Tuesday, February 28, 2006

Hapus Diskriminasi dengan Undang-Undang

Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang tepat dan penting. Dikatakan tepat karena pada dasarnya setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hak-hak politik lain. Negara, seperti dituliskan dalam konstitusi, menjamin itu tanpa memandang ras atau etnisnya.

Rancangan itu juga penting. Masyarakat kita sangat majemuk, konflik antaretnis dan ras kerap terjadi di negeri ini. Tentu orang belum lupa dengan kerusuhan Mei 1998 yang sangat merugikan etnis Cina. Sejarah kita juga mencatat konflik antara dua agama dan dua etnis di Ambon dan Kalimantan. Sayangnya negara, dalam hal ini aparat keamanannya, belum mampu melindungi warganya dari segala bentuk perlakuan diskriminasi. Penyerbuan dan penganiayaan terhadap pengikut Ahmadiyah adalah contoh terbaru ketidakmampuan itu.

Ketidakmampuan itu perlu dihilangkan. Dalam konflik etnis atau agama di sini, negara tidak boleh takut dan takluk kepada kelompok yang dominan. Perlindungan harus diberikan tanpa memandang warna kulit, rambut, atau ukuran badan. Jaminan keselamatan dan keamanan tidak boleh dilakukan dengan membeda-bedakan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah, geografis, atau hubungan kekerabatan warga negara.

Ketika negara tidak mampu memberikan jaminan keamanan secara penuh, diskriminasi etnis atau agama bisa terjadi di mana dan kapan saja. Itu sebabnya, menurut koran ini, rancangan undang-undang itu perlu memasukkan pasal-pasal yang mengatur sanksi bagi aparat negara yang lalai, membiarkan, atau sengaja tidak melindungi hak warga negara dari perlakuan yang diskriminatif.

Semakin banyak aturan hukum yang melindungi hak-hak warga negara tentu semakin baik, asalkan tidak terjadi tumpang-tindih di dalamnya. Rancangan undang-undang ini pun perlu ada meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Antirasialisme dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Apalagi, sampai sekarang belum ada undang-undang yang secara tegas menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan diskriminasi.

Dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi ini sanksi diatur dengan jelas. Sengaja menulis atau menggambar kata-kata yang melecehkan etnis tertentu, atau berpidato melecehkan etnis tertentu, umpamanya, diancam hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal Rp 100 juta.

Dengan undang-undang yang jelas, tegas, dan memberi sanksi yang keras, kita berharap tindakan diskriminatif perlahan-lahan disingkirkan dari kehidupan kita. Kelompok etnis dan agama yang mendapat perlakuan diskriminatif saat mengurus hak-hak sipilnya dapat menuntut petugas atau pejabat yang menyusahkannya. Semoga kelak tak ada lagi penganut keyakinan tertentu, umpamanya Ahmadiyah, yang terpaksa meminta suaka ke luar negeri karena merasa hidupnya terancam di negeri ini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 28 Februari 2006

Wednesday, February 08, 2006

Terbongkarnya Operasi Intelijen Polisi

Operasi intelijen sebenarnya lumrah dilakukan di mana-mana. Tapi, ketika terbongkar, operasi itu berubah menjadi sesuatu yang ilegal dan salah. Itulah yang terjadi dengan terbongkarnya surat perintah Kepolisian Daerah Metro Jaya kepada anak buahnya untuk menyelidiki rencana dua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yang membentuk tim investigasi untuk melacak dugaan penyelewengan impor beras.

Praktek memata-matai, mengumpulkan informasi, dan melaporkan suatu kegiatan kepada si pemberi perintah terkadang diperlukan sebagai tindakan preventif, misalnya mencegah potensi penyelewengan impor beras. Kegiatan ini, selain harus dirahasiakan, mesti ditujukan hanya mencari potongan-potongan informasi sekitar subyek, dan benar-benar dilakukan untuk alasan keamanan. Salah dan melawan hukum apabila kegiatan spionase dilakukan untuk tujuan politis dan melayani kepentingan orang atau kelompok yang berkuasa.

Dalam kasus ini, tim investigasi Fraksi PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera berencana menyelidiki dugaan penyelewengan impor beras setelah usaha politik mengajukan hak angket kepada pemerintah gagal di parlemen. Proses menyelidiki impor beras sesungguhnya merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR yang dilindungi undang-undang. Ini proses politik yang biasa-biasa saja.

Membentuk tim investigasi bukan tindakan yang membahayakan negara. Kegiatan ini tidak tergolong rencana makar. Intel polisi seharusnya bekerja diam-diam mencari tahu apa benar ada penyelewengan impor beras, seperti halnya dua fraksi itu. Boleh juga menelisik apa benar ada anggota Dewan yang terlibat impor beras, misalnya. Tapi intel polisi tak semestinya mengintai apa maksud politik di balik pembentukan tim investigasi impor beras itu.

Setelah operasi terbongkar, anggota Dewan yang sedang diselidiki pasti merasa terintimidasi, tak nyaman. Wajar bila Dewan memberikan reaksi balik. Besar kemungkinan investigasi yang hendak dilakukan pun jadi terganggu. Ini tentu kontraproduktif. Upaya DPR mengungkap kebenaran pun bisa terhambat.

Maka sangat beralasan apabila Presiden dan Kepolisian RI meminta maaf kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pemeriksaan oleh jajaran internal polisi terhadap Komisaris Besar Handoko, Direktur Intelijen Keamanan Polda Metro Jaya, menunjukkan penyesalan atas terbongkarnya operasi intelijen yang agak memalukan ini. Toh, sangat masuk akal apabila Dewan meminta kejelasan lebih jauh tentang apa yang terjadi. Penting sekali untuk mengetahui siapa yang punya inisiatif melancarkan operasi ini. Adakah dia diorder pihak tertentu atau sekadar cari muka kepada atasan. Perlu juga dipastikan ada sanksi yang memadai untuk mereka yang bersalah.

Kejelasan kasus ini sangat penting bagi Dewan. Apalagi pasti sulit meminta polisi memastikan kejadian serupa tak terulang di masa depan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 9 Februari 2006

Wednesday, February 01, 2006

Ujian untuk Calon Panglima TNI

Baru kali inilah Dewan Perwakilan Rakyat melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI secara terbuka. Sebelumnya, Panglima TNI ditunjuk dan diangkat langsung oleh presiden tanpa tes sejenis. Tentu saja ini proses yang maju dan baik, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Apalagi proses itu dilakukan secara terbuka. Masyarakat bisa melihat langsung bagaimana para wakil rakyat menguji dan bagaimana pula sang calon menjawab cecaran pertanyaan. Rakyat tahu persis profil calon yang akhirnya akan disetujui wakilnya di parlemen.

Tidak ada yang istimewa dari proses itu. Tes untuk calon Panglima TNI tidak lebih penting, umpamanya, dari uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, duta besar, atau direktur jenderal sebuah departemen. Kebetulan saja calon yang diajukan oleh Presiden hanya satu, yakni Marsekal Djoko Suyanto, yang juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Bukan masalah pula meskipun Djoko tak berasal dari lingkungan Angkatan Darat seperti kebiasaan selama ini. Tak peduli Djoko masuk Akademi TNI tahun berapa, bahkan sekalipun ia satu angkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang penting, ia memenuhi syarat dan kompeten menduduki posisi panglima.

Proses yang terjadi di Senayan pun tidak ada yang perlu dipersoalkan. Wakil rakyat memang berhak menguji seorang calon yang akan menduduki jabatan tertentu. Tidak hanya posisi Panglima TNI, tapi juga pejabat setingkat dengannya. Di negara seperti Amerika Serikat, misalnya, parlemen melakukan tes yang sama pada calon pejabat tingkat tertentu, seperti hakim agung, jaksa agung, atau menteri. Justru rakyat bisa tahu apakah wakilnya telah menguji dengan benar. Rakyat juga dapat melihat wakilnya salah pilih atau tidak. Ini bisa dilihat dari kualitas pertanyaan yang diajukan. Misalnya, apakah anggota DPR sudah menguji kepribadian, integritas, moralitas, visi, dan misi sang calon.

Parlemen perlu memastikan bahwa Djoko tak akan membawa TNI berpolitik praktis--yang berlawanan dengan semangat reformasi. DPR harus mengkonfirmasikan bahwa calon pilihan Presiden benar-benar tak punya kendala yang secara substansial menghalangi langkahnya menuju kursi Panglima TNI. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis, misalnya kemampuan Djoko memimpin komando atau pengalamannya memimpin operasi gabungan, biarlah menjadi wewenang yang mengusulkannya. Presiden tentu punya kriteria dan pertimbangan sendiri.

Tes di depan parlemen, meski harus dilakukan, bukanlah segala-galanya. Bukan pula menjadi satu-satunya alat kontrol. Toh, setelah Panglima TNI dilantik Presiden nanti, DPR masih bisa melakukan kontrol melalui mekanisme yang telah diatur undang-undang. Bila nanti Panglima TNI dianggap kurang cakap memimpin pasukannya, melakukan penyelewengan, atau menyalahgunakan kekuasaan, DPR tetap dapat memanggil Presiden yang telah mengusulkannya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang tinggal kita tunggu apakah sang calon benar-benar mampu menjadi Panglima TNI.

Diterbitkan di Koran Tempo, 2 Februari 2006