Tuesday, September 26, 2006

Fatwa Pemisahan Piutang Negara

Mahkamah Agung boleh-boleh saja mengeluarkan fatwa yang menyatakan piutang bank badan usaha milik negara itu bukan piutang negara. Fatwa itu keluar semata-mata karena pemerintah meminta. Latar belakangnya, bank-bank milik pemerintah ingin menghapus sebagian kredit seretnya (non performing loan). Keinginan itu terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Bank pemerintah ingin aturan itu direvisi supaya kompetisi di industri perbankan seimbang. Selama ini bank swasta terkesan gampang menghapus kredit macet. Mereka tak khawatir dituding merugikan negara atau korupsi. Kalaupun terjadi kasus, para anggota direksi bank swasta paling banter hanya akan berhadapan dengan rapat umum pemegang saham. Jika terbukti bersalah, sanksi terberatnya hanya pemecatan.

Sebaliknya, bank pelat merah tak bisa melakukan hal yang sama. Jika ada kasus, direksinya harap siap-siap berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman penjara pun sudah menanti. Itu sebabnya, bank pelat merah menginginkan aturan direvisi agar persaingan jadi seimbang.

Gayung rupanya bersambut. Pemerintah memberi sinyal hijau akan merevisi PP Nomor 14 Tahun 2005 itu. Rencana revisi itu terungkap dalam rapat kerja antara pemerintah dan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli lalu. Yang direvisi, antara lain, pasal 19 dan 20, yang mencampuradukkan piutang negara dan piutang perusahaan negara.

Bila pasal itu dihapus, berarti piutang dianggap milik perusahaan, dan bukan milik negara. Piutang perusahaan negara/daerah biarlah menjadi urusan perusahaan negara/daerah yang bersangkutan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara. Agar revisi itu punya dasar hukum, DPR lalu menyarankan pemerintah meminta fatwa dari Mahkamah Agung, yang akhirnya keluar pada 16 Agustus lalu.

Namun, fatwa Mahkamah Agung itu sesungguhnya bukan penyelesaian yang jitu. Yang jadi masalah bukan PP Nomor 14 Tahun 2005. Akar persoalan pengelolaan aset (termasuk piutang) BUMN itu ketidakharmonisan antara UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang yang pertama menyebutkan keuangan negara yang dipisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan disertakan sebagai modal di BUMN tetap merupakan milik negara. Undang-Undang BUMN dan Perseroan menyebutkan sebaliknya. Akibatnya, tidak ada kejelasan apakah pemotongan piutang oleh bank-bank pelat merah tetap bisa dianggap sebagai kerugian negara atau bukan.

Perbedaan itu memicu persoalan berikutnya, yakni lembaga mana yang berhak mengaudit BUMN: Badan Pemeriksa Keuangan atau auditor independen. Selama perbedaan pandangan ini tak diharmonisasi, konflik akan tetap muncul. Karena itu, salah satu undang-undang itu diamendemen saja.

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 September 2006
Mahkamah Agung boleh-boleh saja mengeluarkan fatwa yang menyatakan piutang bank badan usaha milik negara itu bukan piutang negara. Fatwa itu keluar semata-mata karena pemerintah meminta. Latar belakangnya, bank-bank milik pemerintah ingin menghapus sebagian kredit seretnya (non performing loan). Keinginan itu terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Bank pemerintah ingin aturan itu direvisi supaya kompetisi di industri perbankan seimbang. Selama ini bank swasta terkesan gampang menghapus kredit macet. Mereka tak khawatir dituding merugikan negara atau korupsi. Kalaupun terjadi kasus, para anggota direksi bank swasta paling banter hanya akan berhadapan dengan rapat umum pemegang saham. Jika terbukti bersalah, sanksi terberatnya hanya pemecatan.

Sebaliknya, bank pelat merah tak bisa melakukan hal yang sama. Jika ada kasus, direksinya harap siap-siap berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman penjara pun sudah menanti. Itu sebabnya, bank pelat merah menginginkan aturan direvisi agar persaingan jadi seimbang.

Gayung rupanya bersambut. Pemerintah memberi sinyal hijau akan merevisi PP Nomor 14 Tahun 2005 itu. Rencana revisi itu terungkap dalam rapat kerja antara pemerintah dan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli lalu. Yang direvisi, antara lain, pasal 19 dan 20, yang mencampuradukkan piutang negara dan piutang perusahaan negara.

Bila pasal itu dihapus, berarti piutang dianggap milik perusahaan, dan bukan milik negara. Piutang perusahaan negara/daerah biarlah menjadi urusan perusahaan negara/daerah yang bersangkutan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara. Agar revisi itu punya dasar hukum, DPR lalu menyarankan pemerintah meminta fatwa dari Mahkamah Agung, yang akhirnya keluar pada 16 Agustus lalu.

Namun, fatwa Mahkamah Agung itu sesungguhnya bukan penyelesaian yang jitu. Yang jadi masalah bukan PP Nomor 14 Tahun 2005. Akar persoalan pengelolaan aset (termasuk piutang) BUMN itu ketidakharmonisan antara UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang yang pertama menyebutkan keuangan negara yang dipisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan disertakan sebagai modal di BUMN tetap merupakan milik negara. Undang-Undang BUMN dan Perseroan menyebutkan sebaliknya. Akibatnya, tidak ada kejelasan apakah pemotongan piutang oleh bank-bank pelat merah tetap bisa dianggap sebagai kerugian negara atau bukan.

Perbedaan itu memicu persoalan berikutnya, yakni lembaga mana yang berhak mengaudit BUMN: Badan Pemeriksa Keuangan atau auditor independen. Selama perbedaan pandangan ini tak diharmonisasi, konflik akan tetap muncul. Karena itu, salah satu undang-undang itu diamendemen saja.

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 September 2006

Monday, September 18, 2006

Menyikapi Blunder Sri Paus

Sudah sepantasnya jika Paus Benediktus XVI meminta maaf kepada umat Islam yang tersinggung oleh pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu. Pidato semacam itu bukan hanya gegabah, tapi secara politik merupakan langkah blunder yang berbahaya.

Dalam teks pidato berjudul "Faith, Reason and the University: Memories and Reflections" itu, Paus mengutip sebuah telaah hubungan agama dan kekerasan dengan mengambil dokumen lama Profesor Theodore Khoury. Dokumen itu membahas dialog di Ankara, Turki, pada 1391 antara Kaisar Byzantine Manuel II Paleologus dan seorang Persia.

Percakapan yang dikutip Paus yang berasal dari Jerman itu antara lain menyebutkan, "... kabar baru yang dibawa Muhammad, kalian bakal menjumpai hal-hal yang tidak manusiawi sebagaimana perintahnya menyebarkan agama dengan jalan pedang."

Sejumlah pemimpin agama dan politik negara muslim menganggap pidato itu sebagai serangan kepada Islam. Tapi, kalau dibaca lebih teliti dan dengan kepala dingin, guru besar dogmatika ini memang tidak sedang menyatakan pendapat, melainkan hanya mengutip, memberikan contoh pendapat orang lain bahwa iman sering tidak rasional.

Namun, keberatan para pemimpin agama dan politik negara muslim juga bisa dimengerti. Apalagi ucapan itu muncul di tengah situasi dunia yang sedang tegang oleh isu yang mengaitkan Islam dan kekerasan (terorisme). Pidato itu hanya akan memicu eskalasi ketegangan yang makin meningkat. Pemimpin umat Katolik itu mestinya cukup peka dan berhati-hati menjaga ucapannya.

Apalagi kontroversi ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada 2004, saat masih sebagai teolog tinggi Vatikan, ia menentang Turki bergabung ke Uni Eropa. Alasannya, Turki sebagai negara muslim secara permanen kontras dengan Eropa. Lalu awal tahun ini, Israel mengecam sang pemegang Takhta Suci itu karena menghapus sebutan Negara Yahudi dalam daftar negara yang menjadi korban terorisme.

Di bekas kamp konsentrasi Nazi, di Auschwitz, Polandia, Mei lalu, pemimpin umat Katolik Roma itu memaafkan rakyat Jerman dari "dosa" nazisme, dengan mengatakan negara itu jatuh sebagai korban "kelompok kriminal" pada 1930-an. Serangkaian pernyataan itu tentu saja sangat mengejutkan, mengingat ia baru sekitar setahun menggantikan mendiang Yohanes Paulus II.

Pernyataan sembrono ini memang tak bisa terhapus begitu saja. Umat Islam boleh saja dan mereka berhak merasa tersinggung, tapi mestinya bisa berlapang dada menerima permintaan maafnya. Siapa pun kita harus berpikir jernih dan tak memperpanjang masalah ini. Bagaimanapun Paus adalah manusia yang bisa keseleo lidah. Ia harus lebih berhati-hati dan memastikan insiden semacam itu tak akan terulang lagi. l

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 September 2006