Tuesday, June 20, 2006

Kinerja Tim Hendarman

Sekali-sekali bolehlah kita memuji kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baru setahun terbentuk, tim di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji ini mengaku telah menyelamatkan Rp 2,7 triliun uang negara dari tangan para koruptor.

Jika klaim ini benar, kita layak mengacungkan jempol. Bayangkan bila uang sebanyak itu dipakai untuk memperbaiki seluruh fasilitas kesehatan, pendidikan, keagamaan, budaya, dan institusi sosial yang rusak akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Separuh dari jumlah itu saja bahkan bisa dipakai untuk merenovasi lebih dari 2.600 sekolah yang rusak akibat gempa yang sama.

Meskipun demikian, Tim Pemberantas Korupsi hendaknya jangan cepat puas dengan hasil itu. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya diukur dari jumlah uang negara yang dapat diselamatkan atau dari jumlah koruptor yang ditangkap. Pemberantasan korupsi bukanlah lomba lari jarak pendek.

Sebaliknya, perang melawan praktek curang itu ibarat lomba lari maraton, butuh waktu panjang dan usaha yang tak kenal lelah. Sebab, tindak kejahatan ini sudah seperti hujan yang merata alias ada di mana-mana. Pelakunya pun sangat beragam, baik status, pangkat, maupun jabatannya.

Belakangan ini memang mulai ada gejala orang takut korupsi. Ada fenomena pejabat menolak menjadi pemimpin proyek karena takut terlibat penyelewengan. Fenomena ini bahkan sampai membuat pemerintah berencana mengeluarkan aturan perlindungan pejabat dari penyidikan kasus korupsi. Ini perkembangan yang bagus.

Kita memang harus mencegah orang berbuat jahat. Karena itu, jangan sampai perkembangan yang sudah baik ini kembali memburuk hanya karena kinerja Tim Pemberantas Korupsi melemah. Kita perlu mengingatkan hal ini karena tim yang dibentuk Presiden pada Mei tahun lalu itu masih memiliki kelemahan.

Kelemahan itu, misalnya, lantaran rendahnya kualitas dan kinerja penyidik. Ini terlihat dari beberapa penggantian anggota tim penyidik yang kinerjanya dinilai masih jauh dari harapan. Ada saja jaksa atau polisi yang malah diduga terlibat dalam kasus yang ditangani. Contohnya kasus korupsi PT Jamsostek yang menguarkan aroma kolusi antara jaksa dan terdakwa.

Hendarman tentu saja perlu terus-menerus menutup kelemahan ini demi peningkatan kinerja timnya. Tim Pemberantas Korupsi juga mesti pandai-pandai menjaga independensinya dari intervensi politis dan konflik kepentingan di kalangan eksekutif, mengingat kasus dugaan megakorupsi, seperti di PLN, biasanya menyeret sejumlah tersangka yang memiliki keterkaitan dengan pejabat tinggi.

Konflik kepentingan di pucuk pemimpin eksekutif bisa menghentikan penanganan kasus korupsi bila tim tak independen. Hendarman mesti menyelesaikan pekerjaan rumah, membenahi integritas dan independensi timnya, agar menang dalam perang melawan korupsi. Apa pun risikonya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 20 Juni 2006

Monday, June 05, 2006

Menyiasati Anggaran Pendidikan

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden memang seharusnya bertemu dan membicarakan anggaran pendidikan untuk tahun 2006. Ini cara yang baik dan konstitusional. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Dewan dan pemerintah harus menaikkan alokasi anggaran pendidikan, dari 9,1 persen (sekitar Rp 36,8 triliun) menjadi 20 persen.

Keputusan tersebut merujuk pada pesan konstitusi. Berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 hasil amendemen keempat, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Kita berharap pertemuan itu akan menghasilkan sebuah gambaran yang jelas tentang rencana pemerintah menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai masalah ini mengendap begitu saja tanpa keputusan apa pun seperti persoalan lain. Sebab, sebenarnya tidak ada yang tak menghendaki alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen, termasuk pemerintah. Masalahnya bukan soal mau atau menolak, melainkan mampu atau tidak pemerintah memenuhinya.

Anggaran belanja negara tahun ini tekor. Sebagai gambaran, tahun ini pemerintah mesti mengeluarkan subsidi tambahan Rp 10,2 triliun supaya tarif listrik tak naik sehingga defisit anggaran belanja Rp 22 triliun. Untuk mencapai batas minimal anggaran pendidikan 20 persen, diperlukan tambahan kurang-lebih Rp 50 triliun. Tambahan ini jelas akan semakin menekan anggaran. Butuh kerja luar biasa keras untuk menutupi bolongnya anggaran negara. Kerja besar itu berupa "main akrobat" dengan pos-pos anggaran. Satu pos dikurangi demi menambah pos yang lain.

Cara ini tidak gampang. Menggenjot pemasukan lewat pajak dan ekspor mudah secara teori, tapi sangat berat dijalankan di lapangan. Dunia usaha lesu menghadapi melemahnya daya beli rakyat. Pemasukan menurun, otomatis pajak yang dibayarkan kepada negara juga susut. Untuk menomboki anggaran, ujung-ujungnya pemerintah negeri ini harus mencari utang luar negeri. Soal anggaran negara tahun ini mungkin terpecahkan, tapi dengan memindahkan beban ke masa datang, ke anak-cucu kita.

Kita setuju sektor pendidikan mendapat jatah anggaran minimal 20 persen. Di sisi lain, kita memahami kantong pemerintah cekak. Karena itu, diperlukan siasat. Seandainya alokasi anggaran pendidikan sudah disesuaikan seperti semestinya di atas kertas, pelaksanaannya tidak perlu dilakukan sepenuhnya. Dalam praktek selama ini, cukup banyak dana yang tidak terserap untuk digunakan pada tahun anggaran yang ditentukan.

Barangkali jalan keluar ini terpaksa ditempuh pemerintah: secara formal memprioritaskan anggaran pendidikan dengan alokasi 20 persen, tapi hanya membelanjakan sebanyak dana yang bisa disediakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Juni 2006