Sunday, September 19, 2004

SBY Presiden Baru Indonesia

Hari ini jutaan rakyat Indonesia memilih presiden dan wakilnya yang akan memerintah hingga 2009. Siapa pun yang akan menang dalam pemilihan kali ini, dialah presiden pertama Indonesia hasil pilihan rakyat secara langsung.

Sejak pagi, aktivitas pencoblosan kartu suara dimulai. Satu per satu warga mendatangi tempat pemungutan suara. Permukiman sepi, begitu juga lalu lintas di jalanan. Tak terlihat warga berjubel di tempat pencoblosan. Banyak golput? Mungkin saja.

Siang harinya orang sudah bisa melihat hasil perhitungan suara sementara secara nasional. Susilo Bambang Yudhoyono unggul lumayan banyak ketimbang Megawati Soekarnoputri. Kemungkinan besar, SBY bakal jadi Presiden Indonesia ke-6. Selamat deh!

Tuesday, September 14, 2004

Ketika Hujan Jatuh di Yangmingshan

Pagi itu saya cuma sempat menyerumput secangkir kopi dan menjejalkan dua potong croisant ke perut sebagai menu sarapan. Beral Shan, pemandu wisata yang hendak menemani saya jalan-jalan, sudah menunggu di lobi hotel. “Cepat, waktu kita sedikit,” katanya seraya menengok arloji di tangannya. Di atas, mendung menggantung.

Hari itu kami berencana menengok salah satu tempat wisata terdekat di Taipei: Yangmingshan National Park di kaki Gunung Yangmingshan. Taman yang berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut ini adalah salah satu dari sedikit tempat di mana warga Taipei masih bisa mendapatkan udara bersih dan sejuk. Jaraknya tak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap, sekitar setengah jam perjalanan naik bus.

Sepanjang perjalanan, Beral mengoceh tentang apa saja yang bisa dinikmati di wilayah pegunungan di bagian utara Taipei itu. Hujan mulai jatuh satu-satu. Kabut turun. Tiba-tiba saya teringat potongan syair lagu milik Katon Bagaskara, Meniti Hutan Cemara,

Kabut dingin merendah
Perlahan datang menyapa
Semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
Pandangan hijau terhampar
Di tepi hutan cemara ....


Tapi tak ada pohon cemara di pinggir jalan menuju Yangmingshan yang sempit, menanjak dan berbelok-belok itu. Mesin bus terdengar menderu, seperti napas orang yang ngos-ngosan ketika mendaki sebuah bukit. Di kiri-kanan berdiri rumah-rumah mewah milik orang-orang asing dan konglomerat Taipei tertutup semak-semak dan pepohonan hijau. Di musim panas, Beral bercerita, kita bisa melihat buah ceri bergelantungan di ranting-ranting pohon di pinggir jalan.

Kami tiba di tempat parkir Yangmingshan National Park pas hujan turun dengan lebatnya. Celaka. Kami tak membawa sebatang payung pun. Untunglah, di pojokan tempat parkir ada satu toko kecil yang menjual payung dan mantel plastik.

Tapi meski sudah bermantel plastik, tak banyak yang bisa dilakukan di tengah guyuran hujan. Setelah menyusuri jalan setapak di tengah taman, kami pun terpaksa berteduh di satu-satunya restoran yang ada di sana. Lewat jendelanya yang basah oleh air hujan tampak Kota Taipei di kejauhan. Di sekeliling restoran, pohon-pohon terlihat kedinginan. Rantingnya melengkung menahan siraman hujan. Ujung-ujung daunnya meneteskan air.

Barel bercerita, duduk di restoran merupakan sebuah kemewahan. Bukan karena harga makanan dan minuman d situ mahal, melainkan karena restoran ini nyaris selalu penuh. Jangan harap bisa duduk di restoran ini tanpa memesan tempat terlebih dahulu, terutama di musim liburan. Satu-satunya tempat makan di kawasan wisata ini biasanya penuh wisatawan yang hendak mengisi perut.

Hujan reda pas Beral berhenti bercerita. Kami pun melanjutkan jalan-jalan ke Yangming House yang berada persis di samping lahan parkir kendaraan pengunjung Taman Yangmingshan. Untuk masuk ke tempat ini, pengunjung dipungut bayaran 30 NT (sekitar Rp 7.500)

Yangming House adalah sebuah kompleks yang terdiri dari lima bangunan, terdiri dari 1 bangunan utama dan empat bangunan tambahan. Semua bangunan bercat putih itu terbuat dari campuran batu bata, batu kali dan kayu, dengan arsitektur khas Jepang di awal 1900-an. Berdiri di atas tanah seluas 4.275 meter, kompleks yang berada di tengah sebuah hutan kecil penuh pepohonan hijau itu dulunya merupakan pondok tetirah tokoh nasional Taiwan Chiang Kai Shek.

Chiang Kai Shek, Barel menerangkan, hanya sebentar tinggal di situ, sekitar 6 bulan. Tapi jejaknya yang panjang bisa dilihat sampai sekarang. Di dalam pondok terdapat barang-barang peninggalan Chiang, seperti foto-foto, buku-buku, bekas pakaiannya dan sebagainya. Semua peninggalan itu sekarang dijadikan sebagai atraksi wisata yang bisa ditonton para wisatawan.

Sayang, kami tak bisa lama-lama di pondok. Mendung masih menggantung. Hujan sebentar lagi turun. Kami harus segera bergegas masuk bus. Sayup-sayup saya seperti mendengar suara Katon bersenandung, Semak-semak tanah basah/Langkah kaki seiring/Pandangan hijau terhampar ....

kenang-kenangan perjalanan ke taiwan, mei 2004

Suatu Senja di Kota Sejuta Skuter

Roda pesawat yang saya tumpangi menggilas aspal bandara Chiang Kai Sek, Taipei, Taiwan. Pesawat sedikit oleng. Angin terdengar bergemuruh, menandakan sang pilot menegakkan sayap-sayap penahan kecepatan dan menginjak rem. Sesaat kemudian, burung besi itu pun meluncur mulus menuju tempat parkir.

Taipei masih seperti dulu ketika saya pertama kali menjejakkan kaki, lebih dari enam tahun silam. Langit putih di atas, sebentar panas, sebentar mendung. Angin menderu-deru kencang. Jalanan padat, kendaraan bersicepat. Gedung-gedung jangkung. Apartemen berderetan. Satu dua pohon di pinggir jalan.

Pengemudi mobil jemputan milik hotel tempat saya akan menginap, terdiam dalam duduknya di belakang kemudi. Matanya menatap lurus ke depan, nyaris tak berkedip. Tak ada seulas pun senyum di wajahnya. Dingin.

Saya mencoba memecah kebusuan dengan mengajukan satu pertanyaan sederhana dalam bahasa Inggris. “Apa kabar?”. Sia-sia. Ia hanya menengok sebentar ke arah saya, memamerkan tampang bingungnya, lalu menggelengkan kepalanya seraya menggumamkan sesuatu dalam bahasa Cina. Alamak!

Oke, tak masalah. Toh ia tangkas mengemudi, dan, ini yang penting, ia jauh lebih santun ketimbang kebanyakan pengemudi taksi Jakarta yang suka serampangan mengambil jalur di jalan raya. Kalau tak perlu-perlu amat, ia lebih suka tetap di jalur tengah dan mengatur kecepatan tak lebih dari 100 kilometer per jam. Padahal saya yakin Mercedes-Benz yang dikemudikannya pasti mampu dihela sampai 200 kilometer per jam.

Pria yang tak saya ketahui namanya itu– saya cuma melihat deretan huruf Cina di dada kirinyanya – lama kelamaan merasa tak nyaman juga. Ia mencoba menyenangkan saya, penumpangnya. Tangannya bergerak menyalakan CD di dashboard. Sebentar kemudian, sebuah lagu Mandarin mengalun memenuhi kabin. Saya tak tahu siapa penyanyi dan judulnya, apalagi syairnya. Yang jelas bukan F4 yang kondang bukan kepalang di Indonesia itu.

Semula saya mau bertanya, apakah dia mengenal anggota kelompok vokal F4 seperti Vic Zhou dan di mana mereka tinggal, tapi batal. Saya sudah bisa mengira reaksinya: gelengan kepala. Berbeda dengan kebanyakan sopir di Singapura atau Hong Kong, memang jarang ada pengemudi Taiwan yang fasih berbahasa Inggris, bahkan untuk kata-kata yang paling sederhana sekalipun. Akhirnya saya cuma tersenyum dan mengacungkan jempol sebagai tanda terima kasih. Berhasil! Ia balas tersenyum dan menunjukkan jempolnya. Saya pun tenggelam dalam lamunan tentang sepotong senja di Taipei.

Taipei berada di bagian utara Pulau Formosa atau lebih dikenal dengan Taiwan. Dari Cina daratan yang terpisah oleh Selat Taiwan, jaraknya hanya sepeluncuran rudal. Pemerintah Cina memang menyiagakan rudal-rudalnya di seberang untuk menakut-nakuti Taiwan yang dianggapnya sebagai negeri para pembelot.

Berkembang pesat sebagai sebuah ibu kota setelah Perang Dunia II, Taipei dulunya adalah lembah Sungai Tamsui yang subur, tempat tinggal sekelompok kecil petani padi dan sayur mayur.

Sebagai sebuah kota metropolitan modern – populasinya hampir 3 juta orang – Taipei terbagi menjadi 12 distrik. Wilayah kotanya dibelah oleh jalan raya. New York's Broadway dan Chungshan Rd, misalnya, memisahkan bagian timur dan barat. Chunghsiao dan Pateh Roads membagi wilayah utara dan selatan. Pembagian ini sangat berguna bagi para turis menentukan orientasi.

Jalanan kotanya yang mulus dijejali aneka jenis kendaraan, dari aneka sedan jenis terbaru, bus kota, hingga sepeda motor. “Penduduk Taipei suka naik sepeda motor karena gampang cari tempat parkir,” kata Beral Shen, pemandu wisata yang menemani saya jalan-jalan.

Beral bercerita, harga tanah di Taipei tergolong mahal. Akibatnya, lahan parkir pun terbatas. Orang pun sulit mencari tempat parkir di pusat kota. Mobil harus diparkir di bawah gedung perkantoran, hotel, pertokoan atau mal-mal.

Ongkos parkir pun otomatis mahal, bahkan untuk ukuran penduduk Taipei. Tarif parkir di lahan terbuka, tarifnya NT 30 (sekitar Rp 7.500) per jam atau setara dengan harga segelas bubble tea termurah. Kalau di lahan tertutup, tarifnya NT 100 (hampir Rp 25.000) per jam.

Berbeda dari Jakarta, kebanyakan sepeda motor di Taipei dari jenis skuter matik. Mereknya dan kapasitas mesinnya berbeda-beda memang, tapi jenisnya sama. Saya nyaris tak pernah melihat kendaraan roda dua angin yang menggunakan injakan kaki untuk menghidupkan mesin. Semuanya otomatis. Pengendaranya tinggal memencet tombol starter di setang kanan, putar gas, dan jalan. Persnelingnya pun otomatis. “Kami memang menyukai hal-hal yang praktis,” kata Lydia Liu, pemandu wisata kolega Beral.

Skuter dipakai untuk mengangkut barang, pergi ke sekolah, kuliah, kantor, pasar, atau sekadar jalan-jalan sore. Sudah lazim terlihat di jalanan ada pengendara berpakaian necis, lengkap dengan jas dan dasinya – dan tentu saja helm. Sungguh jauh berbeda dari “kostum resmi” para pengendara sepeda motor Jakarta yang cuma jaket katun atau kulit itu.

Lydia bercerita, penduduk Taiwan suka skuter karena harganya cukup terjangkau dan perawatannya pun mudah. Harga skuter kelas 50 cc, umpamanya, sekitar NT 35 ribu (hampir Rp 9 juta). Kelas 125 cc kurang lebih NT 55 ribu (hampir (Rp 14 juta). “Ada juga yang lebih besar dan mewah, kapasitas 500 cc, lengkap dengan pemutar CD, tapi harganya mahal, sekitar NT 300 ribu (Rp 75 juta),” kata Lydia yang mengaku juga punya satu skuter kecil.

Servis dan perbaikan bukan masalah besar bagi pemilik skuter. Banyak bengkel di sudut-sudut kota yang siap melayani konsumen. Di setiap wilayah paling tidak terdapat 3 – 4 bengkel. Mereka buka sampai larut. Saya pernah melihat ada bengkel yang masih buka sampai pukul 12.00. Padahal di Jakarta, kebanyakan bengkel dan tempat servis sepeda motor menutup pintu selepas Maghrib.

Selain memadati lalu lintas seperti capung yang beterbangan di sawah, skuter memenuhi tempat-tempat parkir di sisi jalan. Lydia bercerita, saat ini ada sekitar satu juta skuter di seantero Taipei. Ini berarti, 1 di antara 3 warga kota memiliki skuter. Bukan main. Bandingkan dengan Jakarta yang populasinya sekitar 11 juta orang. Menurut data di Kepolisian Daerah Metro Jaya, jumlah sepeda motor di Ibu Kota sekitar 3 juta.

Semua kendaraan roda dua bebas parkir. Mereka boleh berlama-lama di suatu tempat tanpa dipungut bayaran. Tak jarang terlihat di tempat parkir ada skuter yang berselimutkan debu. Bagian bawahnya kering, sementara aspal di sekitarnya basah -- tanda sudah lama ngetem. Pemiliknya entah ke mana.

Di Taipei, skuter hanya dipakai untuk keperluan pribadi dan tak disewakan. Jadi jangan harap busa menemukan ada tukang ojek naik skuter di sana. Nah, jika ada warga yang hendak jalan-jalan, tapi tak punya kendaraan, mereka busa memilih naik bus kota, kereta listrik, atau taksi.

Kondisi taksi di Taipei bagus dan bersih. Armada taksi rata-rata dari jenis sedan yang masih gres, seperti Toyota Camry, Toyota Altis, Honda Accord, Mazda Lantis, dan sebagainya. Tarifnya? Sekali naik (flag fall) mesti bayar NT 70 (sekitar Rp 17.500) dan setiap 100 meter NT 10 (Rp 2.500).

Taksi-taksi yang pernah saya tumpangi memiliki pemutar CD dan VCD. Hebatnya, ada beberapa taksi yang menyediakan fasilitas karaoke. Penumpang yang ingin menyanyi tinggal memilih lagu. Tak jarang si pengemudi ikut menyumbangkan suara, karena memang tersedia dua mikrofon di dalam taksi.

Penumpang yang kebetulan membawa koleksi CD atau VCD juga boleh memutar lagu pilihannya. Pokoknya bebas, asal bayar. Seperti sore itu. Seorang kawan yang kebetulan membawa sebuah album koleksi lamanya tertarik mencoba. Kami pun menyanyi bersama-sama seiring matahari jatuh di barat. Di jalanan, skuter-skuter berkejaran....

kenang-kenangan perjalanan ke taiwan mei 2004

today, 39 years ago

I was born, life goes on .....

Monday, September 13, 2004

bom lagi, teror lagi

bom meledak lagi -- sekitar pukul 10.39, kamis, 9 september 2004. kali ini sasarannya kedutaan besar australia di jalan rasuna said, kuningan jakarta.

gile bener tuh, teroris. nggak kira-kira. rasuna said kan, jalan rame banget. biarpun cuma 9 orang yang mati, efeknya kan nakutin banget.

ampun deh, mau jadi apa sih mereka?

Monday, September 06, 2004

Silakan Jual Permata

PEMERINTAH akhirnya menjual 51 persen saham Bank Permata. Permata adalah bank terakhir di bawah Perusahaan Pengelola Aset (dahulu Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dijual pemerintah. Sebelum ini, pemerintah sudah berhasil menjual empat bank lain, yakni Bank Danamon, BCA, BII, dan Bank Niaga.

Ada delapan konsorsium yang semula berminat membeli Permata. Setelah diseleksi, hanya lima konsorsium yang berhak maju ke putaran berikutnya. Mereka adalah konsorsium Commerce dengan Employees Provident Fund, Maybank dengan PT Jamsostek dan Khazanah Nasional Bhd., Standard Chartered Bank-PT Astra International Tbk., Panin-ANZ Banking Group, dan United Overseas Bank Ltd.

Namun, ketika proses jual-beli sedang berjalan, tiba-tiba ada suara protes dari Senayan. Sekitar 30 anggota (atau separuh dari jumlah total anggota) Komisi Keuangan dan Perbankan DPR meminta pemerintah membatalkan tender penjualan Permata. Alasan mereka, kelima penawar yang dinyatakan lolos itu hampir semuanya dikendalikan oleh bank asing.

Permintaan itu jelas aneh dan tak beralasan, karena divestasi Permata adalah sebuah keniscayaan. DPR bahkan sejak dulu telah memberikan kepercayaan pemerintah untuk melakukannya divestasi.

Penjualan Permata pun dilakukan secara terbuka. Proses tender dan seleksi calon pembeli dijalankan dengan transparan. Pemerintah mengutamakan kompetensi, profesionalisme, dan harga penawaran yang rasional dari peminat yang ikut tender.

Kesempatan yang sama juga diberikan kepada semua peminat. Baik asing maupun lokal, boleh ikut tender. Para calon pembeli juga dinilai secara obyektif. Penilaian mencakup harga, kemampuan teknis, serta modal mereka.

Kita menilai penjualan Permata--hasil merger Bank Bali, Universal, Artha Media, Patriot, dan Prima Express--justru langkah yang bagus. Maklum, pemerintah sedang butuh dana untuk menambal defisit anggaran.

Layaknya barang jualan, Permata itu laksana intan yang mengkilap. Sebagai bank retail, kinerjanya terus membaik, bahkan cenderung menguat di sektor tertentu, seperti perdagangan dan otomotif. Apalagi di bank ini masih ada obligasi negara Rp 9 triliun. Dengan aset Rp 29 triliun, bank ini bisa dijual dengan harga 2,5 kali nilai buku.

Harga Permata bisa tinggi, karena kondisi perbankan di Indonesia sudah mulai pulih, modalnya meningkat, dan kredit bermasalahnya menurun. Selain itu, hasil penjualan bank-bank sebelumnya membuat harga sahamnya naik berkali lipat.

Bank Danamon misalnya, waktu dijual oleh BPPN dengan harga Rp 1.200 per saham, sekarang harganya sudah melonjak hingga di level Rp 3.300-3.400 per saham. Bukan tidak mungkin, Bank Permata mendapat berkah yang sama. Tentunya ini menguntungkan investor.

Investor asing atau lokal bukan masalah. Sejarah membuktikan, pemain lokal justru belum tentu bagus. Sebaliknya, kehadiran para pemain asing akan membuat kompetisi perbankan nasional jadi lebih sehat. Kompetisi yang sehat bagus buat konsumen.

Karena itu, kita setuju pemerintah tetap melanjutkan penjualan Permata. Nafikan saja keberatan dari Senayan itu. Apalagi bila keberatan itu hanya disuarakan oleh sebagian anggota, dan bukan DPR sebagai satu institusi. ***

(Dimuat di Koran Tempo edisi 4 September 2004)

Wednesday, September 01, 2004

males banget, yach!

today is boring day. nothing to do .... males ngapa-ngapain. lagi seneng bikin film pendek, nih! ngeditnya pake program baru, lho. asyik bener nih, program.

pengen pulang cepet....liat anak-anak yang lagi lucu-lucunya. eh, tapi mesti ngecek print-out berita dulu, ah. takutnya ada berita-berita yang nggak imbang, judulnya ngawur, salah ketik.....akurasi, Bung!

by the way, tumben migren nggak kumat lagi sejak hari Minggu. kepala rasanya enteng deh, tiga hari ini. pertanda apa, ya?