Friday, August 27, 2004

Prajurit Itu Manusia Biasa

Seorang perwira Korps Polisi Militer Angkatan Laut menembak mati empat prajurit serta melukai seorang lainnya. Insiden terjadi di sebuah asrama militer di Neusu, Banda Aceh.

Menurut hasil penyelidikan sementara, pelaku diduga mengalami depresi ketika bertugas di kawasan yang bergolak itu. Atau menurut istilah Markas Besar TNI, "Pelaku sedang dalam keadaan tidak normal layaknya seorang perwira."

Insiden semacam itu bukan yang pertama di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, juga pernah ada prajurit yang stres dan menembak sejumlah rekannya di Irian Jaya. Bukan cuma sekali terdengar pula ada prajurit di satu angkatan baku tembak dengan tentara di angkatan yang lain. Ada juga tentara yang berduel peluru lawan polisi. Penyebabnya macam-macam, bisa karena rebutan pacar, saling senggol di tempat hiburan, merasa terhina dan sebagainya.

Meski tak sering-sering amat, fenomena itu tetap mencemaskan. Tentara dibekali senjata mestinya untuk menembak musuh, bukan kawannya sendiri, apalagi orang sipil yang tak bersalah. Seandainya ada tentara yang tanpa sebab menembak rekannya sampai mati, pasti ada sesuatu yang patut diduga menyalahi aturan.

Memang ada beberapa kasus tertentu, misalnya seorang komandan menembak mati anak buahnya yang melakukan desersi atau pengkhianatan di medan perang. Tindakan semacam ini tentu saja dapat dibenarkan dalam konteks hukum militer.

Namun, sejauh yang kita tahu, insiden di Aceh bukan dalam konteks itu. Korban bukan desertir atau pengkhianat. Kita jelas menyesalkan terjadinya peristiwa penembakan itu. Kita juga bersimpati kepada korban dan keluarganya.

Langkah petinggi TNI yang segera menangkap pelaku dan menyelidiki kasus itu sudah benar dan bagus. Apa pun alasannya, menembak mati orang -- apalagi sesama anggota TNI -- dalam situasi damai, jelas tindakan yang tak bisa dibenarkan. Karena itu kita berharap institusi mengambil sikap tegas dan memberi hukuman yang setimpal kepada pelaku.

Yang lebih penting sebenarnya, TNI mesti segera mengevaluasi kondisi jasmani dan mental anggotanya, terutama yang sedang bertugas di daerah-daerah konflik. Ini penting untuk mengetahui apakah para prajurit dalam keadaan yang sehat dan layak bertugas.

Setiap prajurit, terutama yang sedang bertugas di medan perang, harus 100 persen sehat, baik jasmani maupun mentalnya. Mens sana in corpore sano. Mereka bukan hanya harus siap bertempur melawan musuh, tapi juga menghadapi dirinya sendiri. Mereka mesti siap melawan lawan yang terlihat maupun yang tak kasat mata.

Prajurit itu manusia biasa. Mereka tentu juga punya rasa sedih, jemu, marah, atau bisa juga rindu pada keluarga, istri, pacar, dan anak-anak. Ada kalanya mereka merasa kesepian karena jauh dari sanak saudara. Belum lagi jika di antara mereka ada yang sedang berkonflik dengan kawan atau komandannya. Tentu beban mental yang harus ditanggung lebih berat lagi. Jika beban ini dibiarkan berlarut, ada kemungkinan seorang prajurit mengalami depresi, lalu melakukan tindakan di luar dugaan.

Dalam kondisi seperti itu sudah selayaknya jika mereka diberi bimbingan mental dari orang-orang seperti psikolog, psikiater, pendeta, atau kiai. Bimbingan diberikan secara reguler dan terus menerus.

Memang TNI sudah memiliki direktorat psikologi di setiap angkatan, juga lembaga-lembaga kerohanian. Masalahnya, apakah lembaga pembimbing psikologi dan mental ini menjalankan tugasnya atau tidak? Bila tidak, percuma saja lembaga itu ada. Karena, prajurit toh manusia juga yang mentalnya harus selalu dievaluasi dan disehatkan. Tanpa itu semua, mereka hanya akan menjadi robot yang kehilangan sisi kemanusiaan. ***

(Dimuat di Koran Tempo, 26 Agustus 2004)

Kontroversi Buruan Cium Gue!

Sebuah film komedi remaja menjadi pembicaraan orang ramai hari-hari ini. Judulnya Buruan Cium Gue!. Ia dibicarakan karena memicu pro dan kontra.

Oleh tokoh agama seperti Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, Majelis Ulama Indonesia, para orang tua, LSM-LSM pengamat media, film itu dianggap mengandung unsur pornografi dan membahayakan generasi muda, di antaranya karena menampilkan adegan ciuman antara dua orang remaja. Karena itu, mereka menuntut agar peredaran film dihentikan.

Sementara itu, kalangan yang pro menganggap Buruan Cium Gue tersebut sekadar gambaran realita anak muda Jakarta masa kini yang patut menjadi pembelajaran bagi siapa saja. Mereka, termasuk Lembaga Sensor Film yang meloloskan peredarannya, juga menilai karya itu bukan film porno.

Fenomena masyarakat yang memprotes atau keberatan terhadap sebuah film sejatinya bukan sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, fenomena ini justru lumrah dan memang dimungkinkan di era demokrasi seperti sekarang.

Mereka, para penentang itu, bahkan sah-sah juga kalau mau unjuk rasa. Kita tak perlu risau oleh aksi tersebut. Asalkan aksi itu disampaikan dengan cara yang benar, beradab, dan tak memakai kekerasan.

Para penentang itu bila perlu boleh saja melakukan aksi unjuk rasa di depan bioskop yang memutar Buruan Cium Gue!, sambil membawa poster yang isinya meminta orang jangan menonton. Sepanjang aksi itu tak sampai menghalangi kebebasan penonton untuk memilih, dan tak merusak bioskop, kita tentu masih bisa mentoleransinya.

Kita boleh berbeda pendapat, tapi juga bukan berarti harus memasung kebebasan berekspresi secara membabi buta. Yang perlu kita waspadai hanyalah apakah kebebasan berekspresi itu sudah melanggar norma-norma susila umum atau tidak.

Adegan ciuman sebetulnya juga bukan baru kali ini muncul dalam film Indonesia. Hanya memang dulu biasanya bukan di film-film remaja. Soalnya, dulu para sineas kita menganut semacam konvensi untuk menihilkan adegan ciuman pada film-film remaja. Para penonton Gita Cinta dari SMA tentu masih ingat bagaimana film itu tetap laris meskipun tak sekalipun menampilkan adegan ciuman.

Belakangan ini saja konvensi itu dilanggar para beberapa film remaja mutakhir. Sebut saja sebagai misal adegan ciuman Nicholas Saputra dan Dian Sastro dalam Ada apa dengan Cinta?. Bahkan siswi SMP, Shandy Aulia, sudah dikecup bibirnya oleh Samuel Rizal dalam Eiffell ... I'm in Love.

Kita boleh-boleh sensitif pada adegan-adegan ciuman di layar lebar, tapi jangan lupa tayangan-tayangan yang lebih seronok di layar kaca. Kita juga jangan sampai mengabaikan banyaknya tayangan yang menampilkan aksi kekerasan dan mengandung mistik-mistik. Sebab, tayangan semacam ini tak kurang berbahayanya bagi masyarakat. ***

(Dimuat di Koran Tempo edisi 20 Agustus 2004)

Thursday, August 26, 2004

heran deh ....

kenapa ya migren gak sembuh-sembuh? heran deh ....

Sunday, August 22, 2004

migren

gile....udah seminggu ini migren datang dan pergi. masak sehari bisa dua tiga kali, pagi, siang, sore .... ampun deh! padahal minggu lalu ke dokter juga gara-gara kram otot pinggang.

kenapa ya, kepala ini kok jadi sering kena migren? padahal kayaknya gak makan yang aneh-aneh. mungkinkah gara-gara kebanyakan rokok? kopi? getting old? or something else?

besok tanya dokter lagi ah....tapi dokter apa ya? umum or spesialis?

Thursday, August 19, 2004

tentang pawon

dalam bahasa jawa, pawon berarti dapur -- ruangan untuk mengolah, memasak, menghasilkan sesuatu untuk dimakan atau diminum.

pawon kadang juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para anggota sebuah keluarga untuk sekadar mengintip apa yang dimasak ibu, atau tempat ngobrol antara orangtua-anaknya, kakak-adik, atau sesama saudara yang lain.



tentang saya

saya lahir di yogyakarta 14 september 1965. orang tua saya r. slamet dan saptorijah. saya dilahirkan sebagai anak nomor lima dan enam bersaudara. kakak dan adik kandung saya adalah (dari yang tertua), sidik banarto sapto hanggoro, bambang sarwadi suseno, tria sulistyani, nugroho sakti yunarso, dan nuri agustina. ayah meninggal 4 juni 2004 dan dimakamkan di bawah kerindangan pohon-pohon bambu, di sudut sebuah kampung kecil di barat Jogjakarta.

menghabiskan masa kecil di jalan kranggan 68, dan menimba ilmu di sd jetisharjo I, smp negeri 8, sma bopkri II, serta kuliah di jurusan ilmu komunikasi, fisipol, ugm, saya meneruskan langkah kehidupan di jakarta.

di jakarta, saya mengawali karier sebagai jurnalis di majalah MODE Indonesia (1990-1993), selama beberapa bulan jadi penulis naskah iklan di misty communication (1994), jurnalis di harian Media Indonesia (1994-1998), dan berlabuh di PT Tempo Inti Media yang menerbitkan majalah TEMPO dan Koran Tempo -- sebagai jurnalis juga tentu saja.

menikah dengan santinalia -- lulusan trisakti yang lahir di jambi -- pada 16 november 1996, saya kini dikaruniai dua orang anak yang lucu-lucu dan menggemaskan: sastra jendra hayuningrat dan wangi bunga savana. jendra lahir di rumah sakit honoris, tangerang, 11 juli 2000. bunga lahir di rumah sakit yang sama pada 20 maret 2003.

kami sekeluarga kini menempati pondok sederhana di kompleks batuceper permai blok O/3, tangerang, 15122.