahkan sponsornya, harus diganjar setimpal melalui proses pengadilan yang terbuka dan adil.

Tindakan tegas ini jelas diperlukan. Bukan saja demi tegaknya hukum dan wibawa aparat, tapi bisa dijadikan cermin bahwa di negara ini, semua anarki tak bisa didiamkan. Tak ada kompromi dan harus dihentikan agar tak terulang lagi; di sini, atau di lokasi lain lagi. Kepentingan publik harus dilindungi di atas kepentingan politik orang seorang atau sekelompok orang, apa pun risikonya.

Boleh saja massa tak puas atas hasil pemilihan langsung bupati yang dimenangi Haeny Relawati. Bisa saja ratusan ribu konstituen setia kandidat lawan protes keras atas unggulnya mantan bupati yang disokong Partai Golkar itu. Mereka juga bebas menuding bahwa pemilihan di Bumi Ronggolawe--ini nama ahli siasat perang di zaman Majapahit--itu diwarnai kecurangan dan politik uang.

Namun, ketidakpuasan itu mestinya disalurkan melalui prosedur yang sudah diatur perundang-undangan. Mestinya pihak yang menuduh menyerahkan semua bukti dan saksinya ke pengadilan hingga--kalau masih tak puas--ke Mahkamah Agung. Bukannya malah memilih jalan anarkistis: merusak dan membakar semua properti daerah dan aset pribadi Haeny.
Amuk di Tuban mungkin tak dipicu oleh penyebab tunggal. Polisi yang tak rikat mencegah massa yang akan beraksi bisa saja ikut menyumbang kesalahan. Namun, tentu saja kerusuhan itu bukan semata harus dipikul kepolisian. Massa pendukung calon bupati yang tak siap kalah seharusnya juga ikut bertanggung jawab. Partai-partai politik yang mengusung calon yang kalah pun mestinya tak bisa lepas tangan begitu saja. Bukankah partai mestinya bisa ikut meredakan kadernya yang beringas?

Kerusuhan pascapemilihan kepala daerah memang bukan pertama kali ini terjadi. Tahun lalu ada 226 pemilihan kepala daerah, yang umumnya berlangsung aman. Cuma kurang dari lima persennya, atau di belasan daerah, yang dilanda kericuhan. Maret tahun ini, situasi memanas menyeruak di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pascapemilihan bupati setempat.

Kita tentunya patut prihatin jika euforia demokrasi di daerah lantas berbuntut petaka. Mungkin saja ini terjadi lantaran banyak daerah yang belum berpengalaman dalam pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur secara langsung--yang baru saja dimulai tahun lalu. Tapi pilihan langsung presiden dan wakil presiden, hampir dua tahun silam, yang berlangsung aman, mestinya bisa dijadikan contoh bahwa kita siap berpesta rakyat.

Negeri ini sudah terlalu karut-marut oleh berjuta masalah; diimpit krisis bertubi-tubi. Aksi massa dengan kekerasan hanya akan memperunyam keadaan dan kian menyengsarakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 1 Mei 2006

Tuesday, April 25, 2006

Pengadilan Dulu, Hukuman Kemudian

Bekas presiden Soeharto memang sebaiknya segera diperiksa ulang kesehatannya. Apalagi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah meminta tim dokter mengecek kembali kondisi mantan orang nomor satu di Indonesia yang kini hampir berusia 85 tahun itu. Karena sakitnya yang permanen, seperti disimpulkan tim dokter dan para pembelanya dulu, Soeharto tak kunjung diajukan ke pengadilan. Kejaksaan Agung pun tak pernah berhasil membawanya ke persidangan dengan alasan tak layak diperiksa karena kesehatannya.

Kasus Soeharto perlu diangkat lagi karena Ahad lalu dia menghadiri dan menjadi saksi akad nikah cucunya. Berita dan gambar kedatangan Soeharto menghiasi halaman media massa. Publik pun bertanya apakah alasan sakit permanen dan tak layak disidangkan itu memang benar atau cuma dibuat-buat? Yang terlihat adalah seorang tua, yang geraknya walau lambat tapi cukup mandiri, tanpa kursi roda.

Apa masalah sesungguhnya hingga Soeharto selalu batal dibawa ke pengadilan? Apakah sakitnya yang permanen menghalangi, atau penilaian dan kesimpulan mengenai keadaan sakitnya itu yang dijadikan dasar? Banyak tersangka atau terdakwa yang menghindari pemeriksaan, penahanan, atau menunda putusan pengadilan dengan memakai alasan kesehatan. Sjamsul Nursalim, Ginandjar Kartasasmita, juga Abdullah Puteh pernah menggunakan trik ini. Soeharto biasanya juga mendadak sakit lagi begitu ada rencana kasusnya dibuka kembali.

Dalam hukum tak disebutkan bahwa keadaan lemah, tua, atau pikun menyebabkan orang dibebaskan dari kesalahan yang dilakukan sebelumnya. Bersalah-tidaknya seseorang pengadilanlah yang memutuskan. Masalahnya, sejak 2000 kejaksaan tidak pernah berhasil mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan.

Jadi masalahnya adalah bagaimana jaksa bisa memaksa terdakwa datang. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun dulu mengatakan bahwa perkara ini sewaktu-waktu bisa diajukan kembali ke pengadilan bila jaksa yakin bisa menghadirkan terdakwa. Mahkamah Agung, yang menguatkan ketetapan pengadilan negeri itu, selain membebaskan Soeharto dari tahanan kota, menambahkan bahwa Soeharto tetap berstatus sebagai terdakwa dan masih bisa diajukan ke pengadilan bila sembuh.

Bila demikian, sekarang terpulang pada ketegasan Kejaksaan Agung dan pada bagaimana memperlakukan definisi medis tentang sembuh, sakit, cacat permanen, dan sebagainya, serta implikasinya dalam menerapkan hukum. Segera saja kesehatan Soeharto diperiksa lagi. Jangan takut dituduh buang-buang uang, tenaga, dan waktu bila itu demi tegaknya hukum. Dari kepentingan hukum dan keadilan, Soeharto tetap harus diadili. Ini yang semestinya segera dilaksanakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 25 April 2006

Monday, April 10, 2006

Janji untuk Papua

Respons pemerintah terhadap gejolak di Papua, berupa janji mengucurkan dana khusus Rp 12,7 triliun, memang tidak salah. Bersikap sensitif atas persoalan yang dianggap krusial dan punya dampak besar jelas diperlukan. Tapi bersikap realistis juga banyak gunanya. Anggaran belanja negara tahun ini tekor. Dana besar untuk Papua, yang belum jelas dari mana sumbernya, akan semakin menekan anggaran. Butuh kerja luar biasa keras menutupi bolongnya anggaran negara.

Kerja besar itu berupa "main akrobat" dengan pos-pos anggaran. Satu pos dikurangi demi menambah pos yang lain. Ini tidak gampang. Tahun ini pemerintah mesti mengeluarkan subsidi tambahan Rp 10,2 triliun supaya tarif listrik tak naik, dan Rp 17,2 triliun dana tambahan pendidikan Rp 17,2 triliun sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bulan lalu. Padahal defisit anggaran belanja sekarang Rp 22 triliun.

Menggenjot pemasukan lewat pajak dan ekspor mudah secara teori, tapi sangat berat dijalankan di lapangan. Dunia usaha lesu menghadapi melemahnya daya beli rakyat. Pemasukan menurun, otomatis pajak yang dibayarkan kepada negara juga susut. Untuk menomboki anggaran, ujung-ujungnya pemerintah negeri ini harus melakukannya dengan mencari utang luar negeri. Soal anggaran negara tahun ini mungkin terpecahkan, tapi dengan memindah beban ke masa datang, beban bagi anak-cucu kita.

Kita setuju Papua harus dibantu. Daerah itu sudah cukup lama merana. Gejolak yang terjadi dewasa ini merupakan reaksi atas pelbagai masalah yang terus bertumpuk: mulai soal HIV/AIDS, pembalakan liar, gizi buruk, kelaparan, sampai tingginya tingkat kematian ibu dan bayi. Sudah lama orang Papua merasa eksplorasi kekayaan alamnya hanya sedikit yang dikembalikan pemerintah ke bumi Papua.

Tahun lalu, misalnya, dari perusahaan tambang PT Freeport Indonesia saja, pemerintah menerima lebih dari Rp 10 triliun, tapi anggaran untuk Papua tahun ini hanya sekitar Rp 7,2 triliun. Perlu ditanyakan: apakah angka itu sudah memenuhi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-undang itu mengatur persentase bagi hasil yang cukup besar untuk Papua--80 persen dari pertambangan umum, 70 persen dari minyak bumi, dan 70 persen dari gas alam.

Katakanlah dana besar itu tersedia, soal lain yang penting adalah penyalurannya. Yang akan diguyur dana adalah bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan. Ini sasaran yang tepat. Tapi cara yang pas juga perlu dicari agar dana besar itu tak bercecer--seperti banyak proyek serupa.

Papua perlu perhatian lebih, bukan hanya di kala provinsi itu bergejolak. Justru kebiasaan menggerojok dana besar ke daerah yang bermasalah bukan tradisi yang baik untuk diteruskan. Selain terkesan reaktif, langkah ini menimbulkan preseden buruk dan bisa ditiru oleh daerah lain yang memiliki potensi konflik serupa.

Diterbitkan di Koran Tempo, 11 April 2006

Monday, April 03, 2006

Perang Kartun

Tak ada yang luar biasa sebetulnya dengan pemuatan karikatur di sebuah koran. Opini berbentuk gambar itu merupakan bentuk dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi warga negara terhadap masalah tertentu. Kebebasan yang dijamin oleh hukum negara itu tumbuh di Indonesia dan Australia. Pers di dua negara ini termasuk institusi yang dijamin kebebasannya.

Karikatur yang dimuat koran The Weekend Australian edisi Sabtu lalu, yang menggambarkan sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menunggangi orang Papua, mestinya juga dilihat sebagai bagian dari kebebasan tadi. Ungkapan Presiden Yudhoyono bahwa ia prihatin dengan pemuatan kartun yang dianggapnya "tidak senonoh" itu boleh-boleh saja diucapkan. Komentar ini serupa tapi tak sama dengan yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, yang mengatakan karikatur The Weekend itu, "Berselera rendah, menyerang, dan tidak sopan."

Artinya, tidak perlu sebuah karikatur dianggap mewakili sikap pemerintah. Sikap ini ditunjukkan pihak Australia ketika koran Rakyat Merdeka, yang terbit di Jakarta edisi Senin pekan lalu, menurunkan karikatur yang menggambarkan Perdana Menteri Australia John Howard tengah "menaiki" Menteri Luar Negeri Alexander Downer. Howard menyesalkan, sedangkan Downer mengatakan karikatur itu berselera rendah.

Bahwa secara teknis kartun di Rakyat Merdeka dan The Weekend dianggap buruk, ini menyangkut cita rasa kedua penerbitan itu saja. Para petinggi kedua negara perlu menunjukkan kelasnya untuk tidak bereaksi berlebihan, apalagi sampai membuat hubungan kedua negara semakin membara. Pers dan pemerintah, di Indonesia ataupun Australia, merupakan dua institusi yang berbeda dan tak bisa dicampuradukkan. Jika sebuah karikatur dianggap merendahkan, tidak bisa pemerintah negara tempat media itu terbit dituntut untuk ikut bertanggung jawab.

Maka, sebaiknya sekarang perhatian perlu dipusatkan pada pemulihan hubungan setelah memanas akibat pemberian visa proteksi sementara oleh pemerintah Canberra kepada 42 warga Papua. Perlu ada pertemuan antarpejabat tinggi untuk menjernihkan yang keruh, misalnya bahwa permintaan suaka dipicu oleh pembunuhan massal oleh militer Indonesia di Papua. Sementara itu, Tentara Nasional Indonesia membantah tuduhan ini. Tindakan balasan Jakarta, dengan melayangkan protes dan memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, rasanya sudah cukup memberikan sinyal bahwa Indonesia ingin Australia menjelaskan pemberian visa proteksi itu.

Setelah pertemuan antarpejabat tinggi, Jakarta dan Canberra sebaiknya memfokuskan diri kembali pada masalah yang utama: penanganan para imigran dan pencari suaka. Kedua negara mesti kembali duduk bersama untuk mengevaluasi kebijakan dan mencari titik temu seandainya kelak muncul lagi persoalan yang menyangkut keimigrasian. Ini jelas lebih penting dan bermakna ketimbang membiarkan hubungan dua negara "terbakar" oleh hal-hal yang kurang relevan seperti urusan karikatur itu.

Dimuat di Koran Tempo, 4 April 2006