Monday, January 23, 2006

Kontroversi Playboy Indonesia

Majalah Playboy boleh-boleh saja berencana terbit di Indonesia. Tak ada satu pun aturan yang melarang sebuah perusahaan menerbitkan media massa. Soal isi, penerbitnya berjanji tak akan memasang gambar-gambar perempuan telanjang seperti majalah induknya yang terbit di Amerika Serikat. Namun, bukan tak mungkin yang diterbitkan pada Maret mendatang foto-foto perempuan dengan pakaian minim. Bagaimanapun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah terpatri di benak orang.

Seandainya nanti majalah tersebut ternyata berisi hal-hal yang berbau pornografi, siapa pun bisa memerkarakannya. Polisi juga sah-sah saja jika akan menindaknya. Menindak media pornografi tak perlu menunggu keluarnya undang-undang pornografi dan pornoaksi yang masih dibahas di DPR. Undang-undang ini hanya memperkuat aturan hukum yang sudah ada. Hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pers. Aturan tersebut tentu saja dibuat berdasarkan ukuran-ukuran tertentu sesuai dengan adat ketimuran.

Petugas yang menindak tak perlu khawatir melanggar kebebasan pers. Kalangan pers pun tak perlu risau kebebasannya dicederai. Menjerat media porno dengan undang-undang bukan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan pers yang bebas. Kebebasan pers tidak ada hubungannya dengan pornografi. Keliru bila menganggap tabloid, majalah, atau tayangan televisi yang memamerkan aurat dan belakangan ini marak karena adanya perlindungan kebebasan pers. Media pornografi itu justru "penumpang gelap" dalam gerbong kebebasan pers dan perlu ditindak.

Para hamba hukum juga jangan takut dianggap akan membungkam kebebasan berekspresi. Pameran pornografi atau pornoaksi bukan kebebasan ekspresi. Bagaimanapun, yang namanya kebebasan berekspresi itu dibatasi oleh etika. Etika lahir dari budaya. Tidak ada satu pun budaya Timur yang mengesahkan pameran aurat, baik perempuan maupun laki-laki, ke depan publik. Soal ini sudah tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia yang melarang penyiaran dan pemberitaan hal-hal yang bersifat cabul.

Sekarang ini biarkan saja masyarakat menyuarakan aspirasinya, baik dengan cara protes maupun justru mendukung rencana penerbitan Playboy sepanjang tidak anarkistis. Ini cara yang sehat dalam sistem demokrasi. Cara ini boleh diteruskan seandainya nanti Playboy jadi terbit dan memamerkan pornografi. Hanya, jangan sampai ada yang memaksakan kehendak, misalnya, dengan mendatangi penerbitnya dan melakukan perusakan. Segala hal yang menyangkut masalah intelektual tak boleh diselesaikan dengan cara kekerasan. Yang tak setuju lebih baik menyalurkan protesnya secara hukum, mengadukannya ke polisi. Biarlah polisi dan pengadilan yang akan menentukan nasib Playboy selanjutnya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 24 Januari 2006

Wednesday, January 18, 2006

Penangkapan David Nusa Widjaya

Sekali-sekali bolehlah kita memberi salut kepada polisi yang berhasil meringkus David Nusa Widjaya, koruptor yang buron ke luar negeri. Inilah untuk pertama kalinya seorang buron kakap, terpidana kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara lebih dari Rp 1,2 triliun, ditangkap. Diharapkan sejumlah nama pengemplang kredit Bank Indonesia yang sudah divonis bersalah tapi menjadi buron bisa segera ditangkap, setidak-tidaknya diketahui tempat persembunyiannya.

David divonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat satu tahun penjara pada 2001. Setelah dia sempat ditahan Kejaksaan Agung selama sebulan, hakim menangguhkan penahanannya. Pada Mei 2002, David diketahui lenyap dari Jakarta. Dia dinyatakan buron sebulan kemudian. Tim Pemburu Koruptor pimpinan Basrief Arief yang dibentuk pada Februari 2005, dibantu Biro Penyelidik Federal AS, harus melacaknya selama berbulan-bulan sebelum mencium jejak David di Amerika Serikat.

Gebrakan Tim Pemburu Koruptor ini seakan melempar sinyal kepada mereka yang masih jadi buron: ketimbang terus berlari-lari dengan rasa cemas di luar negeri, lebih baik menyerahkan diri. Seperti yang dikatakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, daripada hidup di luar negeri tidak tenang dan banyak masalah hukum, pulanglah dan menyerahlah. Tim Pemburu Koruptor juga sudah mencanangkan akan menangkap 13 koruptor kakap yang diketahui sekarang berada di luar negeri.

Usaha Tim Pemburu Koruptor perlu didukung dengan usaha diplomatik untuk memperluas kerja sama dengan negara yang diduga menjadi tempat bersembunyi para buron itu. Perjanjian ekstradisi dengan Singapura, misalnya, perlu dipercepat realisasinya. Selama ini sudah ada beberapa kali pembicaraan dengan pihak Singapura. Akan sangat membantu apabila perjanjian ekstradisi itu bisa segera dirampungkan. Dengan pemerintah yang lebih serius memberantas korupsi, tentu pihak Singapura lebih "bersemangat" menyelesaikan perjanjian ekstradisi itu.

Bantuan juga akan datang dari berbagai negara jika pemerintah Indonesia tetap konsisten dengan usaha pemberantasan korupsi ini. Selain dari pemerintah Amerika Serikat, bantuan yang sama diharapkan datang dari negara yang ditengarai menjadi "rumah" yang nyaman bagi para koruptor.

Yang tak kalah penting adalah membenahi aparat penegak hukum, terutama mereka yang punya kuasa menahan atau membebaskan para buron ini. Kita tentu belum lupa bagaimana Eddy Tansil diloloskan oleh para penjaga penjara dan lari entah ke mana sampai hari ini. Ada beberapa nama yang juga diloloskan dengan berbagai cara. Para penjaga serta pejabat yang bertanggung jawab semestinya juga diusut dan diperkarakan.

Akan sangat konyol bila Tim Pemburu Koruptor melanglang buana menangkapi mereka yang bersalah, tapi di sisi lain ada aparat yang makan suap dan diam-diam memberikan jalan agar mereka yang bersalah lari ke luar negeri. Mereka yang meloloskan itu juga harus dihukum berat.

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Januari 2006

Monday, January 02, 2006

Surat Sakti' Balap Mobil A1

Mendukung kegiatan olahraga bukan gagasan yang tercela. Menjadi tercela dan tak terpuji apabila dukungan dilakukan dengan cara tak patut, bahkan terkesan memanfaatkan jabatan. Surat Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi kepada para pengusaha tambang untuk ikut membantu kegiatan balap mobil Grand Prix A1 di Sirkuit Sentul, Jawa Barat, pada 13-15 Januari, bisa dikatakan tak patut karena mirip katebelece alias "surat sakti" di zaman Orde Baru dulu.

Kendati disebutkan bersifat sukarela, tentu ada rasa tertekan bagi yang tak menyumbang lantaran bisnisnya berhubungan dengan pejabat direktorat yang mengimbau. Konflik kepentingan jelas sekali terjadi dalam kasus ini. Apalagi chairman tim A1 Indonesia adalah Donny Yusgiantoro, yang tak lain adalah adik kandung menteri di departemen yang membawahi direktorat tadi.

Jelas ini bukan cara yang benar mendukung lomba otomotif A1 yang tentu prestisius--karena hendak menyaingi kompetisi balap F1 yang ternama itu. Benar ajang A1 ini butuh dana besar dalam waktu singkat. Meski demikian, sungguh tak elok bila penyelenggara menggunakan cara apa saja agar lomba bisa berlangsung. Banyak cara yang lebih elegan ketimbang meminta-minta sumbangan pengusaha pertambangan.

Mungkin agak terlambat, tapi kalau saja panitia bekerja dalam jangka panjang dan profesional, ajang berkelas dunia ini justru bisa mendatangkan untung. Lomba balap mobil Grand Prix F1 sudah terbukti menjadi atraksi wisata yang bisa dijual dan menguntungkan. Memang butuh waktu dan kerja keras memasarkannya, tapi itu lebih terpuji dari cara yang sekarang ditempuh.

Maka alasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa dukungan departemennya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/1985 tentang Olahraga, terkesan mengada-ada, seakan berkelit dari kenyataan bahwa anggota keluarganya tersangkut dalam proyek balap ini.

Kalau mau membantu olahraga, mengapa tidak membantu cabang bulu tangkis yang prestasinya sudah mencapai kelas dunia? Lalu kenapa juga "surat sakti" baru sekarang keluar, ketika di Sentul akan berlangsung balap A1? Seandainya chairman tim balap A1 Indonesia bernama Badu Subadu, masihkah Departemen Energi akan mengeluarkan surat yang sama?

Masih banyak pertanyaan sekitar kegiatan pengumpulan dana gaya Yusgiantoro ini. Sebaiknya yang bersangkutan memberikan penjelasan yang memadai kepada publik atau atasannya. Tentu tak diharapkan tercipta kesan bahwa praktek tercela yang banyak terjadi di zaman Orde Baru itu kembali berulang dan dibiarkan begitu saja. Di zaman antikorupsi ini sebaiknya praktek buruk begini dibuang jauh-jauh.

Kalau dana besar untuk A1 tak terkumpul, tak perlu merasa malu untuk membatalkan ajang di Sentul yang digagas seorang pengusaha Arab Saudi itu. Gengsi? Kita masih punya sederet persoalan yang membutuhkan dana besar ketimbang memikirkan balap mobil yang mahal itu.

Diterbitkan di Koran Tempo, 3 Januari 2006