Tuesday, September 27, 2005

JANGAN BEKERJA TERLALU KERAS!

Tuesday, September 20, 2005

Ahmadiyah Teraniaya

PENYERBUAN dan perusakan puluhan rumah dan masjid milik pengikut Ahmadiyah di Cianjur, Jawa Barat, adalah perbuatan kriminal yang harus dikecam keras. Di negeri Pancasila ini, tidak ada (dan tak boleh ada) kelompok yang mempunyai otoritas menggunakan kekerasan untuk menindak yang lain. Kelompok penyerbu di Cianjur itu tidak hanya mencederai ajaran agamanya, tapi juga melabrak aturan hukum.

Jika pelakunya tidak dihukum setimpal, itulah tanda bahwa otoritas penegak hukum di negeri ini sudah tak mampu melindungi warganya. Negeri tanpa penegak hukum yang bisa diandalkan sungguh mengerikan. Aksi di Cianjur itu bukan tak mungkin segera diikuti oleh aksi serupa di daerah lain. Kita tahu bahwa aset pengikut Ahmadiyah banyak macamnya dan tersebar di berbagai daerah. Sebelum aksi perusakan massal terjadi, para pelaku kekerasan di Cianjur harus ditangkap dan diproses secara hukum. Apalagi yang dirusak adalah masjid, tempat ibadah yang seharusnya dijaga oleh kelompok mana pun, termasuk kelompok yang mengatasnamakan Islam di Cianjur itu. Pantas juga jika para pelaku dikenai tambahan pasal penodaan terhadap agama dengan aksi beringasnya ini.

Pendapat ini dikemukakan bukan untuk membela ajaran Ahmadiyah. Tindakan hukum mesti diambil karena kebebasan memeluk keyakinan masing-masing merupakan hak konstitusional setiap warga di negeri ini. Mereka yang menghalangi kebebasan memilih berarti melanggar konstitusi.

Ajaran Ahmadiyah boleh-boleh saja dipersoalkan atau digugat, tapi itu jelas bukan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok ini. Di negara demokratis ini, mereka yang merasa terganggu oleh keyakinan pihak lain memang harus mampu menahan diri. Jika merasa pihak lain sesat, silakan membuka dialog untuk mempertemukan pandangan. Kalau pandangan tidak bisa dipertemukan, sepakatlah untuk berbeda pandangan dengan damai.

Suka tidak suka, demokrasi menuntut setiap warga mampu bersikap seperti Voltaire. Pemikir Prancis ini pernah mengatakan, "Aku sama sekali tak setuju dengan pendapatmu, tapi hak kamu untuk berpendapat akan saya bela mati-matian." Maka silakan saja menganggap Ahmadiyah atau siapa pun sesat, tapi hak konstitusional mereka untuk secara bebas memilih keyakinannya sendiri tetaplah harus dihormati.

Perbedaan keyakinan bukan masalah hukum. Tapi tindak kekerasan terhadap orang lain jelas sebuah perbuatan kriminal. Jika terus dibiarkan, karena aparat selalu merasa "kikuk" menindak kelompok yang membawa-bawa nama agama, kekerasan akan bersimaharajalela dan menginjak-injak aturan hukum yang berlaku. Negara wajib melindungi hak konstitusional warganya, termasuk pengikut Ahmadiyah. Bila gagal, berarti amanat konstitusi sudah dilanggar.

Diterbitkan di Koran Tempo, 21 September 2005

Tuesday, September 13, 2005

Sidang Kabinet Jarak Jauh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya suka memanfaatkan kecanggihan teknologi -- satu kebiasaan yang bagus. Dialah presiden pertama Indonesia yang menyediakan nomor khusus untuk menerima pesan pendek (SMS) dari rakyatnya. Sekarang, ketika melawat ke Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono menjadi presiden pertama yang memimpin rapat rutin kabinet melalui fasilitas konferensi jarak jauh (teleconference). Rapat jarak jauh ini rencananya dilakukan setiap hari selama sepekan lawatannya.

Teleconference bukanlah jenis teknologi baru, tapi bukan juga layanan yang murah. Kalau Presiden Yudhoyono memanfaatkannya sekarang, yang segera terbayang adalah sebuah rapat yang harus memutuskan persoalan yang berat dan mendesak. Atau setidak-tidaknya Presiden merasa perlu bertatap muka untuk mendengar laporan anggota kabinetnya sebelum keputusan yang penting dan mendesak diambil. Sampai dua kali rapat jarak jauh dilakukan, memang belum ada keputusan besar, genting, dan mendesak yang dikeluarkan. Umumnya, Presiden Yudhoyono -- yang harus tetap terjaga pada sekitar pukul 2 dini hari waktu AS -- hanya meminta laporan sekitar pelaksanaan program yang sedang berjalan.

Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, menurut kelaziman ketatanegaraan selama ini. Setiap kali presiden ke luar negeri, ia akan mengeluarkan surat keputusan presiden, yang berisi pendelegasian wewenang kepada wakil presiden. Dalam keputusan presiden itu bisa diatur agar wakil presiden yang diberi delegasi harus selalu berkonsultasi kepada presiden bila hendak mengambil keputusan. Cara praktis ini dilakukan pertama kali oleh Bung Karno, dilanjutkan di zaman Abdurrahman Wahid.
Apabila presiden ingin mendengar laporan umum tentang situasi di dalam negeri, ia bisa menelepon wakilnya. Dia juga bisa meminta Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet untuk memberinya laporan setiap hari.

Di Jakarta, cukuplah wakil presiden yang memimpin sidang kabinet. Dalam kasus sangat urgen, untuk mengambil keputusan tentang persoalan yang gawat dan mendesak, yang tak bisa dilakukan tanpa kehadiran seorang presiden, barulah telekonferesi diadakan. Pendelegasian wewenang yang dilakukan dengan tepat, yang merupakan praktek berpemerintahan yang baik, tentu menambah kredibilitas pemerintah yang sedang berkuasa. Kesan bahwa kabinet ini kompak, dengan personel yang mampu mengatasi keadaan, dan mampu bekerja tanpa pengawasan secara ketat harus ditunjukkan kepada umum di masa sulit seperti sekarang ini.

Sementara itu, presiden yang berada di luar negeri bisa berkonsentrasi penuh pada misi lawatannya. Tentu banyak yang perlu ditemui dan dikunjungi Presiden Yudhoyono di AS. Kalau ada waktu yang tersisa, lebih baik dipakai untuk beristirahat saja, agar esok hari lebih segar dan lebih banyak ide untuk memperbaiki kondisi negeri yang sedang dipimpinnya ini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 September 2005