Tuesday, October 09, 2007

Blog Ini Sudah Pindah

Mulai 10 Oktober 2007, blog ini pindah ke Pawon Ide yang numpang hosting di Wordpress.

Tuesday, May 15, 2007

Ambruknya Bulu Tangkis Kita

Hasil Indonesia Open yang berakhir Ahad lalu amat memalukan. Tak satu pun medali emas diraih oleh tim Merah Putih. Kekalahan telak ini merupakan tanda bahaya bagi perbulutangkisan kita. Maka Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia perlu melakukan evaluasi total terhadap pembinaan olahraga tepuk bulu ini.

Prestasi bulu tangkis kita benar-benar merosot ke titik terendah. Sejak turnamen tersebut diselenggarakan pada 1982, ini pertama kalinya kita tak kebagian medali emas. Satu-satunya hiburan datang dari pasangan ganda campuran Nova Widianto-Lilyana Natsir yang meraih medali perak. Di final mereka kalah dari pasangan Zheng Bo-Gao Ling dari Cina.

Tanda-tanda ambruknya bulu tangkis kita sebenarnya sudah lama muncul. Sebelumnya, pebulu tangkis kita telah sering keok di pelbagai turnamen. Dalam daftar terbaru peringkat pemain dunia yang dikeluarkan IBF pun, cuma pasangan Nova Widianto-Lilyana Natsir yang masuk lima besar, persisnya di urutan ketiga.

Kemerosotan prestasi itu tampak mencolok karena pembinaan bulu tangkis kita bagai berjalan di tempat, sedangkan kekuatan baru bermunculan. Sejak dipertandingkan di Olimpiade 1992, olahraga ini mulai dikembangkan di banyak negara. Amerika Serikat bahkan sampai perlu mengimpor pemain pelatih asing demi memajukan prestasi bulu tangkisnya.

Jangan heran pula jika Prancis dan Bulgaria kini juga mulai unjuk gigi. Padahal sebelumnya, mereka nyaris tak terdengar di kancah persaingan bulu tangkis dunia. Ironisnya, Indonesia justru mengekspor pelatih andalannya. Beberapa pemain juga lebih suka hengkang ke luar negeri.

Banyak soal yang membuat badminton di negeri ini semakin jeblok. Salah satunya, kaderisasi yang terputus. Kita pernah memiliki tim bagus pada era Liem Swie King pada 1970-an hingga 1980-an. Kemudian lahir lagi generasi Ardy B. Wiranata, Alan Budi Kusuma, dan Susi Susanti. Kegemilangan mereka dilanjutkan pasangan ganda Ricky dan Rexy, lalu Taufik Hidayat. Tapi, setelah itu, kita mengalami paceklik prestasi. Prestasi tim putri malah sudah tenggelam lebih awal. Tak ada lagi penerus Susi yang sanggup bersaing di tingkat dunia.

Jagoan-jagoan baru tidak muncul karena tiada pembinaan yang serius oleh PBSI. Organisasi ini seolah hanya menampung bibit-bibit pemain yang sudah matang, tapi tidak memikirkan pembinaannya di daerah-daerah. Padahal penggemblengan pada usia dini merupakan kunci sukses meraih prestasi tinggi dalam olahraga, termasuk bulu tangkis.

Merosotnya pembinaan itu bisa kita lihat dengan kasatmata dari semakin sepinya turnamen kelompok usia. Kejuaraan nasional bulu tangkis memang masih ada setahun sekali. Namun, beberapa turnamen seperti yang diadakan oleh Milo dan Ardath di beberapa daerah sudah tak ada lagi.

PBSI harus bekerja keras untuk mengevaluasi sekaligus membenahi pembinaan bulu tangkis. Jika tidak, bersiap-siaplah tim kita sering dipermalukan di berbagai ajang dunia dalam kurun waktu yang lama.

Friday, April 20, 2007

Rombaklah Kabinet demi Kinerja

Ada benarnya juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rencana perombakan (reshuffle) kabinet sambil makan durian di Cihideung, Bogor, Jawa Barat, Ahad lalu. Ada pelajaran yang bisa dipetik dari sana. Seperti memilih durian, dalam merombak kabinet, Presiden mesti membuang yang busuk dan mengambil yang segar serta tebal dagingnya. "Ilmu durian" ini perlu diterapkan agar kinerja Kabinet Indonesia Bersatu membaik dan mampu mewujudkan harapan masyarakat.

Kita tahu tak semua menteri bekerja optimal. Sebagian di antara mereka malah bermasalah, misalnya ada menteri yang menyalahgunakan rekening departemen untuk kepentingan perorangan dan melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Yang seperti ini memang layak diberhentikan. Begitu pula menteri yang memiliki konflik kepentingan dengan kasus lumpur Lapindo, perlu dipertimbangkan untuk diganti.

Nah, mencari calon pengganti hendaknya seperti memilih durian. Jangan terlalu terpaku pada satu pohon. Perombakan jangan semata demi memenuhi tuntutan Partai Golkar yang merasa jatahnya masih kurang. Perombakan kabinet mesti lebih didasarkan atas perbaiki kinerja kabinet yang selama ini melempem.

Secara keseluruhan, kabinet ini belum mampu melaksanakan tugas-tugas utama, seperti memberantas korupsi, memerangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, serta memperbaiki layanan pendidikan dan kesehatan. Tiada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran yang dirasakan masyarakat selama pasangan Yudhoyono dan Jusuf Kalla memerintah.

Buat memacu kinerja kabinet, Presiden harus berani mencopot menteri-menteri yang kurang mampu dan menggantikan dengan figur yang bisa melaksanakan tugas-tugas utama itu. Langkah ini perlu dilakukan dengan cepat dan cermat jika pasangan Yudhoyono-Kalla ingin tampil lagi pada periode mendatang. Seperti yang pernah dikatakan Jusuf Kalla sendiri, apa yang "telah" (bukan yang "akan") dilakukan oleh pemerintah ini merupakan bahan kampanye yang penting untuk pemilihan presiden dan wakil presiden 2009.

Sikap tegas mungkin tidak gampang diambil karena Presiden mesti mempertimbangkan kepentingan partai-partai pendukungnya. Jika tidak, Yudhoyono bisa digoyang oleh parlemen. Hal ini pernah dialami oleh Presiden Abdurrahman Wahid enam tahun lalu dan berakibat ia jatuh dari kekuasaan. Tapi pelajaran ini jangan sampai membuat Yudhoyono terlalu didikte oleh partai-partai.

Kepentingan partai-partai bukannya tidak bisa dikompromikan dengan keperluan memperbaiki kinerja kabinet. Di sinilah kepemimpinan Yudhoyono-Kalla diuji. Presiden boleh-boleh saja tetap mengambil calon dari partai untuk merombak kabinet. Tapi pilihlah yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan di antara calon-calon menteri yang disodorkan partai itu.

Tuesday, April 03, 2007

Kasus Rokhmin dan Dana Nonbujeter

Apa yang dilakukan mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri sekali lagi menggambarkan bahwa konsep dana nonbujeter jelas-jelas salah dan merugikan publik. Rokhmin mengaku telah mengumpulkan dana nonbujeter melalui departemennya semasa menjadi menteri. Dana itu lalu dipakai untuk proyek-proyek di departemennya dan diberikan kepada sejumlah partai politik, termasuk pengurusnya.

Ia mengaku terpaksa menggunakan dana tersebut demi menyiasati sistem keuangan negara yang tak mengizinkan adanya pengeluaran tertentu, misalnya biaya untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat penyusunan undang-undang. Menurut dia, pada prakteknya pembuatan undang-undang itu mesti pakai duit (baca: sogokan).

Tentu saja Rokhmin sekadar berdalih, mencari pembenaran atas perbuatannya yang salah dan melanggar aturan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jelas-jelas menyebutkan semua penerimaan dan pengeluaran negara harus dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Artinya, tidak boleh lagi ada dana di luar anggaran. Pembuatan undang-undang pun sudah ada aturan dan anggarannya sendiri.
Undang-Undang Keuangan Negara itu dibuat dengan semangat transparansi, tertib administrasi, efisiensi, ekonomisasi, dan tanggung jawab. Konsep dana nonbujeter, sebaliknya, bertentangan dengan semangat itu. Para pengelola organisasi yang paling sederhana pun tahu dana nonbujeter adalah wilayah remang-remang.

Seperti penggunaannya, dana nonbujeter umumnya diperoleh dari sumber yang gelap. Dalam kasus, katakanlah Nalo, Porkas, dan SDSB, dana diperoleh melalui judi yang menyengsarakan rakyat. Dana nonbujeter lain diperoleh melalui kutipan nonpajak, seperti dana reboisasi, yang dikutip dari pemegang hak pengusahaan hutan. Di lingkungan tertentu, seperti di kalangan tentara dan polisi, orang menciptakan istilah "dana taktis" atau "dana operasi" sendiri, yang bersifat nonbujeter pula. Misalnya, dengan memeras pengusaha, mengutip "uang damai" dari sopir-sopir di jalan, bahkan berkomplot dengan penjahat.

Dana nonbujeter terbukti hanya merugikan publik secara berlapis-lapis. Pertama, publik harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi yang dipicu oleh kutipan, suap, sogokan, setoran, dan pemalakan. Kedua, uang yang terkumpul cenderung dikorup. Ketiga, jikapun tidak masuk kantong pribadi, dana nonbujeter bisa digunakan untuk "operasi politik" melanggengkan kekuasaan, seperti di era Golkar sebelum menjadi partai atau bahkan membiayai "operasi militer" yang menindas rakyat. Terakhir, yang paling jahat, konsep dana nonbujeter telah menyembunyikan korupsi secara sempurna dengan dalih mulia. Dulu, misalnya, dalihnya yang dipakai itu seperti membantu korban bencana alam, mengembangkan usaha kecil, atau "menyelesaikan masalah Aceh".

Karena semua itulah Rokhmin dan semua yang ikut menikmati dana dari dia memang harus dihukum. ***

Tuesday, March 13, 2007

Privilese untuk Bakrie

Sikap pemerintah terhadap Aburizal Bakrie layak dipertanyakan karena memberikan keistimewaan kepada pendiri kelompok usaha raksasa Grup Bakrie ini. Privilese setidaknya tampak dalam pemberian kredit kepada grup ini untuk proyek jalan tol Kanci-Pajagan di Jawa Tengah. Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga memberikan dana talangan dalam kasus lumpur Lapindo Brantas Inc.--perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok Bakrie.

Duit yang akan dikucurkan pemerintah untuk mengatasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, amat besar, Rp 7,6 triliun. Uang ini digunakan untuk membayar ganti rugi dan merelokasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur. Tujuannya menolong warga Sidoarjo yang sudah terlalu lama menderita akibat luapan lumpur Lapindo. Roda perekonomian Jawa Timur pun nyaris lumpuh karena jalan tol yang menjadi nadi utama lalu lintas di sana tertutup lumpur. Kendati maksudnya baik, penggunaan anggaran negara ini akan jadi persoalan karena semburan lumpur itu bukan bencana nasional.

Kelompok Bakrie juga ditolong lagi dalam proyek jalan tol. Lewat Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia, pemerintah akan menyalurkan kredit kepada anak usaha kelompok ini, yakni PT Semesta Marga Raya. Inilah investor pembangunan ruas jalan tol Kanci (Cirebon)-Pejagan (Brebes) sepanjang 35 kilometer. Proyek ini menelan total biaya investasi Rp 2,09 triliun. Dalam pembiayaan proyek ini, BNI menjadi pemimpin sindikasi dengan memberikan kredit 65 persen dari total kebutuhan dana itu atau senilai Rp 897,6 miliar. Adapun sisanya, 35 persen atau senilai Rp 483,3 miliar, dibiayai oleh BRI. Kelompok Bakrie akan menyetor Rp 734 miliar.

Sungguh ganjil pemerintah memberikan fasilitas kepada Grup Bakrie pada saat kelompok usaha itu masih tersangkut masalah penanganan semburan lumpur Lapindo. Apakah karena posisi Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat?

Penyaluran kredit jalan tol ke anak usaha Bakrie sebenarnya amat berisiko bagi BNI dan BRI. Sebab, masalah lumpur Lapindo berpotensi membebani cash flow kelompok usaha secara keseluruhan. Jika Lapindo kekurangan uang dalam menangani masalah di Sidoarjo, Grup Bakrie akan mengambil dari hasil usaha lainnya. Ini tentu berbahaya bagi pelunasan kredit.

Keputusan BRI membiayai proyek infrastruktur juga perlu dipersoalkan. Selama ini fokus bank itu adalah pembiayaan usaha kecil dan menengah. Mengapa sekarang tiba-tiba BRI membiayai proyek infrastruktur? Padahal, di masa lalu, BRI pernah goyang karena kredit macet Texmaco. Pengalaman buruk juga pernah dilakoni bank pemerintah lainnya akibat penyaluran kredit ke pengusaha yang dekat dengan penguasa. Untuk menyelamatkan bank-bank itu, pemerintah harus mengucurkan dana rekapitulasi sekitar Rp 300 triliun.

Kesalahan seperti itu tak boleh terulang. Seharusnya perbankan berfokus mengucurkan kreditnya pada sektor yang benar-benar aman atau sasaran yang menjadi tulang punggung ekonomi, seperti usaha kecil-menengah.

Tuesday, February 27, 2007

Tragedi di Muara Gembong

Tenggelamnya bangkai kapal motor Levina I di perairan Muara Gembong, Bekasi, membuat kita prihatin. Bukan hanya karena sebagian besar bukti penyebab terbakarnya kapal itu ikut karam, melainkan juga lantaran musibah ini memakan korban lagi. Kejadian ini menambah jumlah korban tewas akibat Levina, setelah puluhan penumpang tewas atau hilang karena kapal terbakar.

Musibah yang terjadi Ahad lalu itu datang tiba-tiba. Hal ini di luar dugaan rombongan anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi, petugas Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI, dan jurnalis dari pelbagai media yang naik ke bangkai kapal motor yang terbakar pada Kamis lalu itu. Ketika mereka sibuk bekerja, kapal tersebut mendadak miring sebelum akhirnya karam.

Dalam kepanikan, mereka pun terpaksa berloncatan ke laut. Upaya penyelamatan bukan tak ada. Kru dan anak buah kapal pembawa mereka yang kebetulan masih berada di sekitar lokasi kejadian segera mengulurkan pertolongan. Namun, malang sulit ditolak. Seorang juru kamera Lativi tak terselamatkan dan akhirnya meninggal. Seorang juru kamera SCTV dan dua polisi hilang. Hingga kemarin, ketiganya belum ditemukan.

Koran ini ikut berduka atas kejadian itu. Inilah pelajaran berharga bagi kita semua: kalangan pers, anggota KNKT, dan anggota kepolisian. Kita tahu bangkai kapal Levina I memang bukan tempat bekerja yang nyaman dan aman. Kapal itu sudah rombeng setelah terbakar. Badannya tak bisa tegak di atas air. Mereka yang hendak bekerja di atas Levina mesti ekstrahati-hati, waspada, dan menjalankan prosedur kerja standar.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, unsur kewaspadaan tampaknya absen dalam musibah itu. Ketika rombongan itu naik ke atas dek, tak ada pengecekan yang akurat untuk menjamin bahwa kapal memang layak dinaiki. Seharusnya dipastikan dulu apakah kapal itu cukup kukuh posisinya, seimbang, dan tidak ada kebocoran. Sewaktu beraktivitas di atas kapal pun tak semua orang memakai jaket penyelamat--sesuatu yang mestinya menjadi sebuah keharusan sesuai dengan prosedur keselamatan kerja di laut.

Kita menghargai jajaran kepolisian yang mengaku tak bisa bersikap tegas menghadapi wartawan yang hendak meliput jalannya pemeriksaan forensik kapal Levina I. Polisi memang sering kali terpaksa memberikan toleransi dan sedikit keleluasaan kepada para wartawan yang sedang bertugas di lapangan. Apalagi, menurut undang-undang, wartawan memang tak boleh dihalangi ketika menjalankan liputan jurnalistik.

Hanya, dalam bertugas, kita--kalangan pers--terkadang mengabaikan keselamatan karena terlalu bersemangat memburu berita. Padahal, seperti yang dikatakan seorang anggota Dewan Pers, tidak ada satu pun berita yang sama harganya dengan nyawa dan jiwa wartawan. Nyawa manusia lebih penting ketimbang berita itu sendiri. Kita berharap semoga kejadian yang sama tak terulang di masa depan.

Tuesday, February 13, 2007

Jangan Asal Tebar Duit

Janji Gubernur DKI Jakarta memberikan dana Rp 1 miliar per kelurahan untuk rehabilitasi pascabanjir perlu dipertanyakan. Soalnya, duit itu diambil dari pos lain dalam anggaran daerah, langkah yang mencerminkan tidak adanya tertib anggaran. Selain itu, pemakaiannya kelak diperkirakan juga rawan korupsi.

Pemberian dana lewat program dadakan seperti itu sungguh riskan. Pertanggungjawabannya akan lebih sulit dibanding program yang terencana matang dan telah terpola cara pengawasannya. Dalam program yang terencana pun selama ini korupsi sering terjadi. Apalagi dalam tebar dana secara serampangan seperti itu.Sudah menjadi rahasia umum, dana bantuan sering berkurang ketika sampai di bawah. Birokrasi pemerintah kita terkenal longgar dalam pengawasan dan administrasi. Bahkan audit keuangan pun gampang direkayasa.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jakarta sudah memberikan bantuan melalui program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sejak 2001. Namun, program ini sarat dengan penyelewengan dan tunggakan. Pada April 2006, misalnya, Badan Pengawas Daerah DKI Jakarta menemukan 170 kasus penyalahgunaan. Pada tahun yang sama pula terungkap adanya tunggakan dana Rp 79,4 miliar.

Akhirnya, pada Desember tahun lalu, pemerintah Jakarta memutuskan menunda program itu sampai terbentuknya lembaga keuangan mikro yang akan mengelolanya. Rencana tersebut belum terealisasi sampai terjadinya bencana banjir pada awal bulan ini. Dari pos program inilah pembagian duit untuk kelurahan itu akan diambil. Bila penyelewengan pada program yang lalu pun belum beres, bagaimana kita bisa berharap program berikutnya tak akan dikotori oleh praktek yang sama?

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memang melarang kelurahan yang luput dari bencana menggunakan dana yang totalnya Rp 267 miliar itu. Ia seolah ingin menjamin bantuan itu tepat sasaran. Perlu diingat bahwa masa kerja Sutiyoso sebentar lagi selesai. Orang yang mau pensiun biasanya mempunyai kecenderungan berbuat baik agar kelak diingat sebagai tokoh yang peduli pada kesengsaraan rakyat. Tapi, jika cara ini mengundang korupsi, sebaiknya diurungkan.

Kalau pemerintah Jakarta ingin memperbaiki kerusakan-kerusakan infrastruktur di kelurahan akibat banjir, sebaiknya direncanakan lebih matang. Anggaran pun mesti diambil dari pos yang tepat. Yang lebih penting lagi sebenarnya bagaimana mencegah musibah banjir datang lagi pada tahun-tahun mendatang. Banjir tetap akan selalu mengancam bila pemerintah daerah berpangku tangan dan tak belajar dari kesalahan masa lalu. Selain memperbaiki daerah aliran sungai dan kanal, perlu memperbanyak lahan resapan di Jakarta.

Manajemen penanganan banjir pun mesti dibenahi. Sudah saatnya pemerintah Jakarta memiliki sistem yang baik untuk mengantisipasi serangan banjir. Pola evakuasi dan penanganan pengungsi seharusnya menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau tak bisa menolak banjir, paling tidak kita harus meminimalkan dampaknya.

Tuesday, January 30, 2007

Dari Rumah, Cegah Demam Berdarah

Dalam kasus demam berdarah, ada baiknya kita berhenti menyalahkan dan meminta tanggung jawab pemerintah yang memang selalu lamban dan terlambat itu. Pemerintah yang anggarannya cekak ini sedang repot mengurus aneka bencana alam, kecelakaan transportasi umum, dan wabah flu burung--semuanya datang beruntun dan bertubi-tubi. Menambah satu lagi kerepotan tidak hanya membuat pemerintah kian tak berdaya, tapi juga membikin publik malah makin frustrasi.

Wabah demam berdarah selalu merebak setiap kali musim hujan datang dan pemerintah nyaris tak banyak membantu membasmi wabah atau minimal menekan angka insiden. Sebagai gambaran, sepanjang Januari ini saja jumlah penderita demam berdarah di Jawa Barat mencapai 1.903 orang, yang 46 di antaranya meninggal. Di Jakarta, ada 1.752 pasien dan delapan di antaranya meninggal. Data tersebut hampir sama dengan data pada bulan yang sama tahun lalu.

Kesibukan mengobati pasien demam berdarah sudah menjadi kegiatan rutin dan tampaknya masih belum akan selesai. Penyebabnya, setelah gelombang penyakit berlalu, publik melupakan tindakan pencegahan yang harus terus dilakukan, yakni gerakan menguras, menutup, dan mengubur (3M). Mereka menunggu saja kapan perlu memadamkan "kebakaran" itu jika wabah tersebut datang lagi. Walhasil, lebih dari 30 tahun perang melawan demam berdarah belum juga tuntas.

Padahal pemberantasan demam berdarah bisa dimulai sekarang di lingkungan kita masing-masing. Cara efektif memberantas wabah ini dan mencegahnya datang kembali adalah membersihkan rumah dan sekelilingnya dari perindukan nyamuk kebun (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), lalu melakukan gerakan 3M. Virus dengue memang sulit dibendung perkembangbiakannya. Membunuh semua nyamuk kebun pun bukan pilihan yang efisien. Cara paling tepat adalah menekan pertambahan populasi nyamuk pembawa virus dengan cara menyingkirkan tempatnya bertelur. Dengan menurunkan populasi nyamuk, atau membasminya sama sekali, peluang virus berpindah ke tubuh manusia pun menipis.

Membersihkan rumah dan melaksanakan 3M itu cara paling murah dan sederhana. Singapura berhasil menekan jumlah penderita demam berdarah sampai nol dengan cara ini.
Apalagi nyamuk demam berdarah tidak berkembang biak di rawa, got terbendung, sungai berlumpur, atau di air jernih yang berada langsung di atas permukaan tanah. Nyamuk itu bermukim di genangan air jernih dalam wadah.

Metode 3M perlu diingatkan kembali secara terus-menerus karena banyak yang belum juga menyadari bahwa satu keluarga saja alpa membersihkan lingkungan rumahnya, satu kampung bisa celaka. Karena itu, lebih baik mencegah daripada mengobati.

Tuesday, January 16, 2007

Pentingnya Pembuktian Terbalik

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa pejabat negara mendominasi transaksi keuangan mencurigakan selama 2003-2006. Pejabat pemilik rekening mencurigakan itu tersebar di departemen dan institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan ada satu kasus yang melibatkan petinggi Tentara Nasional Indonesia.

Transaksi gelap yang ditemukan PPATK itu ada kemungkinan berkaitan dengan tindak pidana, seperti korupsi, penggelapan pajak, penipuan, kejahatan perbankan, pemalsuan dokumen, penyuapan, dan perjudian. Menurut Yunus Husein, kepala lembaga itu, dari 433 kasus, 178 kasus diduga merupakan transaksi keuangan hasil korupsi atau penggelapan uang. Nilainya mencapai Rp 400 triliun.

Kalau memang mau serius memberantas korupsi, pemerintah mesti makin lekas dan agresif membersihkan aparatnya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kini banyak pejabat negara yang tersandung kasus korupsi, dari yang setingkat kepala dinas, gubernur, hingga menteri.

Temuan itu seperti memberi konfirmasi terhadap pandangan bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat korup. Kejahatan korupsi di Indonesia melibatkan nama-nama besar dan angka-angka triliunan rupiah. Modus korupsi pun makin canggih.

Untuk melibas kejahatan korupsi yang sudah di luar batas normal ini, jelas diperlukan tindakan nonkonvensional, tindakan ekstra yang berani. Hanya, harus diakui, upaya melacak transaksi gelap itu cukup sulit. Selain memerlukan tenaga, kemampuan dan biaya yang besar, kegiatan ini akan menabrak banyak rambu hukum, seperti Undang-Undang Perbankan.

Itu sebabnya, suruh saja para pejabat melakukan pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast). Artinya, si pemilik harta harus mempunyai bukti kehalalan kekayaannya itu. Sistem pembuktian terbalik penting dijalankan karena membuat seseorang harus membuktikan asal kekayaannya.

Memang ketentuan pembuktian terbalik itu saja pun tidak akan efektif membasmi korupsi bila sistem pelaporan kekayaan tidak dilanjutkan secara periodik, misalnya setahun sekali atau setiap periode masa jabatan. Hasilnya pun harus dibuka kepada masyarakat luas atau minimal lembaga publik yang independen, tepercaya, dan masa kepengurusannya dibatasi--agar orang ramai dapat ikut mengawasi.

Ditambah lagi, sanksi resmi terhadap mereka yang memberi laporan palsu atau tidak lengkap harus cukup keras--sepatutnya hukuman kurungan dan denda yang tinggi, selain pemecatan--dan dijalankan dengan konsisten, tanpa pandang bulu.

Karena itu, aturan yang mewajibkan para penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi harus diteruskan. Kewajiban ini--bila dilakukan dengan benar--akan segera memunculkan deretan nama mereka yang banyak harta, karena itu layak dicermati lebih lanjut.

Tentu bukan untuk secara otomatis menuding mereka korup, melainkan untuk mencari tahu halal atau haramnya cara mereka meraih harta itu.