Tuesday, December 14, 2004

Cahaya di Ujung Lorong

KABAR gembira itu datang dari ajang Olimpiade Sains Junior Internasional I. Anak-anak kita menjadi juara umum kompetisi yang baru pertama kali diselenggarakan itu dengan menyabet delapan medali emas dan empat medali perak.

Mereka -- Stephanie Senna, Diptarama, dan kawan-kawannya dari beberapa sekolah menengah pertama di Tanah Air -- menyisihkan pesaing-pesaingnya dari Cina Taipei, Thailand, Korea Selatan, Rusia, dan Kazakhstan.

Di tengah berhamburannya berita tentang bencana alam, kecelakaan, korupsi, peledakan gereja, penembakan misterius, penutupan bank, dan sejuta kabar muram lain yang belakangan ini menghias halaman-halaman koran, kemenangan yang diraih para Einstein muda itu seperti setetes embun yang menyejukkan.

Dalam kesunyian, jauh dari hiruk-pikuk urusan politik, gemerlap pentas Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Kontes Dangdut KDI, dan sebangsanya, mereka tekun berlatih selama sembilan bulan sebelum bertanding. Bukan jalan yang mudah tentunya bagi anak-anak seusia mereka yang kebanyakan lebih suka jalan-jalan di mal atau kebut-kebutan di jalan.

Anak-anak muda yang cerdas itu bukan hanya teladan yang bagus bagi teman-teman sebayanya. Mereka sebetulnya juga cahaya di ujung lorong yang gelap bagi bangsa ini. Ke pundak merekalah sebetulnya kita mesti menyampirkan harapan di masa depan.

Kita membutuhkan banyak orang cerdas, sekarang dan di masa datang. Kita memerlukan orang-orang cerdas di semua lapisan. Kita perlu polisi yang cerdas, sehingga tak ada lagi terpidana yang kabur sewaktu hendak dieksekusi. Kita membutuhkan jaksa yang cerdas sehingga tahu cara menjerat para koruptor yang licin.

Sayang, menjadi orang cerdas di Indonesia ternyata tidak bisa populer. Orang cerdas tak mendapat publikasi secara luas di media masa, terutama televisi. Bahkan kalangan Istana pun lebih memilih para artis yang baru saja memenangkan Piala Citra untuk diantarkan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang para peraih medali Olimpiade Sains itu.

Mungkin ada yang salah di Indonesia ini. Orang-orang cerdas sepertinya kurang mendapat tempat dan penghargaan. Coba saja kalau atlet bulu tangkis mendapat medali emas di Olimpiade, pastilah sejak dari bandara disambut dengan meriah, lalu diarak ke tengah kota, berputar-putar sehingga jalanan macet, kemudian menuju Balai Kota.

Siapa yang mengarak pemenang medali emas Olimpiade Sains Junior? Siapa yang mewawancarainya untuk menanyakan bagaimana perjuangannya merebut emas itu? Tidak ada, atau kalau ada, ya, seadanya saja. Bandingkan dengan hidup para bintang kontes, apalagi setelah jadi artis yang katanya sudah menyandang selebritas. Keseleo kakinya sedikit saja sudah puluhan kamera memotret.

Siapa pula yang sejak awal melatih dan mengarahkan jalan mereka menuju sukses? Pemerintah? Bukan. Lagi-lagi segelintir pionir seperti Yohanes Surya dan kawan-kawannya yang berjuang--mereka pulalah yang pernah mengantarkan anak muda kita berjaya di Olimpiade Fisika.

Berilah penghargaan kepada orang-orang cerdas, mulai hari ini. Meski jalan yang ditempuh berliku dan penuh tikungan, ada baiknya anak muda seperti Stephanie dan Diptarama mendapatkan apresiasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah, terutama, perlu memberikan perhatian konkret yang lebih besar kepada mereka. Jangan sampai cahaya di ujung lorong ini padam dan menghilang begitu saja. ***

Dimuat di Koran Tempo, 15 Desember 2004


Wednesday, December 01, 2004

Musibah Lion Air

INDONESIA berduka kembali. Pesawat MD-82 milik maskapai penerbangan Lion Air terjerembab di Bandar Udara Adisumarmo, Solo, Jawa Tengah. Puluhan penumpangnya tewas dan luka-luka.

Sejauh yang kita tahu, salah satu penyebab utama kecelakaan Lion Air adalah cuaca buruk. Namun, tentu saja kita tak bisa semata-mata menyalahkan faktor alam sebagai kambing hitam kecelakaan.

Penyelidikan yang mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti apa penyebab kecelakaan itu. Siapa tahu ada faktor lain, misalnya kesalahan pilot (human error) atau kerusakan alat (instrument error).

Karena itulah kita dukung upaya pemerintah yang menurunkan tim dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk memastikan penyebab kecelakaan. Begitu juga kepada DPR yang memutuskan membentuk tim investigasi untuk kasus yang sama.

Kita berharap agar tim-tim itu bekerja dengan baik, mendapatkan kesimpulan penyebab kecelakaan, dan segera mengumumkan hasilnya ke publik.

Penyelidikan yang mendalam perlu dilakukan karena ada indikasi bahwa pilot mengambil tindakan yang tak lazim dengan mendaratkan pesawat di tengah dan bukan dari awal landasan. Seandainya ini benar terjadi, ada beberapa kemungkinan. Pilot mungkin tak melihat landasan karena cuaca buruk, bisa jadi salah perhitungan, atau instrumen pemandu pendaratan (ILS) tak bekerja dengan benar. Dugaan ini bisa saja salah, tapi ada baiknya ditelusuri.

Seandainya nanti terbukti bahwa ada yang tak beres dengan kedua hal itu, manusia dan peralatan, kita patut bertanya kepada manajemen Lion Air. Jangan-jangan mereka mempekerjakan para pilotnya di luar batas. Jangan-jangan mereka mengabaikan perawatan pesawat secara rutin dan memberi toleransi besar pada kerusakan.

Pertanyaan seperti itu perlu dikedepankan mengingat ada banyak keluhan tentang buruknya layanan maskapai penerbangan dalam negeri, yang belakangan ini semakin banyak. Orang curiga, ketatnya bisnis penerbangan telah membuat perusahaan-perusahaan penerbangan mengabaikan aspek keselamatan penumpang demi mengejar keuntungan semata.

Apalagi selama ini penumpang tak pernah tahu apakah pesawat yang akan ditumpanginya benar-benar laik terbang. Sebab, berbeda dengan produk makanan yang punya label "halal", pesawat tak punya label "laik terbang" yang terlihat oleh penumpang. Kelayakan terbang hanya diketahui oleh maskapai (teknisi, pilot) dan otoritas penerbangan. Konsumen tidak.

Ketidakjelasan itu rawan penyimpangan. Siapa yang bisa menjamin bahwa petugas inspeksi tak mempan disogok sehingga tak memberi laporan yang semestinya? Siapa yang mampu memberi garansi bahwa pejabat yang memberi surat kelaikan terbang tak berkolusi dengan perusahaan penerbangan dan main teken saja?

Kita berharap pemerintah, dalam hal ini Dinas Sertifikasi Kelaikan Udara di Departemen Perhubungan, meningkatkan pengawasan penerapan standar keselamatan penerbangan. Kita tentu tak ingin insiden Lion Air terulang lagi.

Kepada orang ramai, kita juga perlu mengingatkan bahwa alam sedang tak bersahabat. Ada kemungkinan terjadi musibah susulan di masa datang karena faktor alam. Tak ada salahnya sedia payung sebelum hujan. ***

Dimuat di Koran Tempo, 2 Desember 2004

Mencari Alternatif Bojong

RIBUAN warga di sekitar Bojong, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, mengamuk. Mereka memporak-porandakan tempat pengolahan sampah terpadu yang akan beroperasi di kawasan itu. Karena mereka sudah merusak, polisi pun turun tangan dan angkat senapan. Akibatnya, lima penduduk tertembak dan lainnya luka-luka akibat kekerasan aparat.

Bukan sekali ini warga protes dan mengamuk. Sejak pertama kali Bojong direncanakan sebagai tempat pengolahan sampah terpadu pada akhir 2001, warga sudah menentangnya. Mereka khawatir tempat sampah itu akan mencemari lingkungan mereka. Bau tak sedap pun ditakutkan bakal menyebar.

Urusan jadi ruwet karena Bupati Bogor sudah setuju wilayah itu dibeli pemerintah Jakarta untuk tempat pembuangan sampah. Perusahaan yang akan mengolah sampah pun sudah ada dan mencoba beroperasi terus, meski warga tak berkenan.

Mengurus sampah ternyata bukan perkara mudah, meski masalah ini sangat penting dan menyangkut hajat hidup sehari-hari orang banyak. Bayangkan saja kalau semua orang Jakarta cuma bisa menumpuk sampah yang dihasilkan setiap hari di rumah masing-masing. Bagaimana kotor dan baunya rumah di segenap penjuru Ibu Kota ini?

Untunglah urusan sampah ini sudah ada rumusnya. Pemerintah Jakarta bertugas mengambil sampah warganya, mengangkutnya, lalu membuangnya ke suatu tempat setiap hari. Warga tak perlu pusing dan tinggal membayar retribusi. Begitu seterusnya sejak dulu.

Dulu seluruh sampah Jakarta ditimbun di Bantargebang. Namun, tempat ini sudah ditutup sekarang. Pemerintah lalu mencari tempat pengganti dan mendapatkannya di Bojong. Sebagai mitra, pemerintah menggandeng PT Wira Guna Sejahtera. Perusahaan ini katanya punya kemampuan mengolah sampah dengan teknologi canggih yang diadopsi dari Australia dan Swedia.

Sampah, kata mereka, akan diolah lewat tiga proses: dipres, dibakar, dan difermentasi. Dengan proses ini, hasil akhir pengolahan sampah ditanggung oleh perusahaan itu tidak akan mencemari lingkungan.

Toh, penduduk tetap memprotes. Ini menunjukkan bahwa mereka belum paham benar soal ini. Mungkin karena kurang sosialisasi. Padahal sebetulnya kekhawatiran itu bisa dijawab dari awal seandainya pemerintah Bogor dan Jakarta mengajak bicara warga sekitar. Aktivis lingkungan juga diajak urun pendapat.

Bila ada pembicaraan awal dan sosialisasi terus dilakukan, ada kemungkinan semua pihak mendapatkan perspektif baru mengenai pentingnya tempat sampah, manfaat, dan dampaknya, sekaligus mencari solusi untuk antisipasi seandainya di masa depan muncul persoalan lingkungan akibat sampah itu.

Namun, daripada pusing, kenapa pemerintah Jakarta tak mencoba membuang sampah di salah satu pulau di Kepulauan Seribu saja? Pilih satu pulau yang tak terpakai, terpencil, dan tak berpenghuni. Tentu saja harus dikaji dulu kemungkinan bakal terjadinya pencemaran lingkungan di pulau itu. Kalau oke, pasti aman dari amukan penduduk dan protes aktivis lingkungan. Kalaupun ada yang menolak, paling cuma ikan, kerang, kepiting, dan udang.

Di pulau itu, sampah-sampah mungkin bisa diproses jadi rumpon tempat penghuni laut tinggal--seperti becak-becak yang dulu dibuang di sana. Mungkin juga timbunan sampah itu bisa memperluas area pulau. Kelak, jika sudah tak terpakai lagi, siapa tahu pulau itu bisa disulap jadi tempat wisata baru, menyaingi Ancol. Yang penting, mencari alternatif selain Bojong memang harus disiapkan. *

Dimuat di Koran Tempo, 24 November 2004

Palestina tanpa Arafat

PEMIMPIN Palestina Yasser Arafat kini tergolek tak berdaya di sebuah bangsal rumah sakit militer Prancis, nun jauh dari negerinya. Napasnya satu-satu. Mesin-mesin menopang raganya. Doa-doa melayang ke pembaringannya. Dan lilin-lilin pun dinyalakan untuk menerangi jalan kesembuhannya.

Bukan Arafat namanya kalau penderitaannya tak memancing simpati jutaan orang di seluruh dunia. Dia Bapak Bangsa Palestina--seperti halnya Julius Nyerere di Tanzania, Kardinal Makarios di Siprus, dan Kenneth Kaunda di Zambia.

Arafatlah yang menyatukan puak Palestina yang berserakan di mana-mana. Diawali dengan upaya konsolidasi yang solid, Arafat berhasil membangun sebuah bangsa yang nyaris mustahil semula. Dia pulalah yang mengusung kemerdekaan bangsanya ke pentas dunia setelah berjuang melalui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpinnya sejak 1969.

Di mata bangsanya, Arafat alias Abu Ammar adalah pahlawan. Ia mendapat penghormatan rakyatnya, bukan semata karena simbol kemerdekaan. Sebagai manusia, ia sosok yang hangat.

Karena itulah, begitu Arafat keluar dari markas besarnya di Tepi Barat menuju Prancis pekan lalu, lantaran sakit yang teramat sangat, banyak kalangan waswas. Orang ramai mulai mengkhawatirkan situasi Palestina seandainya Arafat benar-benar mangkat suatu hari nanti.

Kosongnya kursi kepemimpinan Palestina jelas akan membawa masalah baru. Apalagi Israel, seteru abadi Palestina, terlihat belum mengendurkan tekanan dan justru seperti ingin memancing di air keruh.

Kita tahu setidaknya ada 13 faksi yang bertolak belakang di sana. Ada faksi garis keras seperti Hamas dan Islamic Jihad yang selalu memilih jalan pedang melawan Israel, musuh besarnya. Ada pula faksi Fatah yang sejak dipimpin Arafat dikenal sebagai kelompok moderat yang terbuka pada negosiasi dan kompromi.

Di sisi lain, perpindahan tongkat estafet kepemimpinan Palestina belum disiapkan secara mulus. Siapa calon pembawa tongkat berikutnya masih samar-samar.

Saat ini paling tidak ada beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Arafat. Ada Perdana Menteri Ahmed Qorei, yang mengurus administrasi pemerintahan sehari-hari, termasuk soal keuangan dan keamanan, serta penjabat sementara Ketua PLO Mahmud Abbas dan mantan Kepala Keamanan Palestina Muhammad Dahlan.

Hanya, Palestina tampaknya belum siap melahirkan nama baru sebagai pengganti Arafat. Padahal peluang bukan tak ada. Trio pemimpin itu, misalnya, bisa dipercaya mendesain rencana dan kesepakatan damai baru dengan Israel. Setelah itu, pemilu juga bisa dirancang segera.

Dari pemilu yang demokratis itulah kita berharap kelak akan lahir pemimpin baru Palestina. Pemimpin yang memperoleh legitimasi sebagai pengganti Arafat, hingga faksi-faksi yang berseteru dengan sendirinya akan tunduk pada legitimasi itu.

Memang jalan menuju pemilu tidak mudah. Sebelum hal itu tercapai, pintu perundingan dengan Israel mesti terus dibuka. Gencatan senjata juga harus segera ditegakkan, dengan atau tanpa Arafat.

Israel mesti berunding dengan paradigma baru. Tuntutan bahwa sebelum ada perundingan Arafat mesti mereformasi negara Palestina dan mengendalikan pengebom bunuh diri adalah omong kosong. Jangan lupa, di tengah lingkaran setan kekerasan, penyerbuan Israel justru menjadi dinamo penggerak bom bunuh diri itu. ***

Dimuat di Koran Tempo, 10 November 2004



Menanti Bukti Instruksi Presiden

SEJUMLAH instruksi keluar di hari-hari pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terakhir, Presiden mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur di Indonesia. Salah satunya berbunyi, semua gubernur diminta memberikan teladan kepada masyarakat soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gubernur yang terlibat tiga perkara tersebut akan diberhentikan.

Meskipun bagus dan layak dilaksanakan, tidak ada yang istimewa sebetulnya dari keluarnya sejumlah instruksi itu. Sebagai presiden baru, Yudhoyono memang harus "kejar setoran", cepat-cepat menyelesaikan pelbagai persoalan penting dan genting. Apalagi ia sudah berjanji akan membawa perubahan di negeri ini. Salah satu caranya, ya, mengeluarkan instruksi itu.

Selain itu, tak ada yang luar biasa juga dari instruksi kepada para gubernur. Seorang presiden memang sudah seharusnya mengeluarkan perintah kepada para gubernur di bawahnya. Apalagi, menurut undang-undang, gubernur diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tanpa instruksi khusus, sebenarnya presiden bisa saja langsung memerintahkan agar mereka melakukan sesuatu.

Instruksi itu jadi menarik dan perlu dibicarakan karena Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh saat ini tengah menjadi tersangka dalam kasus korupsi pembelian helikopter jenis Mi-2. Lembaga yang menetapkan status tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bekas presiden Megawati Soekarnoputri memang pernah mengeluarkan instruksi presiden yang berisi perintah agar tugas Gubernur Puteh didelegasikan kepada Wakil Gubernur Aceh. Adapun pelaksanaan tugas dan wewenang sehari-hari Gubernur selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah dilaksanakan sepenuhnya oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Namun, secara hukum, ia masih Gubernur Aceh.

Hingga sekarang, proses hukum Puteh pun masih menumpuk di atas meja Komisi Pemberantasan Korupsi. Semula ada rencana kasus Puteh disidangkan setelah para hakim ad hoc tindak pidana korupsi diangkat pada 7 Oktober silam. Namun, hingga dua pekan berlalu, belum ada kabar kapan sidang digelar.

Kini kita berharap Presiden Yudhoyono tak hanya bisa menggelontorkan segepok instruksi kepada jajaran di bawahnya. Kita menunggu apakah perintah itu dijalankan sang bawahan. Kita juga akan melihat bagaimana Presiden mengawasi apakah bawahannya menjalankan perintahnya atau tidak.

Lebih dari itu, kita juga ingin Presiden melakukan terobosan. Dalam kasus Puteh, misalnya, janganlah terlalu banyak basa-basi dan mengikuti prosedur umum. Bila orang ramai sudah tak percaya kepadanya, ya, pecat saja dia. Nanti kalau dalam sidang ternyata hakim menyatakan ia tak bersalah dan harus dibebaskan dari hukum, Presiden toh bisa mengangkat dan memulihkan namanya lagi.

Masa kampanye sudah berakhir. Sekarang adalah masa bakti. Kita tak butuh lagi janji, melainkan bukti. Jangan sampai segala macam instruksi itu menjadi sekadar basa-basi politik yang tak pernah terlaksana. Karena itu, instruksi presiden sebaiknya diikuti sanksi hukum bagi yang melanggar supaya ia tak hanya menjadi macan kertas. ***

Dimuat di Koran Tempo, 27 Oktober 2004


Selamat Datang, Presiden Baru

SEJARAH baru terbentang di atas karpet gedung MPR/DPR Senayan pagi ini. Presiden Indonesia yang ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, secara resmi akan dilantik bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Keduanya adalah pasangan pemimpin negara pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita ucapkan selamat datang dan selamat bertugas kepada mereka.

Yudhoyono menjadi presiden setelah meraih lebih dari 60 juta suara, lebih banyak daripada pesaingnya, Megawati Soekarnoputri, yang cuma memperoleh sekitar 40 juta suara.

Ia dipilih, bukan dilotere. Rakyat memilihnya dengan beberapa alasan, di antaranya lantaran ia menjanjikan perubahan yang didambakan orang ramai. Persoalannya sekarang adalah apa yang akan berubah dan apakah pelaksanaannya akan lancar seperti direncanakan.

Mayoritas rakyat pemilih beranggapan, di bawah kendali Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Kalla, Republik akan bergerak menuju keadaan yang lebih baik, seperti yang terucap lewat janji-janji mereka semasa kampanye. Apakah anggapan orang ramai ini benar atau tidak, terpulang pada kinerja pemerintah baru yang akan memulai masa jabatannya hari ini.

Kinerja itu ditentukan oleh dua hal: kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan yang kompeten serta kompak dan kepiawaian dalam mengatasi berbagai tantangan yang menghadang.

Kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan bisa diukur antara lain dari ketepatan Yudhoyono menyusun kabinet yang rencananya juga akan diumumkan hari ini. Apakah dia memilih orang-orang yang bisa diandalkan? Menteri-menteri yang kompeten? Integritasnya tinggi? Orang-orang dari pelbagai latar belakang, suku, agama, ras, partai, juga universitas?

Bila ya, Yudhoyono berarti telah maju satu langkah. Jika tidak, dia pastilah akan menuai kecaman orang ramai. Memang, apa pun pilihannya, Yudhoyono mustahil menyenangkan semua orang. Namun, paling tidak kita berharap ia tak memasang, misalnya, menteri yang pernah gagal di kabinet sebelumnya.

Adapun kelihaian mengatasi tantangan bakal terlihat dari apa yang akan dilakukannya dalam 100 hari mendatang. Tantangan paling dekat dan nyata bagi pemerintah baru serta yang harus diselesaikan selekasnya adalah kebutuhan menyesuaikan anggaran secara drastis untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang membubung sangat tinggi.

Pemerintah baru tak punya pilihan selain mengurangi subsidi bahan bakar minyak alias menaikkan harga. Ini tindakan tak populer yang harus diambil saat mayoritas kursi DPR berada dalam genggaman Koalisi Kebangsaan, kumpulan partai politik yang menyatakan diri akan menjadi kekuatan "penyeimbang" terhadap lembaga eksekutif. Mampukah Yudhoyono menyelesaikan tugas pertama ini?

Seandainya Presiden Yudhoyono mampu, kita patut mengacungkan jempol dan mendukung terus upayanya untuk mendatangkan perubahan. Jika ada kekurangan atau penyimpangan, mari kita sama-sama mengontrolnya, menyampaikan koreksi, dan menyumbangkan saran atau alternatif penyelesaian.

Terakhir, rasanya kita layak menyampaikan terima kasih kepada bekas presiden Megawati Soekarnoputri yang ikut berjasa melahirkan pasangan pemimpin baru melalui pemilu yang demokratis. Semoga ia tak menutup rapor baiknya selama ini dengan "noda" yang tak perlu dan lebih suka tinggal di rumah ketimbang hadir dalam acara pelantikan Presiden Yudhoyono. ***

Dimuat di Koran Tempo, 20 Oktober 2004




Sayembara Rp 1 Miliar Polisi

KERJA polisi kian lama kian membingungkan dan terkesan main-main. Betapa tidak? Setelah mengaku lalai menjaga seorang tersangka kejahatan, sehingga yang bersangkutan buron, polisi kini mengadakan sayembara berhadiah untuk menangkapnya.

Sayembara itu isinya kurang-lebih adalah polisi akan memberikan hadiah Rp 1 miliar kepada siapa saja yang bisa memberi informasi keberadaan Adrian Waworuntu, tersangka utama pembobol duit Bank BNI Rp 1,7 triliun, yang kabur itu.

Menggelar sayembara menangkap Adrian jelas bukan sesuatu yang kita tunggu dari polisi. Kita justru menanti usaha polisi mengejar dan menangkap buron itu. Mengadakan sayembara bisa diartikan seolah-olah polisi sudah menemui jalan buntu dan menyerah, sehingga terpaksa meminta bantuan masyarakat.

Adrian bukan pembunuh sadis, bukan pula teroris yang baru saja meledakkan bom di suatu tempat dan menewaskan banyak orang. Ia memang buron kakap, tetapi tak berbahaya amat. Ia bukan buron bersenjata yang mengancam keselamatan orang lain. Kesalahannya, paling tidak menurut polisi, hanyalah menggondol sejumlah besar uang yang bukan miliknya dan sekarang kabur entah ke mana. Terlalu berlebihan rasanya jika untuk mengejar dia, polisi sampai harus mengadakan sayembara Rp 1 miliar.

Uang Rp 1 miliar tentu bukan jumlah yang kecil. Memang polisi mengatakan, uang itu diambil dari biaya operasional mereka. Artinya, hadiah itu sudah masuk dalam anggaran mereka. Ini juga berarti asalnya dari negara alias uang rakyat.

Seandainya kelak memang ada warga masyarakat yang berhasil menunjukkan lokasi Adrian dan memperoleh hadiah itu, berarti polisi sekadar mengembalikan lagi uang dari rakyat. Ini jelas tidak lucu. Kecuali hadiah itu ternyata sumbangan dari perseorangan.

Mestinya polisi tak perlu sampai mengeluarkan uang sebanyak itu. Ketimbang mengadakan sayembara, mestinya polisi gunakan saja uang itu untuk membiayai operasi memburu Adrian yang mungkin akan menghabiskan ongkos lebih sedikit.

Uang sayembara itu lebih baik dipakai sebagai insentif bagi petugas yang memburu Adrian. Bisa juga dipakai untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Atau dipakai saja untuk hadiah bagi siapa saja yang berhasil menyeret petugas yang lalai, dan menyebabkan Adrian kabur, ke penjara. Mengejar Adrian itu suatu keharusan, tetapi memberi hukuman yang setimpal kepada polisi yang lalai juga penting.

Hadiah Rp 1 miliar itu mungkin juga jumlah yang tak seberapa bagi Adrian. Ingat, ia diduga menggondol Rp 1,7 triliun atau 1.700 kali satu miliar! Jelas, uang Rp 1 miliar bukan apa-apa baginya. Ia pasti mampu mengadakan sayembara yang sama dengan hadiah yang jauh lebih besar.

Taruhlah misal, Adrian ganti menyediakan hadiah Rp 2 miliar kepada siapa saja yang bisa menyembunyikan dirinya. Atau, ia menjanjikan hadiah Rp 5 miliar kepada semua polisi yang tak menangkapnya dan bersedia menghentikan pengejaran. Apa yang akan terjadi?

Ada kemungkinan orang ramai akan lebih memilih ikut sayembara Adrian ketimbang mendapatkan hadiah dari polisi, meskipun dengan risiko masuk penjara. Karena, sudah jelas uang yang akan diperoleh jauh lebih besar. Seandainya itu yang terjadi, pasti polisi akan makin terlihat tidak lucu. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 13 Oktober 2004

Apa yang Kaucari MPR?

Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diperkirakan berlangsung singkat ternyata justru berlarut-larut. Setelah alot membahas selama tiga hari, baru kemarin para wakil rakyat akhirnya bersepakat tentang tata cara pemilihan dan komposisi pimpinan MPR.
Pimpinan dipilih lewat voting tertutup. Adapun komposisinya terdiri atas satu ketua dan tiga wakil ketua MPR. Jajaran pimpinan terdiri atas dua dari DPR dan dua dari DPD.

Komposisi pimpinan itulah salah satu hal yang membuat fraksi-fraksi di MPR bersikukuh. Tiap-tiap kubu menghendaki versi masing-masing dengan argumentasi sendiri-sendiri. Perbedaan pandangan itu tak segera mencapai titik temu, sehingga sidang pun bertele-tele dan tersendat-sendat. Hari ini rencananya MPR baru akan memilih pimpinan MPR.

Sidang yang berkepanjangan hingga sampai berhari-hari jelas merupakan pemborosan. Pertama, yang paling benderang dan terukur adalah negara terpaksa mengeluarkan pos pengeluaran tambahan untuk, katakanlah, uang sidang dan biaya penginapan anggota MPR.

Seperti kita tahu, setiap anggota Majelis berhak mendapatkan uang sidang Rp 150 ribu per hari. Artinya, kalau sidang molor empat hari, pengeluaran menjadi Rp 600 ribu. Ongkos menginap, dengan harga diskon, Rp 750 ribu per kamar. Jika sidang mundur empat hari, biayanya jadi Rp 3 juta per kamar.

Angka itu harus dikalikan jumlah semua anggota, juga ditambah pengeluaran tambahan untuk konsumsi, sewa bus untuk mengangkut anggota dari hotel ke gedung MPR/DPR, dan remeh-temeh lainnya. Mau sidang berapa lama lagi? Mau berapa banyak lagi dana yang harus dikeluarkan? Anggaran memang sudah disiapkan dan mungkin tetap mencukupi. Namun, kalau bisa dihemat, kenapa harus mengeluarkan lebih banyak?

Para wakil rakyat mestinya sadar bahwa mereka adalah kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman dekat, apalagi sanak famili. Mereka dipilih oleh rakyat, bukan dilotere. Di saku baju safari merekalah harapan rakyat dititipkan.

Mereka harus tahu bahwa sidang yang singkat, efisien, dan tak bertele-tele bisa menghemat pengeluaran -- meskipun demokratis. Jangan mentang-mentang kepentingannya belum tercapai, lalu mengabaikan efisiensi dan kepraktisan dengan berlama-lama adu argumentasi.

Wakil rakyat wajib mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, termasuk kepentingan partai, daerah, ras, dan suku, serta melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ingat, rakyatlah yang memilih Anda semua secara langsung. Anda mesti mempertanggungjawabkan keputusan kepada rakyat yang sudah memilih. Kalau Anda mengabaikan atau tak memikirkan mereka, jangan harap rakyat memilih Anda lima tahun lagi. Sudah bukan zamannya lagi berdebat demi kepentingan sesaat. Ini zaman memikirkan rakyat. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 6 Oktober 2004

Carut-marut Kasus Newmont

KASUS pencemaran Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, berkembang semakin kompleks. Setelah polisi menetapkan PT Newmont Minahasa Raya sebagai perusahaan yang melakukan pencemaran, Richard Bruce Ness, direktur utamanya, juga ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Amerika, melalui duta besarnya di Jakarta, Ralph Boyce, lalu meminta Ness tak ditahan. Permintaan ini kemudian memicu protes dari pelbagai kalangan, karena dianggap sebagai bentuk intervensi urusan dalam negeri Indonesia.

Kasus Newmont sejatinya tak perlu melebar ke mana-mana seandainya sejak semula ada satu hal yang diluruskan terlebih dulu, yakni soal standar yang dipakai untuk menentukan terjadinya pencemaran. Soalnya, hingga saat ini ada beberapa versi, punya polisi, Kementerian Lingkungan, Newmont, dan LSM.

Kalangan LSM menyatakan memang ada pencemaran logam berat di perairan Teluk Buyat. Demikian juga Pusat Laboratorium Forensik Polri. Sebaliknya, Newmont menyangkalnya.

Menteri Lingkungan Hidup, yang sebelumnya selalu bernada menyangkal adanya pencemaran, akhirnya mengumumkan hasil Tim Peer Review yang menyatakan sebaliknya. Tim ini dibentuk oleh Menteri Lingkungan Hidup, tidak melakukan penyelidikan sendiri, tetapi menilai dari semua laporan penyelidikan yang ada.

Walaupun Menteri Lingkungan Hidup mengoreksi pernyataan sebelumnya dengan menyatakan kesimpulan Tim Peer Review bukan atas nama kementeriannya, dan bahkan menyatakan tetap pada kesimpulan bahwa kualitas air di Teluk Buyat masih di bawah baku mutu, kementerian itu tetap merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab menciptakan kejelasan atas kasus ini.

Kita harus berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Tatkala ada korelasi dua kejadian, hubungan keduanya tidak selalu bersifat sebab-akibat. Analisis obyektif harus dilakukan dulu, agar tidak membuat kesimpulan cepat yang menyesatkan.

Ada limbah dan banyak orang sakit di daerah sekitarnya, belum pasti berarti bahwa hal yang pertama menyebabkan kejadian yang kedua. Metode ilmiah mengharuskan orang untuk menghindari kesesatan post hoc, ergo propter hoc: sesudah ini, karena itu disebabkan oleh hal itu.

Karena itu, diperlukan penelitian yang tuntas, komprehensif, serta obyektif dengan memakai laboratorium yang memenuhi standar internasional tentang semua yang masih "abu-abu" di Teluk Buyat.

Langkah ini sebaiknya dilakukan oleh tim independen yang terdiri dari pelbagai kalangan. Amerika kalau mau bisa juga diikutkan dalam tim tersebut. Daripada duta besarnya melakukan lobi ke sana-kemari, lebih baik diikutkan dalam penelitian, sehingga tak dicurigai melakukan tekanan atau intervensi. Dari tim independen diharapkan keluar hasil yang disepakati bersama dan meminimalkan keraguan.

Langkah itulah yang seharusnya ditetapkan dulu sebelum kita maju ke tahap berikutnya, seperti menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Jangan sampai gara-gara belum ada kejelasan, lalu ada orang yang jadi bulan-bulanan.

Tanpa langkah tersebut, silang pendapat mengenai kesimpulan akan muncul. Peluang pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kasus Newmont ini pun jadi terbuka. Ujung-ujungnya orang juga akan curiga pada kerja polisi yang terkesan "terlalu" bersemangat. Kita tentu tak ingin hal ini terjadi. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 30 September 2004

Pemimpin Partai Jangan Setengah-setengah

Partai Demokrat akhirnya mengakui bahwa anggotanya melakukan politik uang dalam perebutan kursi Ketua DPRD DKI Jakarta. Mereka juga mengaku akan memecat para pelakunya dalam waktu dekat.

Politik (dan) uang sejatinya bukan cerita baru di ruang Dewan. Praktek gelap ini terjadi di mana-mana, bukan hanya di gedung parlemen Jakarta, melainkan juga di Amerika yang sering disebut-sebut -- secara berlebihan -- sebagai penegak demokrasi. Sudah kerap terdengar ada wakil rakyat dari pelbagai partai yang melakukan politik uang, menerima suap demi tujuan tertentu.

Namun, kasus di DPRD DKI Jakarta merupakan yang pertama kali, setidaknya yang sudah terungkap luas, bagi Partai Demokrat yang calonnya berhasil naik ke kursi presiden. Tentu saja ini bukan awal yang bagus bagi partai ini yang tergolong baru di kancah politik.

Kasus itu tak bisa dilepaskan dari kenyataan yang terjadi di ranah politik, bahwa politik dan uang berhubungan erat. Money talks. Juwono Sudarsono pernah memberikan ilustrasi sinis perihal politik dan uang. Dalam dunia politik, katanya, terdapat tiga faktor yang amat berpengaruh, yaitu duit, money dan fulus. Dari ilustrasi ini, kita bisa simpulkan, politik dan uang adalah kombinasi yang tak terpisahkan, saling mempengaruhi, seperti manusia dan udara.

Politik uang sangat berbahaya sebab wujudnya sering kali begitu canggih, sehingga tidak mudah dideteksi. Dibutuhkan lebih dari sekadar kehendak baik dan kemauan yang keras untuk memberantasnya.

Kongkalikong semacam itu jelas merugikan masyarakat. Pejabat yang naik karena membeli suara tentu harus memberikan semacam balas budi politik. Akibatnya, ia tidak bisa lagi mengambil keputusan publik yang adil dan tidak berpihak.

Ujung-ujungnya, masyarakat pula yang harus menanggung beban, baik dalam bentuk pembayaran jasa publik yang lebih besar, atau menurunnya kualitas fasilitas dan layanan publik yang seharusnya mereka terima.

Bagi partai, politik uang merupakan pelanggaran disiplin yang mengancam keutuhan organisasi. Tanpa disiplin, apa jadinya sebuah partai. Anggota bisa seenaknya berbuat apa saja tanpa mempedulikan aturan partai. Citra dan integritas partai pun bisa ternoda karenanya.

Ironisnya, terbukti hukum sering kali mandul menangani para pelaku politik uang. Tak banyak pemberi dan penerima suap yang bisa dibawa ke meja hijau. Selain karena kurangnya bukti, para pelaku juga sering lolos lantaran "politik uang" juga.

Karena itu, jika ada wakil rakyat, anggota partai, main politik uang, mereka bukan hanya harus dipecat. Para pemimpin partai--kalau tak bisa membawanya ke meja hijau--minimal harus mengumumkan nama-nama pelakunya.

Mengakui bahwa anggotanya telah melakukan praktek tak terpuji dan memecatnya adalah langkah bagus Partai Demokrat. Langkah ini harus diikuti dengan pengumuman nama para pelakunya. Jangan setengah-setengah mengambil tindakan.

Pengumuman itu perlu, biar rakyat, para konstituen, tahu dan tak memilihnya lagi di masa datang. Biarlah praktek gelap yang dilakukannya menjadi rapor yang terang-benderang di mata orang ramai. Biarlah jejak keburukannya tercatat jelas di benak para calon pemilih kelak.

Dimuat di Koran Tempo, 25 September 2004