Tuesday, January 16, 2007

Pentingnya Pembuktian Terbalik

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa pejabat negara mendominasi transaksi keuangan mencurigakan selama 2003-2006. Pejabat pemilik rekening mencurigakan itu tersebar di departemen dan institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan ada satu kasus yang melibatkan petinggi Tentara Nasional Indonesia.

Transaksi gelap yang ditemukan PPATK itu ada kemungkinan berkaitan dengan tindak pidana, seperti korupsi, penggelapan pajak, penipuan, kejahatan perbankan, pemalsuan dokumen, penyuapan, dan perjudian. Menurut Yunus Husein, kepala lembaga itu, dari 433 kasus, 178 kasus diduga merupakan transaksi keuangan hasil korupsi atau penggelapan uang. Nilainya mencapai Rp 400 triliun.

Kalau memang mau serius memberantas korupsi, pemerintah mesti makin lekas dan agresif membersihkan aparatnya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kini banyak pejabat negara yang tersandung kasus korupsi, dari yang setingkat kepala dinas, gubernur, hingga menteri.

Temuan itu seperti memberi konfirmasi terhadap pandangan bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat korup. Kejahatan korupsi di Indonesia melibatkan nama-nama besar dan angka-angka triliunan rupiah. Modus korupsi pun makin canggih.

Untuk melibas kejahatan korupsi yang sudah di luar batas normal ini, jelas diperlukan tindakan nonkonvensional, tindakan ekstra yang berani. Hanya, harus diakui, upaya melacak transaksi gelap itu cukup sulit. Selain memerlukan tenaga, kemampuan dan biaya yang besar, kegiatan ini akan menabrak banyak rambu hukum, seperti Undang-Undang Perbankan.

Itu sebabnya, suruh saja para pejabat melakukan pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast). Artinya, si pemilik harta harus mempunyai bukti kehalalan kekayaannya itu. Sistem pembuktian terbalik penting dijalankan karena membuat seseorang harus membuktikan asal kekayaannya.

Memang ketentuan pembuktian terbalik itu saja pun tidak akan efektif membasmi korupsi bila sistem pelaporan kekayaan tidak dilanjutkan secara periodik, misalnya setahun sekali atau setiap periode masa jabatan. Hasilnya pun harus dibuka kepada masyarakat luas atau minimal lembaga publik yang independen, tepercaya, dan masa kepengurusannya dibatasi--agar orang ramai dapat ikut mengawasi.

Ditambah lagi, sanksi resmi terhadap mereka yang memberi laporan palsu atau tidak lengkap harus cukup keras--sepatutnya hukuman kurungan dan denda yang tinggi, selain pemecatan--dan dijalankan dengan konsisten, tanpa pandang bulu.

Karena itu, aturan yang mewajibkan para penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi harus diteruskan. Kewajiban ini--bila dilakukan dengan benar--akan segera memunculkan deretan nama mereka yang banyak harta, karena itu layak dicermati lebih lanjut.

Tentu bukan untuk secara otomatis menuding mereka korup, melainkan untuk mencari tahu halal atau haramnya cara mereka meraih harta itu.

1 comment:

Anonymous said...

Saya takutnya ituh lembaga semacam KPK, ato PPATK ato apapun itu, hanya sekedar formalitas saja.
Ngurus korupsi pejabat, tapi di dalamnya tetep banyak praktek praktek 'gak jelas' yang berseliweran..
Sama aja dong..