Thursday, December 21, 2006

Tarik Saja Senjata Api Itu

Memiliki senjata api ibarat memelihara macan. Salah-salah malah jadi senjata makan tuan alias bikin celaka. Pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto ini ada baiknya dicamkan oleh puluhan atau ratusan ribu masyarakat sipil (bahkan mungkin jutaan?) yang kini memiliki senjata api, meski sudah mengantongi surat izin dari polisi -- apalagi yang mengoleksinya secara ilegal.

Senjata di tangan sipil lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Pengawasannya pun terbukti tidak mudah. Maka koran ini tentu mendukung rencana Markas Besar Polri baru-baru ini menarik senjata dari tangan sipil. Tindakan tersebut diharapkan mampu menurunkan penyalahgunaan senjata api dan tentu saja angka kriminalitas yang cenderung meningkat belakangan ini.

Kasus penyalahgunaan senjata api yang mencuat memang lebih karena si pemilik tak memiliki surat izin dari pihak berwenang -- atau surat izinnya sudah kedaluwarsa. Mentang-mentang pejabat, anak pejabat, atau pengusaha berduit, ke mana-mana membawa senjata, lalu kemudian dorr... korban jatuh. Ingat kasus pengusaha Adiguna Sutowo yang menembak mati karyawan bar di Hotel Hilton tahun lalu. Jangan lupa pula dengan pelawak Parto yang menakuti-nakuti wartawan dengan letusan pistol.

Maraknya kepemilikan senjata api di kalangan sipil biasanya untuk solusi pengamanan pribadi. Ketika angka kejahatan tinggi dan aparat tak berdaya, masyarakat pun mencari cara praktis, di antaranya dengan mempersenjatai diri sendiri. Namun, belakangan justru timbul ekses dan terbukti bahwa orang sipil yang diberi hak memegang senjata tak membuat angka kejahatan turun. Kekerasan dengan senjata api (berbekal surat resmi ataupun ilegal) justru meningkat.

Karena itulah jajaran kepolisian jangan takut menerapkan rencana tersebut. Sudah betul pula kalau polisi selama ini berhasil menarik sekitar 4.000 pucuk senjata api dari masyarakat sipil, termasuk yang sudah berizin. Kalaupun ada yang diperpanjang izinnya, mesti dikontrol ketat atau titipkan saja di polisi. Kalaupun hendak dipakai, harus dengan alasan jelas, misalnya untuk latihan menembak bagi atlet. Pengurus olahraga menembak pun tak boleh seenaknya membawa senjata api.

Jangan takut. Tak usah pula hirau, meski itu berarti akan membatasi kemewahan yang selama ini hanya dinikmati kalangan terbatas, seperti pensiunan tentara dan polisi, pengusaha kaya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta mereka yang mampu "membeli" izin memegang senjata api. Di negeri penuh calo ini, surat begituan mah gampang dibisniskan. Lalu pemakainya, mentang-mentang membawa surat, enteng saja menarik pelatuk; apakah untuk menakut-nakuti, gagah-gagahan, atau untuk kekuasaan.

Biarlah tentara, polisi, jaksa, dan penyidik sipil saja yang boleh memegang senjata api. Sipil tak boleh bersenjata api. Toh, rasa aman terbukti tak bisa ditukar dengan senjata api. Semakin banyak senjata api yang beredar, orang ramai justru semakin waswas.

Tuesday, December 12, 2006

Harapan Baru Rakyat Aceh

Di luar dugaan banyak orang, pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam ternyata berlangsung nyaris tanpa pelanggaran berarti dan keributan besar. Aceh bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang belum menyelenggarakan acara serupa.

Inilah pertama kali rakyat Nanggroe Aceh Darussalam memilih secara langsung dan serentak calon-calon kepala daerah, baik di tingkat I maupun II. Diperkirakan sekitar dua juta warga di seluruh Aceh memberikan suara kepada 103 pasangan calon itu di 8.471 tempat pemungutan suara. Hanya masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan dan Bireuen yang belum memilih kepala daerahnya.

Pesta demokrasi kemarin bisa dikatakan sebagai peristiwa bersejarah yang penting dan akan menentukan wajah Aceh pada tahun-tahun mendatang. Setelah bertahun-tahun menjadi kawasan yang bergolak, penuh konflik bersenjata, Aceh telah membuktikan sebagai daerah yang dapat berdemokrasi secara tertib dan damai. Meski diwarnai ledakan bom rakitan tanpa korban jiwa, secara umum pemilihan kepala daerah berlangsung aman dan damai.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Aceh, yang masih memiliki kekurangan di sana-sini. Pada masa kampanye, misalnya, terjadi pembakaran atribut kampanye salah satu calon. Bukan mustahil, laporan kecurangan hasil penghitungan suara pun ada kemungkinan muncul pada beberapa hari ke depan.

Kita berharap riak-riak yang menodai pelaksanaan pemilu seperti itu segera diproses dan tak boleh dibiarkan begitu saja. Jangan sampai seperti yang juga terjadi di daerah-daerah lain, pelanggaran semacam itu sekadar menjadi catatan tanpa proses lanjutan yang jelas. Panitia Pengawas Pemilihan Daerah paling banter cuma mencatat, lalu mengeluh, dan berperang kata di media massa bahwa pasangan ini dan itu terbukti mencuri start, tapi tetap saja tak tersentuh hukum.

Kita mestinya tak boleh lagi memaklumi pelanggaran seperti itu. Panitia Pengawas jangan hanya menjadi macan kertas. Setiap calon yang terbukti melanggar undang-undang, misalnya melakukan kecurangan, mesti diproses sesuai dengan hukum. Bila bersalah, ya harus dikenai sanksi.

Hasil akhir pemilihan kepala daerah di Aceh nanti tak bisa menyenangkan semua pihak. Seperti halnya di daerah mana pun, selalu ada yang puas dan tak puas. Ini wajar. Namun, pemilihan yang sudah berlangsung kemarin adalah satu-satunya cara pemilihan pemimpin daerah yang sah dan bertanggung jawab. Karena itu, kalau ada yang belum bisa menerima hasil itu, lebih baik menyalurkannya melalui mekanisme yang diatur undang-undang.

Sebentar lagi kita akan melihat para pemimpin baru di Aceh. Bersama wakil-wakil rakyat daerah, para pemimpin hasil pilihan rakyat itu akan segera merancang anggaran, menentukan prioritas pembangunan, dan sebagainya. Kepada merekalah harapan masa depan Aceh yang lebih baik kita sandarkan.

Monday, November 20, 2006

Hasil Pertemuan Bogor

Memuliakan tamu tentu perbuatan baik. Apalagi bila yang datang itu tamu negara. Sudah selayaknya kita menyambutnya dengan sebaik-baiknya. Sebab, sebagai anggota masyarakat dunia yang beradab, Indonesia memang harus memberikan sambutan yang proporsional dan memberikan jaminan keselamatan kepada setiap tamu negara, termasuk Presiden Amerika Serikat George Walker Bush.

Namun, rasanya ada yang kurang imbang dalam pertemuan antara Bush dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin. Secara sepintas, Indonesia memberikan terlalu banyak untuk suatu kunjungan selama enam jam itu. Lihat saja dari persiapan penyambutan Bush yang menghebohkan. Begitu banyak tenaga, waktu, dan dana yang terbuang, juga kerepotan persiapan pengamanan selama sepekan.

Tentu saja ini belum memperhitungkan pengorbanan warga Bogor khususnya. Mereka harus memikul pelbagai ketidaknyamanan--terkurung di rumah, tak bisa beraktivitas normal, kehilangan penghasilan, kesempatan belajar, dan sebagainya.

Seperti sudah diduga, hasil pertemuan kedua pemimpin itu ternyata biasa-biasa saja. Bush dan Yudhoyono tak membahas agenda besar yang mendesak, tapi lebih banyak membicarakan sejumlah agenda soft-power, misalnya kerja sama di bidang pendidikan dan kesehatan. Pertemuan kemarin sekadar kelaziman diplomatik. Bush membalas kunjungan Yudhoyono ke Amerika pada Februari lalu.

Kunjungan Bush yang singkat itu akhirnya hanya bisa dikesankan sebagai simbol bahwa negara adidaya itu tetap menganggap Indonesia sebagai sekutu yang penting dalam perang melawan terorisme di Asia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia layak diberi perhatian.

Tentu saja ini pun tak bisa dilepaskan dari kepentingan Amerika yang tengah menderita setelah teroris menabrakkan pesawat di menara kembar World Trade Center pada 2001 dan Bush meniup trompet perang melawan terorisme.

Setelah Bush meninggalkan Bogor, yang tertinggal hanya ribuan aparat keamanan yang kuyu. Lampu-lampu Istana Bogor padam, meninggalkan jejak kunjungan, serta piring dan gelas kotor. Setelah ribuan pengunjuk rasa pulang dan tidur di rumah masing-masing, yang masih ada cuma kepenatan. Segala kehebohan, keriuhrendahan, dan gegap-gempita massa yang menyambutnya berlalu begitu saja. Kalaupun ada sejumlah komitmen dari Bush, belum tentu itu bakal terwujud dalam waktu dekat.

Diterbitkan di Koran Tempo, 21 Nopember 2006

Tuesday, October 31, 2006

Berbenah Memikat Investor

Kenduri besar pemerintah berjuluk Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006 yang dimulai hari ini tentu saja penting artinya bagi masa depan bangsa. Forum ini bisa dijadikan ajang promosi guna memikat para investor swasta ataupun asing untuk berpartisipasi dalam proyek infrastruktur di pelbagai sektor.

Tampaknya pemerintah serius berupaya menciptakan iklim usaha dan investasi yang sehat dan ramah bagi investor. Apalagi dalam salah satu sesi pameran, para menteri terkait dirancang akan "buka praktek". Mereka masuk ke dalam stan-stan pameran untuk berinteraksi sekaligus menjawab pelbagai pertanyaan calon pemodal gede itu.

Ketersediaan infrastruktur jelas penting. Ibarat dinamo, ia diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian. Apalagi negeri ini masih terbelit masalah kemiskinan dan tingginya angka pengangguran. Perluasan akses jaringan listrik, misalnya, akan mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi baru, sehingga kemiskinan bisa ditekan.

Apalagi ketika kocek pemerintah sedang kempis, sehingga modal swasta dan terutama asing perlu diundang, diiming-imingi, serta dibujuk-bujuk, untuk mendanai pembangunan jaringan infrastruktur dan menghidupkan kembali proyek-proyek yang mati suri atau malah sama sekali belum berjalan. Proyek-proyek ini juga akan menyerap tenaga kerja, sehingga bisa mengempiskan angka pengangguran.

Masalahnya, sejauh ini Indonesia bukanlah surga bagi investor asing. Terbukti pada Infrastructure Summit 2005, dagangan pemerintah itu kurang laku. Dari 91 proyek yang ditawarkan dengan nilai investasi US$ 22 miliar, hanya 24 proyek yang terlaksana dengan nilai US$ 6 miliar. Hasil ini jelas jauh dari harapan.

Penyebabnya jelas. Investor merasa tak nyaman dan tak aman berinvestasi. Biang keroknya, antara lain, korupsi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi serta inkonsistensi dan centang-perenangnya aturan main yang membuat tiadanya kepastian hukum. Belum lagi panjangnya jalur birokrasi perizinan. Kombinasi yang buruk ini membuat Indonesia sebagai lahan investasi dengan risiko tinggi.

Akibatnya, pemerintah terpaksa memberikan jaminan atau garansi sebagai syarat agar investor bersedia menanam modal. Ini bukan cara sehat. Kalau terjadi sengketa bisnis, yang ikut menanggung rakyat juga. Kasus Karaha Bodas adalah contoh bagus tentang bagaimana sebuah risiko bisnis yang dijamin pemerintah justru menjadi beban dan akhirnya membuat rakyat terpaksa ikut memikul.

Belajar dari kasus itu, pemerintah sebaiknya segera menarik campur tangannya yang terlalu jauh dari urusan dan kepentingan bisnis swasta. Biarkan mereka bergerak dengan naluri dan mekanismenya sendiri. Investor itu ibarat semut yang secara alamiah selalu akan mengerubungi gula. Kita hanya perlu memastikan agar semut-semut itu tak diganggu dan jalan menuju gula tetap terbuka lebar.

Pemerintah hanya perlu membuat iklim usaha yang kondusif dengan mengenyahkan biang kerok tadi. Korupsi pun mesti dibasmi di segala lini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 1 November 2006

Tuesday, October 10, 2006

Larangan Menerima Parsel

Jika ingin bebas dari belenggu praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, para penyelenggara negara memang harus dilarang menerima hadiah, termasuk parsel Lebaran. Hadiah gampang tergelincir menjadi sogok atau suap. Pemberian parsel, misalnya, dapat mempengaruhi independensi hakim dalam memutuskan perkara. Hadiah pun berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Karena itu, kita layak mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengeluarkan larangan penerimaan gratifikasi dan hadiah Lebaran (parsel) bagi para penyelenggara negara. Larangan seperti ini bahkan sebaiknya berlaku seterusnya, tidak hanya bertepatan dengan Lebaran. Perang melawan korupsi harus dilakukan terus-menerus.

Sebaliknya, kita harus mengingatkan Mahkamah Agung yang hampir merampungkan pembuatan Pedoman Perilaku Hakim. Sebab, pedoman itu, antara lain, memperbolehkan hakim menerima hadiah yang tidak berhubungan dengan perkara yang sedang ditangani atau menerima hadiah dari keluarga.

Dalam keadaan normal, acuan semacam itu tak menjadi masalah. Namun, keadaan sekarang belum normal. Praktek korupsi dan suap sangat tinggi. Pedoman yang longgar seperti itu berpotensi disalahgunakan. Lebih baik dibuat pedoman yang ketat, lugas, dan tegas. Apalagi pedoman itu untuk hakim yang berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. Posisi hakim sangat menentukan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bagaimana mungkin kita membersihkan sesuatu dengan sapu yang kotor? Jangan takut dituding tak manusiawi, antisosial, atau tidak normal lantaran membuat pedoman yang sangat ketat dan keras. Kita tengah berperang melawan budaya korupsi yang begitu akut dan menggurita. Untuk memerangi praktek jahat dengan pelbagai macam modus canggih semacam ini, memang perlu upaya yang drastis dan di luar ukuran normal. Peluang korupsi sekecil apa pun harus ditutup.

Selain itu, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan budaya saling membalas pemberian. Pedoman yang memperbolehkan hakim menerima hadiah hanya akan menjadi acuan yang berbahaya dan tak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Jika ketentuan itu tetap disahkan, dikhawatirkan Mahkamah Agung akan kesulitan menjalankan pelaksanaannya. Apalagi jumlah hakim di Indonesia mencapai ribuan dan tersebar di penjuru daerah. Siapa yang bisa mengawasi dan menjamin pemberian terhadap hakim-hakim itu tidak berhubungan dengan profesinya?

Daripada pemberian hadiah itu nantinya menimbulkan fitnah, lebih baik tak usah diterima sama sekali. Toh, tak ada salahnya seorang hakim menolak pemberian hadiah. Paling banter dia hanya akan dicap sebagai orang yang sombong. Tapi tak ada ruginya, bukan? Yang penting, dengan menolak pemberian itu, hakim tak melanggar sumpah jabatan, undang-undang, dan pedoman tingkah laku. Seorang hakim tak akan jatuh miskin hanya gara-gara selalu menolak pemberian parsel.

Tak perlu dipermasalahkan pula seandainya larangan pemberian hadiah dan parsel itu akan membuat omzet para pedagang parsel turun atau mereka kehilangan peluang mendapatkan keuntungan besar. Untung dan rugi adalah dua sisi mata uang dalam bisnis, sesuatu yang lumrah. Yang dilarang bukan penjualan parselnya, melainkan pemberian hadiah kepada penyelenggara negara.

Diterbitkan di Koran Tempo, 10 Oktober 2006

Tuesday, September 26, 2006

Fatwa Pemisahan Piutang Negara

Mahkamah Agung boleh-boleh saja mengeluarkan fatwa yang menyatakan piutang bank badan usaha milik negara itu bukan piutang negara. Fatwa itu keluar semata-mata karena pemerintah meminta. Latar belakangnya, bank-bank milik pemerintah ingin menghapus sebagian kredit seretnya (non performing loan). Keinginan itu terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Bank pemerintah ingin aturan itu direvisi supaya kompetisi di industri perbankan seimbang. Selama ini bank swasta terkesan gampang menghapus kredit macet. Mereka tak khawatir dituding merugikan negara atau korupsi. Kalaupun terjadi kasus, para anggota direksi bank swasta paling banter hanya akan berhadapan dengan rapat umum pemegang saham. Jika terbukti bersalah, sanksi terberatnya hanya pemecatan.

Sebaliknya, bank pelat merah tak bisa melakukan hal yang sama. Jika ada kasus, direksinya harap siap-siap berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman penjara pun sudah menanti. Itu sebabnya, bank pelat merah menginginkan aturan direvisi agar persaingan jadi seimbang.

Gayung rupanya bersambut. Pemerintah memberi sinyal hijau akan merevisi PP Nomor 14 Tahun 2005 itu. Rencana revisi itu terungkap dalam rapat kerja antara pemerintah dan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli lalu. Yang direvisi, antara lain, pasal 19 dan 20, yang mencampuradukkan piutang negara dan piutang perusahaan negara.

Bila pasal itu dihapus, berarti piutang dianggap milik perusahaan, dan bukan milik negara. Piutang perusahaan negara/daerah biarlah menjadi urusan perusahaan negara/daerah yang bersangkutan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara. Agar revisi itu punya dasar hukum, DPR lalu menyarankan pemerintah meminta fatwa dari Mahkamah Agung, yang akhirnya keluar pada 16 Agustus lalu.

Namun, fatwa Mahkamah Agung itu sesungguhnya bukan penyelesaian yang jitu. Yang jadi masalah bukan PP Nomor 14 Tahun 2005. Akar persoalan pengelolaan aset (termasuk piutang) BUMN itu ketidakharmonisan antara UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang yang pertama menyebutkan keuangan negara yang dipisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan disertakan sebagai modal di BUMN tetap merupakan milik negara. Undang-Undang BUMN dan Perseroan menyebutkan sebaliknya. Akibatnya, tidak ada kejelasan apakah pemotongan piutang oleh bank-bank pelat merah tetap bisa dianggap sebagai kerugian negara atau bukan.

Perbedaan itu memicu persoalan berikutnya, yakni lembaga mana yang berhak mengaudit BUMN: Badan Pemeriksa Keuangan atau auditor independen. Selama perbedaan pandangan ini tak diharmonisasi, konflik akan tetap muncul. Karena itu, salah satu undang-undang itu diamendemen saja.

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 September 2006
Mahkamah Agung boleh-boleh saja mengeluarkan fatwa yang menyatakan piutang bank badan usaha milik negara itu bukan piutang negara. Fatwa itu keluar semata-mata karena pemerintah meminta. Latar belakangnya, bank-bank milik pemerintah ingin menghapus sebagian kredit seretnya (non performing loan). Keinginan itu terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Bank pemerintah ingin aturan itu direvisi supaya kompetisi di industri perbankan seimbang. Selama ini bank swasta terkesan gampang menghapus kredit macet. Mereka tak khawatir dituding merugikan negara atau korupsi. Kalaupun terjadi kasus, para anggota direksi bank swasta paling banter hanya akan berhadapan dengan rapat umum pemegang saham. Jika terbukti bersalah, sanksi terberatnya hanya pemecatan.

Sebaliknya, bank pelat merah tak bisa melakukan hal yang sama. Jika ada kasus, direksinya harap siap-siap berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman penjara pun sudah menanti. Itu sebabnya, bank pelat merah menginginkan aturan direvisi agar persaingan jadi seimbang.

Gayung rupanya bersambut. Pemerintah memberi sinyal hijau akan merevisi PP Nomor 14 Tahun 2005 itu. Rencana revisi itu terungkap dalam rapat kerja antara pemerintah dan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli lalu. Yang direvisi, antara lain, pasal 19 dan 20, yang mencampuradukkan piutang negara dan piutang perusahaan negara.

Bila pasal itu dihapus, berarti piutang dianggap milik perusahaan, dan bukan milik negara. Piutang perusahaan negara/daerah biarlah menjadi urusan perusahaan negara/daerah yang bersangkutan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara. Agar revisi itu punya dasar hukum, DPR lalu menyarankan pemerintah meminta fatwa dari Mahkamah Agung, yang akhirnya keluar pada 16 Agustus lalu.

Namun, fatwa Mahkamah Agung itu sesungguhnya bukan penyelesaian yang jitu. Yang jadi masalah bukan PP Nomor 14 Tahun 2005. Akar persoalan pengelolaan aset (termasuk piutang) BUMN itu ketidakharmonisan antara UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang yang pertama menyebutkan keuangan negara yang dipisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan disertakan sebagai modal di BUMN tetap merupakan milik negara. Undang-Undang BUMN dan Perseroan menyebutkan sebaliknya. Akibatnya, tidak ada kejelasan apakah pemotongan piutang oleh bank-bank pelat merah tetap bisa dianggap sebagai kerugian negara atau bukan.

Perbedaan itu memicu persoalan berikutnya, yakni lembaga mana yang berhak mengaudit BUMN: Badan Pemeriksa Keuangan atau auditor independen. Selama perbedaan pandangan ini tak diharmonisasi, konflik akan tetap muncul. Karena itu, salah satu undang-undang itu diamendemen saja.

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 September 2006

Monday, September 18, 2006

Menyikapi Blunder Sri Paus

Sudah sepantasnya jika Paus Benediktus XVI meminta maaf kepada umat Islam yang tersinggung oleh pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu. Pidato semacam itu bukan hanya gegabah, tapi secara politik merupakan langkah blunder yang berbahaya.

Dalam teks pidato berjudul "Faith, Reason and the University: Memories and Reflections" itu, Paus mengutip sebuah telaah hubungan agama dan kekerasan dengan mengambil dokumen lama Profesor Theodore Khoury. Dokumen itu membahas dialog di Ankara, Turki, pada 1391 antara Kaisar Byzantine Manuel II Paleologus dan seorang Persia.

Percakapan yang dikutip Paus yang berasal dari Jerman itu antara lain menyebutkan, "... kabar baru yang dibawa Muhammad, kalian bakal menjumpai hal-hal yang tidak manusiawi sebagaimana perintahnya menyebarkan agama dengan jalan pedang."

Sejumlah pemimpin agama dan politik negara muslim menganggap pidato itu sebagai serangan kepada Islam. Tapi, kalau dibaca lebih teliti dan dengan kepala dingin, guru besar dogmatika ini memang tidak sedang menyatakan pendapat, melainkan hanya mengutip, memberikan contoh pendapat orang lain bahwa iman sering tidak rasional.

Namun, keberatan para pemimpin agama dan politik negara muslim juga bisa dimengerti. Apalagi ucapan itu muncul di tengah situasi dunia yang sedang tegang oleh isu yang mengaitkan Islam dan kekerasan (terorisme). Pidato itu hanya akan memicu eskalasi ketegangan yang makin meningkat. Pemimpin umat Katolik itu mestinya cukup peka dan berhati-hati menjaga ucapannya.

Apalagi kontroversi ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada 2004, saat masih sebagai teolog tinggi Vatikan, ia menentang Turki bergabung ke Uni Eropa. Alasannya, Turki sebagai negara muslim secara permanen kontras dengan Eropa. Lalu awal tahun ini, Israel mengecam sang pemegang Takhta Suci itu karena menghapus sebutan Negara Yahudi dalam daftar negara yang menjadi korban terorisme.

Di bekas kamp konsentrasi Nazi, di Auschwitz, Polandia, Mei lalu, pemimpin umat Katolik Roma itu memaafkan rakyat Jerman dari "dosa" nazisme, dengan mengatakan negara itu jatuh sebagai korban "kelompok kriminal" pada 1930-an. Serangkaian pernyataan itu tentu saja sangat mengejutkan, mengingat ia baru sekitar setahun menggantikan mendiang Yohanes Paulus II.

Pernyataan sembrono ini memang tak bisa terhapus begitu saja. Umat Islam boleh saja dan mereka berhak merasa tersinggung, tapi mestinya bisa berlapang dada menerima permintaan maafnya. Siapa pun kita harus berpikir jernih dan tak memperpanjang masalah ini. Bagaimanapun Paus adalah manusia yang bisa keseleo lidah. Ia harus lebih berhati-hati dan memastikan insiden semacam itu tak akan terulang lagi. l

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 September 2006

Tuesday, August 29, 2006

Doktor Satu Miliar ala UGM

Penyelenggara pendidikan tinggi boleh-boleh saja memasang tarif mahal, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menjaga mutu lulusannya. Di era otonomi dan ketika beberapa universitas berstatus badan hukum milik negara, para penyelenggara pendidikan tinggi memang harus memutar otak menjaga kelangsungan program belajar-mengajarnya. Karena pemerintah memotong subsidi untuk pendidikan, universitas pun otomatis menaikkan biayanya. Seorang mahasiswa S-1, misalnya, idealnya membutuhkan biaya pendidikan sekitar Rp 6 juta per tahun. Makin tinggi stratanya, makin tinggi pula biaya.

Namun, program doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jadi masalah bukan karena ongkosnya yang tinggi, yang bisa sampai Rp 600 juta, melainkan karena uangnya tak masuk ke universitas. Selain itu, ternyata diketahui bahwa program S-3 yang diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UGM itu memakai jasa pihak ketiga untuk mencari calon mahasiswa. Kenapa itu bisa terjadi?

Di UGM ada dua model program strata 3. Pertama, yang diadakan tiap-tiap fakultas, seperti fakultas ekonomi dan kedokteran. Di luar ongkos pendaftaran, biaya untuk meraih gelar doktor di tiap fakultas hanya Rp 6 juta per semester. Kedua, program S-3 yang diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UGM. Dalam proposal program yang beredar dan diterima calon mahasiswa Sekolah Pascasarjana itu disebutkan biaya untuk mengambil gelar doktor lintas bidang hingga selesai bisa mencapai Rp 600 juta. Angka ratusan itu antara lain terdiri atas biaya administrasi dan pendaftaran Rp 32 juta (resminya Rp 300 ribu), penyusunan proposal Rp 6 juta, dan biaya SPP per semester Rp 6 juta.

Meski para pengelola dan mahasiswa sekolah doktor tersebut membantah biayanya semahal itu, tetap saja lebih tinggi daripada tarif resmi. Selain itu, kualitas lulusannya bisa dipertanyakan. Dengan perkuliahan tatap muka yang ringan, cukup empat satuan kredit semester, lalu selebihnya di luar kelas, tak ada jaminan alumninya memang sudah layak mendapat gelar doktor.

Kasus ini kurang-lebih sama dengan pengurusan surat izin mengemudi (SIM). Resminya, ongkos membuat SIM itu hanya sekitar Rp 70 ribu. Tapi, untuk memperolehnya, kita harus mengikuti serangkaian tes dan butuh waktu lebih dari satu hari. Kalau mau terima beres, tak perlu ikut tes, dan hanya butuh waktu beberapa jam, biayanya tentu lebih mahal, bisa sekitar Rp 300 ribu. Kepolisian tentu saja membantah bahwa tarif SIM itu mahal. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa ada calo yang mempermudah urusan SIM. Bahwa si pemegang SIM lewat calo itu ternyata tak bisa mengemudi atau tak layak mengemudikan kendaraan, itu soal lain.

Untuk mengusut kasus doktor semiliar itu, sudah tepat bila diserahkan kepada tim investigasi. Namun, yang lebih penting lagi sebenarnya adalah membuat tim auditor perguruan tinggi independen. Kasus di UGM mungkin saja juga terjadi di tempat lain. Selain itu, perguruan tinggi memang belum memiliki auditor independen. Auditor independen bukan hanya bisa menemukan praktek-praktek sejenis di perguruan lainnya, tapi barangkali juga akan menemukan penyelewengan lain. Sebagai badan hukum milik negara, sudah selayaknya universitas juga diaudit.

Diterbitkan di Koran Tempo, 29 Agustus 2006

Monday, August 07, 2006

Penayangan Koruptor Buron

Rencana Kejaksaan Agung menayangkan wajah para koruptor buron di televisi tentu saja layak didukung dan perlu. Tindak pidana korupsi sudah tergolong sebagai extraordinary crime. Selain sudah mengakar urat, kejahatan ini terjadi baik di kalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Karena itu, diperlukan pula pelbagai terobosan untuk memberantasnya, baik dari sisi hukum maupun caranya.

Memang, ini bukanlah ide baru. Almarhum Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono dulu pernah memulainya. Ide itu bahkan sempat terwujud di TVRI pada 1989. Wajah para buron dan koruptor ditayangkan pada acara prime time yang laris dan banyak digemari waktu itu, Dunia Dalam Berita. Namun, acara itu berhenti begitu saja ketika efektivitasnya dalam membantu aparat meringkus para buron belum diketahui.

Kini ada peluang menghidupkan kembali gagasan bagus itu. Kalangan pengelola stasiun televisi pun menyambut baik. TVRI dan SCTV setidaknya sudah menyatakan bersedia membantu terlaksananya program yang bisa bikin ketar-ketir para pelaku tindak pidana luar biasa ini. Tentulah bakal seru kalau semua stasiun televisi ikut berpartisipasi.

Penayangan para buron di TV bisa digolongkan sebagai terobosan pemberantasan korupsi. Kiat ini sesuai dengan semangat antikorupsi yang tengah digalakkan di negeri ini. Bila perlu, yang ditayangkan jangan hanya para koruptor yang buron, tapi juga buron kejahatan lain. Misalnya penyelundup dan terpidana kasus pembunuhan yang baru saja kabur dari penjara Cipinang, seperti Gunawan Santosa.

Televisi merupakan media yang tepat dan efektif untuk menyebarluaskan informasi secara massal dan seketika. Penayangan tak hanya menimbulkan efek jera, jeri, dan takut bagi pelakunya. Masyarakat pun jadi mendapatkan informasi lebih lengkap. Syukur-syukur berkat informasi itu, orang ramai ikut berinisiatif memberi informasi tentang para buron, misalnya tempat persembunyiannya.

Informasi dari publik ini tentu sangat bermanfaat mengingat jumlah petugas kejaksaan ataupun kepolisian sangat terbatas. Namun, kita perlu mengingatkan agar jangan sampai rencana penayangan para buron itu melanggar asas praduga tak bersalah. Yang ditayangkan harus benar-benar sudah jelas status hukumnya. Perlu dipikirkan pula cara membuat program yang tak menabrak etika jurnalistik.

Pemberitaan lewat TV tentu berbeda dengan media cetak. Kalau yang diberitakan membantah, media cetak bisa meralatnya. Tapi cara yang sama belum tentu gampang dilakukan di layar kaca bila ada yang keberatan atau muncul sanggahan.

Sebaliknya, jangan sampai pula kehati-hatian justru membuat petugas salah tangkap. Dalam hal pencarian buron, misalnya, justru perlu diumumkan nama lengkap dan fotonya. Kalau namanya disingkat, nanti malah keliru. Misalkan yang disuruh ditangkap Agus Anwar-debitor nakal yang kini buron--tapi karena diumumkan hanya inisial AA dan tanpa disertai fotonya, orang jadi salah paham, dikiranya Andjas Asmara. Berabe.

Diterbitkan di Koran Tempo, 8 Agustus 2006

Tuesday, July 25, 2006

Akibat PLN Salah Urus

Perusahaan Listrik Negara mestinya jangan sering-sering memadamkan listrik secara bergiliran. Sebab, listrik adalah kebutuhan vital. Kebutuhan akan tenaga listrik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Begitu listrik padam, kegiatan ekonomi pun lumpuh.

Kereta rel listrik langsung berhenti, ribuan penumpang tertahan, dan ribuan lainnya tak terangkut di stasiun. Penerbangan tertunda di bandara, penumpang menunggu dengan gerah karena pendingin ruangan mati. Lalu lintas macet, polisi pun jadi sibuk. Mesin penarik dana tunai padam, orang yang sudah antre jadi kesal. Daftar kekacauan akibat padamnya listrik bisa diperpanjang.

Yang jelas, padamnya aliran listrik tak cuma membuat lampu mati. Mesin pabrik harus menunggu berjam-jam--pemilik pabrik tekstil menyebutnya berhari-hari--setelah aliran kembali normal agar pabrik bisa berproduksi kembali. Dari satu sektor ini saja bisa dihitung berapa kerugian yang diderita. Seandainya PLN memberikan kompensasi kerugian yang dihitung berdasarkan biaya beban, niscaya tak akan menutup kerugian yang diderita perusahaan besar.

Tetap saja ada yang tak beres di tubuh PLN. Pabrik setrum itu mengaku terpaksa menjatah listrik ke konsumen karena pasokan bahan bakar minyak terlambat datang. Kiriman minyak terlambat bukan karena PLN belum membayar utang ke Pertamina, seperti alasan yang dulu, melainkan karena stok yang terkuras cepat. Ada kebutuhan bahan bakar minyak melebihi biasanya. Ini akibat berkurangnya kiriman air waduk pemasok pembangkit listrik tenaga air. Musim kering membuat debit air di waduk turun.

Di situlah soalnya. PLN tak mengantisipasi kemungkinan bakal naiknya kebutuhan bahan bakar minyak. Ini tentu mengherankan, karena mereka mestinya tahu berapa kebutuhan dan cadangan bahan bakar minyak yang diperlukan. Agar peristiwa ini tak terjadi lagi, perusahaan setrum itu jangan sampai salah lagi menghitung kebutuhan bahan bakar minyak dan cadangan yang diperlukan.

Sudah saatnya pula PLN mempercepat dan memperluas pemakaian sumber energi terbarukan, seperti tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomas, sebagai pengganti bahan bakar minyak. Apalagi ongkos produksi dengan sumber energi nonminyak lebih murah. Bahan bakar minyak lebih boros anggaran. Tahun lalu, misalnya, sekitar 80 persen dari seluruh bujet negara, sekitar Rp 50 triliun, disedot biaya sumber energi pembangkit listrik PLN. Kita setuju dengan kampanye hemat listrik, tapi jangan sampai orang ramai jadi korban penghematan hanya karena kesalahan manajemen di PLN. l

Diterbitkan di Koran Tempo, 25 Juli 2006

Thursday, July 13, 2006

Jenius Muda Batal ke Slovenia

Sungguh sangat disesalkan tim Indonesia batal mengikuti Olimpiade Matematika di Slovenia. Apalagi penyebabnya bukan lantaran mereka tak siap bertanding. Bukan karena mereka jeri sebelum maju. Bukan pula karena ada anggota tim yang sakit. Tim batal bertarung hanya karena terlambat memperoleh visa masuk Slovenia.

Departemen Pendidikan Nasional sebagai panitia yang mengurus visa untuk tim itu mengaku sudah berupaya sedini mungkin mengajukan permohonan. Setidaknya tiga kali departemen tersebut mengaku telah mengirimkan surat. Surat pertama dikirim pada 20 Juni 2006 lewat Kedutaan Austria di Jakarta karena Slovenia tak mempunyai kantor perwakilan di Jakarta. Namun, sampai 6 Juli belum ada jawaban.

Panitia lalu mengajukan permohonan lagi, lengkap dengan surat pengantar dari Departemen Luar Negeri RI lewat kedutaan yang sama. Ketika dicek pada 7 Juli, Kedutaan Austria sebagai perantara belum mendapat calling visa dari negara pecahan Yugoslavia itu. Austria hanya dapat mengeluarkan visa apabila ada jawaban dari negara yang dituju. Baru pada 12 Juli, visa yang diminta akhirnya keluar bersamaan dengan dimulainya olimpiade.

Sungguh mengherankan sebuah lembaga tinggi negara ternyata tak becus mengurus visa. Para birokrat departemen yang belakangan ramai dikritik ihwal penyelenggaraan ujian nasional itu mestinya tahu bahwa Slovenia tak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Mereka harus mengantisipasi kemungkinan terburuk, seperti perpanjangan waktu pengurusan visa.

Toh, bukan baru kali ini saja Olimpiade Matematika berlangsung. Pula, ini bukan untuk pertama kalinya Indonesia ikut. Tim Indonesia bahkan sudah kerap berpartisipasi dan meraih penghargaan internasional dalam ajang sejenis. Hari-hari ini pun ada beberapa anak Indonesia yang tengah berjuang di gelanggang Olimpiade Fisika Internasional di Singapura. Kenapa Departemen Pendidikan bisa teledor begini?

Keikutsertaan anak-anak Indonesia ke ajang internasional itu penting untuk memberi warna lain di tengah suramnya situasi dalam negeri belakangan ini. Ada berita tentang kekeringan dan ancaman paceklik, tentang lesunya perekonomian, penimbunan senjata gelap, dan sebagainya. Partisipasi mereka bisa menjadi cahaya di ujung lorong.

Anak-anak peserta olimpiade itu tentu bukan anak sembarangan. Mereka anak-anak brilian hasil seleksi nasional yang ketat dan bertahap. Tentu tak sedikit waktu, tenaga, pikiran, juga dana yang sudah dikeluarkan, baik oleh peserta maupun pembimbingnya selama enam bulan di pemusatan latihan. Namun, semua pengorbanan itu jadi sia-sia sekarang. Mereka tak mendapat kesempatan membuktikan hasil latihan di lomba yang sesungguhnya.

Para birokrat itu mestinya menjadikan "skandal matemavisa" ini sebagai pelajaran yang sangat mahal dan memastikan agar kejadian yang sama tak terulang lagi. Benahi segera sistem administrasi departemen ini. Jangan sampai nanti timbul kesan buruk: mengurus visa saja tak becus, apalagi mengurus masalah pendidikan di Indonesia yang jauh lebih kompleks.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Juli 2006

Thursday, July 06, 2006

Kepastian Bantuan Korban Gempa

Pemerintah pusat sebaiknya segera memberikan kepastian mengenai berapa lama sebetulnya bantuan jaminan hidup selama masa tanggap darurat yang harus diberikan kepada para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Keputusan ini penting agar warga dan para pemimpin setempat tak bingung.

Ada dua versi berbeda ihwal masa pemberian bantuan. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi menyatakan bantuan akan diberikan selama tiga bulan. Namun, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menyatakan pemberian jaminan hidup berakhir bersamaan dengan dimulainya masa rekonstruksi awal Juli ini.

Di samping itu, ada masalah lain. Pemerintah memang sudah mengucurkan bantuan ke dua wilayah itu. Penyaluran sebagian bantuan pun telah dilakukan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran kepada pemerintah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 1,2 triliun untuk rekonstruksi korban gempa.

Lebih dari sebulan bencana itu lewat, ternyata masih banyak ketidakberesan di sana-sini. Yang paling mencolok, bantuan itu ternyata masih kurang dan belum merata penyalurannya. Yogyakarta baru menerima Rp 73 miliar dari Rp 140 miliar bantuan jaminan hidup yang diusulkan. Bantuan beras juga baru sepertiganya. Walhasil, warga yang belum tersentuh tentu saja masih banyak.

Wajar jika Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X puyeng. Menurut Ngarso Dalem, dari 14 kecamatan di Kota Madya Yogyakarta, baru separuh yang menerima uang kehidupan. Di Bantul, baru 10 kecamatan dari 17 kecamatan yang menikmatinya. Ini berarti masih ada ribuan warga di 10 kecamatan itu yang belum kebagian.

Masalah yang sama terjadi di Klaten, Jawa Tengah. Ribuan warga belum mendapatkan bantuan uang lauk-pauk. Pemerintah setempat baru menerima Rp 48 miliar bantuan dari yang seharusnya Rp 64 miliar. Wakil Ketua Harian Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Klaten, Imam Purwadi, memperkirakan baru sekitar 80 persen dari 713.788 penduduk korban gempa di wilayahnya yang sudah mendapatkan bantuan uang lauk-pauk.

Belum beresnya masalah ini mengesankan pemerintah pusat belum tahu atau justru tak mau tahu kenyataan di lapangan. Pasti ada yang salah dengan koordinasi antara daerah dan pusat. Daerah mungkin telah melaporkan situasi di lapangan dengan benar, tapi tak diterima dengan baik oleh pusat. Bisa juga pusat memang tak menerima laporan yang benar dari daerah.

Kemungkinan lain: baik daerah maupun pusat tak melakukan pekerjaannya dengan benar. Tapi, daripada mencari-cari di mana letak kesalahannya atau siapa biang keladinya, ada baiknya bila perhatian difokuskan pada masalah bantuan jaminan hidup. Korban gempa tentu lebih membutuhkan bantuan untuk hidup ketimbang bantuan bagi rekonstruksi. Kebutuhan makan jauh lebih mendesak. Perut tak bisa diajak kompromi. Karena itu, perpanjang saja masa pemberian bantuan jaminan hidup minimal tiga bulan. Beres, dah.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Juli 2006

Tuesday, June 20, 2006

Kinerja Tim Hendarman

Sekali-sekali bolehlah kita memuji kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baru setahun terbentuk, tim di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji ini mengaku telah menyelamatkan Rp 2,7 triliun uang negara dari tangan para koruptor.

Jika klaim ini benar, kita layak mengacungkan jempol. Bayangkan bila uang sebanyak itu dipakai untuk memperbaiki seluruh fasilitas kesehatan, pendidikan, keagamaan, budaya, dan institusi sosial yang rusak akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Separuh dari jumlah itu saja bahkan bisa dipakai untuk merenovasi lebih dari 2.600 sekolah yang rusak akibat gempa yang sama.

Meskipun demikian, Tim Pemberantas Korupsi hendaknya jangan cepat puas dengan hasil itu. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya diukur dari jumlah uang negara yang dapat diselamatkan atau dari jumlah koruptor yang ditangkap. Pemberantasan korupsi bukanlah lomba lari jarak pendek.

Sebaliknya, perang melawan praktek curang itu ibarat lomba lari maraton, butuh waktu panjang dan usaha yang tak kenal lelah. Sebab, tindak kejahatan ini sudah seperti hujan yang merata alias ada di mana-mana. Pelakunya pun sangat beragam, baik status, pangkat, maupun jabatannya.

Belakangan ini memang mulai ada gejala orang takut korupsi. Ada fenomena pejabat menolak menjadi pemimpin proyek karena takut terlibat penyelewengan. Fenomena ini bahkan sampai membuat pemerintah berencana mengeluarkan aturan perlindungan pejabat dari penyidikan kasus korupsi. Ini perkembangan yang bagus.

Kita memang harus mencegah orang berbuat jahat. Karena itu, jangan sampai perkembangan yang sudah baik ini kembali memburuk hanya karena kinerja Tim Pemberantas Korupsi melemah. Kita perlu mengingatkan hal ini karena tim yang dibentuk Presiden pada Mei tahun lalu itu masih memiliki kelemahan.

Kelemahan itu, misalnya, lantaran rendahnya kualitas dan kinerja penyidik. Ini terlihat dari beberapa penggantian anggota tim penyidik yang kinerjanya dinilai masih jauh dari harapan. Ada saja jaksa atau polisi yang malah diduga terlibat dalam kasus yang ditangani. Contohnya kasus korupsi PT Jamsostek yang menguarkan aroma kolusi antara jaksa dan terdakwa.

Hendarman tentu saja perlu terus-menerus menutup kelemahan ini demi peningkatan kinerja timnya. Tim Pemberantas Korupsi juga mesti pandai-pandai menjaga independensinya dari intervensi politis dan konflik kepentingan di kalangan eksekutif, mengingat kasus dugaan megakorupsi, seperti di PLN, biasanya menyeret sejumlah tersangka yang memiliki keterkaitan dengan pejabat tinggi.

Konflik kepentingan di pucuk pemimpin eksekutif bisa menghentikan penanganan kasus korupsi bila tim tak independen. Hendarman mesti menyelesaikan pekerjaan rumah, membenahi integritas dan independensi timnya, agar menang dalam perang melawan korupsi. Apa pun risikonya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 20 Juni 2006

Monday, June 05, 2006

Menyiasati Anggaran Pendidikan

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden memang seharusnya bertemu dan membicarakan anggaran pendidikan untuk tahun 2006. Ini cara yang baik dan konstitusional. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Dewan dan pemerintah harus menaikkan alokasi anggaran pendidikan, dari 9,1 persen (sekitar Rp 36,8 triliun) menjadi 20 persen.

Keputusan tersebut merujuk pada pesan konstitusi. Berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 hasil amendemen keempat, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Kita berharap pertemuan itu akan menghasilkan sebuah gambaran yang jelas tentang rencana pemerintah menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai masalah ini mengendap begitu saja tanpa keputusan apa pun seperti persoalan lain. Sebab, sebenarnya tidak ada yang tak menghendaki alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen, termasuk pemerintah. Masalahnya bukan soal mau atau menolak, melainkan mampu atau tidak pemerintah memenuhinya.

Anggaran belanja negara tahun ini tekor. Sebagai gambaran, tahun ini pemerintah mesti mengeluarkan subsidi tambahan Rp 10,2 triliun supaya tarif listrik tak naik sehingga defisit anggaran belanja Rp 22 triliun. Untuk mencapai batas minimal anggaran pendidikan 20 persen, diperlukan tambahan kurang-lebih Rp 50 triliun. Tambahan ini jelas akan semakin menekan anggaran. Butuh kerja luar biasa keras untuk menutupi bolongnya anggaran negara. Kerja besar itu berupa "main akrobat" dengan pos-pos anggaran. Satu pos dikurangi demi menambah pos yang lain.

Cara ini tidak gampang. Menggenjot pemasukan lewat pajak dan ekspor mudah secara teori, tapi sangat berat dijalankan di lapangan. Dunia usaha lesu menghadapi melemahnya daya beli rakyat. Pemasukan menurun, otomatis pajak yang dibayarkan kepada negara juga susut. Untuk menomboki anggaran, ujung-ujungnya pemerintah negeri ini harus mencari utang luar negeri. Soal anggaran negara tahun ini mungkin terpecahkan, tapi dengan memindahkan beban ke masa datang, ke anak-cucu kita.

Kita setuju sektor pendidikan mendapat jatah anggaran minimal 20 persen. Di sisi lain, kita memahami kantong pemerintah cekak. Karena itu, diperlukan siasat. Seandainya alokasi anggaran pendidikan sudah disesuaikan seperti semestinya di atas kertas, pelaksanaannya tidak perlu dilakukan sepenuhnya. Dalam praktek selama ini, cukup banyak dana yang tidak terserap untuk digunakan pada tahun anggaran yang ditentukan.

Barangkali jalan keluar ini terpaksa ditempuh pemerintah: secara formal memprioritaskan anggaran pendidikan dengan alokasi 20 persen, tapi hanya membelanjakan sebanyak dana yang bisa disediakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Juni 2006

Monday, May 22, 2006

Beleid Perlindungan Pejabat

Rencana pemerintah membuat aturan khusus untuk melindungi pejabat publik dari penuntutan hukum kasus pidana tentu dilandasi niat baik. Namun, niat baik ini bisa disalahtafsirkan dan disalahgunakan sehingga perlu dikaji lagi sebelum diteken oleh Presiden. Apalagi, sudah ada undang-undang yang cukup memadai untuk mengatasi tindak pidana korupsi dan penyelewengan kekuasaan.

Ditilik dari niatnya, bisa dimaklumi bila pemerintah membuat aturan itu agar pejabat merasa nyaman menjalankan tugas. Belakangan ini banyak pejabat enggan menjadi pemimpin suatu proyek karena takut dituduh terlibat korupsi. Peraturan itu, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga tak serta-merta membuat pejabat kebal dari hukum.

Aturan itu hanya untuk memilah antara kejahatan dan kesalahan kebijakan. Kejahatan itu misalnya terjadi jika pejabat menggelembungkan anggaran. Kesalahan kebijakan itu contohnya jika pejabat membuat kebijakan ekonomi tapi terjadi masalah karena perubahan kondisi.

Dengan aturan itu, pemerintah berharap jika ada pejabat berbuat kejahatan, aparat penegak hukum menangkapnya. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan kebijakan, pejabat yang bersangkutan tidak boleh ditahan. Kesalahan kebijakan harus diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan oleh peradilan pidana. Jadi sanksinya pun berupa teguran atau pemecatan, bukan sanksi pidana.

Aturan itu terkesan berlebihan. Sebab, pejabat publik mestinya tak perlu takut menjadi pemimpin proyek atau menjalankan suatu kebijakan tertentu sepanjang prosesnya transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Pejabat tak bisa dituntut karena kebijakan yang dilakukannya. Kesalahan kebijakan harus dibedakan dari penyalahgunaan kekuasaan.

Sebuah beleid tak bisa dijadikan perkara hukum. Pejabat bank sentral yang mengambil kebijakan menaikkan suku bunga sehingga mengakibatkan banyak perusahaan ambruk dan peluang negara mendapat pemasukan pajak hilang, misalnya, tak bisa serta-merta dijerat dengan pasal-pasal korupsi. Pejabat yang bersangkutan hanya bisa dimintai pertanggungjawaban secara politis dan administratif.

Seorang pejabat hanya bisa dituntut seandainya tindakan yang dilakukannya mengandung unsur melawan hukum dan ada niat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Aturan itu justru dikhawatirkan bisa menjadi semacam tameng berlindung pejabat yang berniat jahat. Seorang pejabat mungkin saja membuat sebuah kebijakan yang seolah-olah benar, padahal sesungguhnya menguntungkan yang bersangkutan. Contohnya produk-produk kebijakan semasa Orde Baru, seperti beleid tentang mobil nasional dan tata niaga cengkeh.

Yang lebih diperlukan sekarang sebetulnya kesamaan pemahaman di kalangan aparat hukum untuk membedakan mana kesalahan kebijakan dan mana yang penyelewengan kekuasaan sehingga tak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum. Karena itu, Presiden perlu mempertimbangkan lagi sebelum meneken aturan perlindungan pejabat

Diterbitkan di Koran Tempo, 23 Mei 2006

Sunday, April 30, 2006

Amuk Tuban Jangan Terulang

Langkah Kepolisian Daerah Jawa Timur meringkus puluhan tersangka aksi brutal di Tuban akhir pekan lalu sudah tepat--walau pengamanan dini rasanya jauh lebih tepat. Apa pun alasannya, setiap aksi perusakan tetap melanggar hukum. Siapa pun pelakunya, provokator atau bahkan sponsornya, harus diganjar setimpal melalui proses pengadilan yang terbuka dan adil.

Tindakan tegas ini jelas diperlukan. Bukan saja demi tegaknya hukum dan wibawa aparat, tapi bisa dijadikan cermin bahwa di negara ini, semua anarki tak bisa didiamkan. Tak ada kompromi dan harus dihentikan agar tak terulang lagi; di sini, atau di lokasi lain lagi. Kepentingan publik harus dilindungi di atas kepentingan politik orang seorang atau sekelompok orang, apa pun risikonya.

Boleh saja massa tak puas atas hasil pemilihan langsung bupati yang dimenangi Haeny Relawati. Bisa saja ratusan ribu konstituen setia kandidat lawan protes keras atas unggulnya mantan bupati yang disokong Partai Golkar itu. Mereka juga bebas menuding bahwa pemilihan di Bumi Ronggolawe--ini nama ahli siasat perang di zaman Majapahit--itu diwarnai kecurangan dan politik uang.

Namun, ketidakpuasan itu mestinya disalurkan melalui prosedur yang sudah diatur perundang-undangan. Mestinya pihak yang menuduh menyerahkan semua bukti dan saksinya ke pengadilan hingga--kalau masih tak puas--ke Mahkamah Agung. Bukannya malah memilih jalan anarkistis: merusak dan membakar semua properti daerah dan aset pribadi Haeny.
Amuk di Tuban mungkin tak dipicu oleh penyebab tunggal. Polisi yang tak rikat mencegah massa yang akan beraksi bisa saja ikut menyumbang kesalahan. Namun, tentu saja kerusuhan itu bukan semata harus dipikul kepolisian. Massa pendukung calon bupati yang tak siap kalah seharusnya juga ikut bertanggung jawab. Partai-partai politik yang mengusung calon yang kalah pun mestinya tak bisa lepas tangan begitu saja. Bukankah partai mestinya bisa ikut meredakan kadernya yang beringas?

Kerusuhan pascapemilihan kepala daerah memang bukan pertama kali ini terjadi. Tahun lalu ada 226 pemilihan kepala daerah, yang umumnya berlangsung aman. Cuma kurang dari lima persennya, atau di belasan daerah, yang dilanda kericuhan. Maret tahun ini, situasi memanas menyeruak di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pascapemilihan bupati setempat.

Kita tentunya patut prihatin jika euforia demokrasi di daerah lantas berbuntut petaka. Mungkin saja ini terjadi lantaran banyak daerah yang belum berpengalaman dalam pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur secara langsung--yang baru saja dimulai tahun lalu. Tapi pilihan langsung presiden dan wakil presiden, hampir dua tahun silam, yang berlangsung aman, mestinya bisa dijadikan contoh bahwa kita siap berpesta rakyat.

Negeri ini sudah terlalu karut-marut oleh berjuta masalah; diimpit krisis bertubi-tubi. Aksi massa dengan kekerasan hanya akan memperunyam keadaan dan kian menyengsarakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 1 Mei 2006

Tuesday, April 25, 2006

Pengadilan Dulu, Hukuman Kemudian

Bekas presiden Soeharto memang sebaiknya segera diperiksa ulang kesehatannya. Apalagi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah meminta tim dokter mengecek kembali kondisi mantan orang nomor satu di Indonesia yang kini hampir berusia 85 tahun itu. Karena sakitnya yang permanen, seperti disimpulkan tim dokter dan para pembelanya dulu, Soeharto tak kunjung diajukan ke pengadilan. Kejaksaan Agung pun tak pernah berhasil membawanya ke persidangan dengan alasan tak layak diperiksa karena kesehatannya.

Kasus Soeharto perlu diangkat lagi karena Ahad lalu dia menghadiri dan menjadi saksi akad nikah cucunya. Berita dan gambar kedatangan Soeharto menghiasi halaman media massa. Publik pun bertanya apakah alasan sakit permanen dan tak layak disidangkan itu memang benar atau cuma dibuat-buat? Yang terlihat adalah seorang tua, yang geraknya walau lambat tapi cukup mandiri, tanpa kursi roda.

Apa masalah sesungguhnya hingga Soeharto selalu batal dibawa ke pengadilan? Apakah sakitnya yang permanen menghalangi, atau penilaian dan kesimpulan mengenai keadaan sakitnya itu yang dijadikan dasar? Banyak tersangka atau terdakwa yang menghindari pemeriksaan, penahanan, atau menunda putusan pengadilan dengan memakai alasan kesehatan. Sjamsul Nursalim, Ginandjar Kartasasmita, juga Abdullah Puteh pernah menggunakan trik ini. Soeharto biasanya juga mendadak sakit lagi begitu ada rencana kasusnya dibuka kembali.

Dalam hukum tak disebutkan bahwa keadaan lemah, tua, atau pikun menyebabkan orang dibebaskan dari kesalahan yang dilakukan sebelumnya. Bersalah-tidaknya seseorang pengadilanlah yang memutuskan. Masalahnya, sejak 2000 kejaksaan tidak pernah berhasil mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan.

Jadi masalahnya adalah bagaimana jaksa bisa memaksa terdakwa datang. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun dulu mengatakan bahwa perkara ini sewaktu-waktu bisa diajukan kembali ke pengadilan bila jaksa yakin bisa menghadirkan terdakwa. Mahkamah Agung, yang menguatkan ketetapan pengadilan negeri itu, selain membebaskan Soeharto dari tahanan kota, menambahkan bahwa Soeharto tetap berstatus sebagai terdakwa dan masih bisa diajukan ke pengadilan bila sembuh.

Bila demikian, sekarang terpulang pada ketegasan Kejaksaan Agung dan pada bagaimana memperlakukan definisi medis tentang sembuh, sakit, cacat permanen, dan sebagainya, serta implikasinya dalam menerapkan hukum. Segera saja kesehatan Soeharto diperiksa lagi. Jangan takut dituduh buang-buang uang, tenaga, dan waktu bila itu demi tegaknya hukum. Dari kepentingan hukum dan keadilan, Soeharto tetap harus diadili. Ini yang semestinya segera dilaksanakan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 25 April 2006

Monday, April 10, 2006

Janji untuk Papua

Respons pemerintah terhadap gejolak di Papua, berupa janji mengucurkan dana khusus Rp 12,7 triliun, memang tidak salah. Bersikap sensitif atas persoalan yang dianggap krusial dan punya dampak besar jelas diperlukan. Tapi bersikap realistis juga banyak gunanya. Anggaran belanja negara tahun ini tekor. Dana besar untuk Papua, yang belum jelas dari mana sumbernya, akan semakin menekan anggaran. Butuh kerja luar biasa keras menutupi bolongnya anggaran negara.

Kerja besar itu berupa "main akrobat" dengan pos-pos anggaran. Satu pos dikurangi demi menambah pos yang lain. Ini tidak gampang. Tahun ini pemerintah mesti mengeluarkan subsidi tambahan Rp 10,2 triliun supaya tarif listrik tak naik, dan Rp 17,2 triliun dana tambahan pendidikan Rp 17,2 triliun sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bulan lalu. Padahal defisit anggaran belanja sekarang Rp 22 triliun.

Menggenjot pemasukan lewat pajak dan ekspor mudah secara teori, tapi sangat berat dijalankan di lapangan. Dunia usaha lesu menghadapi melemahnya daya beli rakyat. Pemasukan menurun, otomatis pajak yang dibayarkan kepada negara juga susut. Untuk menomboki anggaran, ujung-ujungnya pemerintah negeri ini harus melakukannya dengan mencari utang luar negeri. Soal anggaran negara tahun ini mungkin terpecahkan, tapi dengan memindah beban ke masa datang, beban bagi anak-cucu kita.

Kita setuju Papua harus dibantu. Daerah itu sudah cukup lama merana. Gejolak yang terjadi dewasa ini merupakan reaksi atas pelbagai masalah yang terus bertumpuk: mulai soal HIV/AIDS, pembalakan liar, gizi buruk, kelaparan, sampai tingginya tingkat kematian ibu dan bayi. Sudah lama orang Papua merasa eksplorasi kekayaan alamnya hanya sedikit yang dikembalikan pemerintah ke bumi Papua.

Tahun lalu, misalnya, dari perusahaan tambang PT Freeport Indonesia saja, pemerintah menerima lebih dari Rp 10 triliun, tapi anggaran untuk Papua tahun ini hanya sekitar Rp 7,2 triliun. Perlu ditanyakan: apakah angka itu sudah memenuhi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-undang itu mengatur persentase bagi hasil yang cukup besar untuk Papua--80 persen dari pertambangan umum, 70 persen dari minyak bumi, dan 70 persen dari gas alam.

Katakanlah dana besar itu tersedia, soal lain yang penting adalah penyalurannya. Yang akan diguyur dana adalah bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan. Ini sasaran yang tepat. Tapi cara yang pas juga perlu dicari agar dana besar itu tak bercecer--seperti banyak proyek serupa.

Papua perlu perhatian lebih, bukan hanya di kala provinsi itu bergejolak. Justru kebiasaan menggerojok dana besar ke daerah yang bermasalah bukan tradisi yang baik untuk diteruskan. Selain terkesan reaktif, langkah ini menimbulkan preseden buruk dan bisa ditiru oleh daerah lain yang memiliki potensi konflik serupa.

Diterbitkan di Koran Tempo, 11 April 2006

Monday, April 03, 2006

Perang Kartun

Tak ada yang luar biasa sebetulnya dengan pemuatan karikatur di sebuah koran. Opini berbentuk gambar itu merupakan bentuk dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi warga negara terhadap masalah tertentu. Kebebasan yang dijamin oleh hukum negara itu tumbuh di Indonesia dan Australia. Pers di dua negara ini termasuk institusi yang dijamin kebebasannya.

Karikatur yang dimuat koran The Weekend Australian edisi Sabtu lalu, yang menggambarkan sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menunggangi orang Papua, mestinya juga dilihat sebagai bagian dari kebebasan tadi. Ungkapan Presiden Yudhoyono bahwa ia prihatin dengan pemuatan kartun yang dianggapnya "tidak senonoh" itu boleh-boleh saja diucapkan. Komentar ini serupa tapi tak sama dengan yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, yang mengatakan karikatur The Weekend itu, "Berselera rendah, menyerang, dan tidak sopan."

Artinya, tidak perlu sebuah karikatur dianggap mewakili sikap pemerintah. Sikap ini ditunjukkan pihak Australia ketika koran Rakyat Merdeka, yang terbit di Jakarta edisi Senin pekan lalu, menurunkan karikatur yang menggambarkan Perdana Menteri Australia John Howard tengah "menaiki" Menteri Luar Negeri Alexander Downer. Howard menyesalkan, sedangkan Downer mengatakan karikatur itu berselera rendah.

Bahwa secara teknis kartun di Rakyat Merdeka dan The Weekend dianggap buruk, ini menyangkut cita rasa kedua penerbitan itu saja. Para petinggi kedua negara perlu menunjukkan kelasnya untuk tidak bereaksi berlebihan, apalagi sampai membuat hubungan kedua negara semakin membara. Pers dan pemerintah, di Indonesia ataupun Australia, merupakan dua institusi yang berbeda dan tak bisa dicampuradukkan. Jika sebuah karikatur dianggap merendahkan, tidak bisa pemerintah negara tempat media itu terbit dituntut untuk ikut bertanggung jawab.

Maka, sebaiknya sekarang perhatian perlu dipusatkan pada pemulihan hubungan setelah memanas akibat pemberian visa proteksi sementara oleh pemerintah Canberra kepada 42 warga Papua. Perlu ada pertemuan antarpejabat tinggi untuk menjernihkan yang keruh, misalnya bahwa permintaan suaka dipicu oleh pembunuhan massal oleh militer Indonesia di Papua. Sementara itu, Tentara Nasional Indonesia membantah tuduhan ini. Tindakan balasan Jakarta, dengan melayangkan protes dan memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, rasanya sudah cukup memberikan sinyal bahwa Indonesia ingin Australia menjelaskan pemberian visa proteksi itu.

Setelah pertemuan antarpejabat tinggi, Jakarta dan Canberra sebaiknya memfokuskan diri kembali pada masalah yang utama: penanganan para imigran dan pencari suaka. Kedua negara mesti kembali duduk bersama untuk mengevaluasi kebijakan dan mencari titik temu seandainya kelak muncul lagi persoalan yang menyangkut keimigrasian. Ini jelas lebih penting dan bermakna ketimbang membiarkan hubungan dua negara "terbakar" oleh hal-hal yang kurang relevan seperti urusan karikatur itu.

Dimuat di Koran Tempo, 4 April 2006

Monday, March 13, 2006

Batalkan RUU Pornografi

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi sesungguhnya tak perlu direvisi. Lebih baik dibatalkan saja. Pembahasan rancangan undang-undang itu hanya memperlihatkan bahwa para penyusunnya kebingungan sejak awal. Para penyusunnya selalu gagal memberi definisi, identifikasi, dan pemahaman tentang konsep pornografi dan pornoaksi yang pas. Padahal hal-hal ini adalah dasar bagi ketentuan-ketentuan di dalamnya.

Draf yang lama menyebut, "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan/atau lukisan yang mengeksploitasi orang yang berciuman bibir." Dengan kata lain, pornografi didefinisikan begitu luas sampai menjangkau ranah kreativitas (film dan sastra), sementara pornoaksi ternyata menjangkau wilayah pribadi hingga hukuman bisa saja menimpa pasangan yang berciuman!

Definisi itu diprotes orang ramai karena bisa membuat kesenian Indonesia macet. Para pelukis bakal waswas. Sastra Indonesia akan kehilangan puisi karya penyair macam Chairil, Rendra, dan Sutardji. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan dunia film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan Garin Nugroho, akan tiarap ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media. Sepasang suami-istri pun pasti takut berciuman di muka publik karena itu dianggap sebagai pornoaksi. RUU Pornografi dianggap sebagai pintu bagi negara untuk masuk ke wilayah pribadi warganya.

Memang kemudian ada "penyempurnaan", yang dicapai dalam rapat tim perumus sejak Jumat pekan lalu di Puncak, Jawa Barat. Para penyusunnya sepakat mengembalikan makna pornografi ke bahasa aslinya, Latin, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan). Tapi revisi ini pun tetap belum jelas batasannya sehingga masih membingungkan. Katakanlah kelak ada seorang sutradara yang membuat film tentang seorang pelacur. Apakah sang sutradara ini bisa digolongkan membuat karya pornografi?

Kesepakatan Panitia Khusus RUU Pornografi menghapus sanksi pidana dalam kasus pornografi dan pornoaksi, lalu memindahkannya ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kian menunjukkan adanya kebingungan itu. Kita pun semakin sulit mengerti. Bagaimana mungkin undang-undang yang mengatur suatu tindak pidana tak mencantumkan sanksinya?

Bila penyusun RUU Pornografi mau menggunakan undang-undang lain untuk mengatur sanksi pidananya, berarti rancangan itu tak diperlukan lagi. Gunakan saja undang-undang yang sudah ada, yang jelas aturan dan saksi pidananya, yaitu KUHP. Toh, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang menyusun revisi RUU KUHP yang baru. Lebih baik ditunggu saja hasilnya. Seandainya nanti dalam RUU KUHP itu soal pornografi dan pornoaksi dianggap belum sempurna, bisa diusulkan perbaikan. Tak perlu ada undang-undang baru yang khusus membahas soal pornografi dan pornoaksi. Tak ada gunanya membuat dua rancangan undang-undang berbeda untuk mengatur sesuatu yang sama.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Maret 2006

Tuesday, February 28, 2006

Hapus Diskriminasi dengan Undang-Undang

Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang tepat dan penting. Dikatakan tepat karena pada dasarnya setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hak-hak politik lain. Negara, seperti dituliskan dalam konstitusi, menjamin itu tanpa memandang ras atau etnisnya.

Rancangan itu juga penting. Masyarakat kita sangat majemuk, konflik antaretnis dan ras kerap terjadi di negeri ini. Tentu orang belum lupa dengan kerusuhan Mei 1998 yang sangat merugikan etnis Cina. Sejarah kita juga mencatat konflik antara dua agama dan dua etnis di Ambon dan Kalimantan. Sayangnya negara, dalam hal ini aparat keamanannya, belum mampu melindungi warganya dari segala bentuk perlakuan diskriminasi. Penyerbuan dan penganiayaan terhadap pengikut Ahmadiyah adalah contoh terbaru ketidakmampuan itu.

Ketidakmampuan itu perlu dihilangkan. Dalam konflik etnis atau agama di sini, negara tidak boleh takut dan takluk kepada kelompok yang dominan. Perlindungan harus diberikan tanpa memandang warna kulit, rambut, atau ukuran badan. Jaminan keselamatan dan keamanan tidak boleh dilakukan dengan membeda-bedakan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah, geografis, atau hubungan kekerabatan warga negara.

Ketika negara tidak mampu memberikan jaminan keamanan secara penuh, diskriminasi etnis atau agama bisa terjadi di mana dan kapan saja. Itu sebabnya, menurut koran ini, rancangan undang-undang itu perlu memasukkan pasal-pasal yang mengatur sanksi bagi aparat negara yang lalai, membiarkan, atau sengaja tidak melindungi hak warga negara dari perlakuan yang diskriminatif.

Semakin banyak aturan hukum yang melindungi hak-hak warga negara tentu semakin baik, asalkan tidak terjadi tumpang-tindih di dalamnya. Rancangan undang-undang ini pun perlu ada meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Antirasialisme dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Apalagi, sampai sekarang belum ada undang-undang yang secara tegas menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan diskriminasi.

Dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi ini sanksi diatur dengan jelas. Sengaja menulis atau menggambar kata-kata yang melecehkan etnis tertentu, atau berpidato melecehkan etnis tertentu, umpamanya, diancam hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal Rp 100 juta.

Dengan undang-undang yang jelas, tegas, dan memberi sanksi yang keras, kita berharap tindakan diskriminatif perlahan-lahan disingkirkan dari kehidupan kita. Kelompok etnis dan agama yang mendapat perlakuan diskriminatif saat mengurus hak-hak sipilnya dapat menuntut petugas atau pejabat yang menyusahkannya. Semoga kelak tak ada lagi penganut keyakinan tertentu, umpamanya Ahmadiyah, yang terpaksa meminta suaka ke luar negeri karena merasa hidupnya terancam di negeri ini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 28 Februari 2006

Wednesday, February 08, 2006

Terbongkarnya Operasi Intelijen Polisi

Operasi intelijen sebenarnya lumrah dilakukan di mana-mana. Tapi, ketika terbongkar, operasi itu berubah menjadi sesuatu yang ilegal dan salah. Itulah yang terjadi dengan terbongkarnya surat perintah Kepolisian Daerah Metro Jaya kepada anak buahnya untuk menyelidiki rencana dua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yang membentuk tim investigasi untuk melacak dugaan penyelewengan impor beras.

Praktek memata-matai, mengumpulkan informasi, dan melaporkan suatu kegiatan kepada si pemberi perintah terkadang diperlukan sebagai tindakan preventif, misalnya mencegah potensi penyelewengan impor beras. Kegiatan ini, selain harus dirahasiakan, mesti ditujukan hanya mencari potongan-potongan informasi sekitar subyek, dan benar-benar dilakukan untuk alasan keamanan. Salah dan melawan hukum apabila kegiatan spionase dilakukan untuk tujuan politis dan melayani kepentingan orang atau kelompok yang berkuasa.

Dalam kasus ini, tim investigasi Fraksi PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera berencana menyelidiki dugaan penyelewengan impor beras setelah usaha politik mengajukan hak angket kepada pemerintah gagal di parlemen. Proses menyelidiki impor beras sesungguhnya merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR yang dilindungi undang-undang. Ini proses politik yang biasa-biasa saja.

Membentuk tim investigasi bukan tindakan yang membahayakan negara. Kegiatan ini tidak tergolong rencana makar. Intel polisi seharusnya bekerja diam-diam mencari tahu apa benar ada penyelewengan impor beras, seperti halnya dua fraksi itu. Boleh juga menelisik apa benar ada anggota Dewan yang terlibat impor beras, misalnya. Tapi intel polisi tak semestinya mengintai apa maksud politik di balik pembentukan tim investigasi impor beras itu.

Setelah operasi terbongkar, anggota Dewan yang sedang diselidiki pasti merasa terintimidasi, tak nyaman. Wajar bila Dewan memberikan reaksi balik. Besar kemungkinan investigasi yang hendak dilakukan pun jadi terganggu. Ini tentu kontraproduktif. Upaya DPR mengungkap kebenaran pun bisa terhambat.

Maka sangat beralasan apabila Presiden dan Kepolisian RI meminta maaf kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pemeriksaan oleh jajaran internal polisi terhadap Komisaris Besar Handoko, Direktur Intelijen Keamanan Polda Metro Jaya, menunjukkan penyesalan atas terbongkarnya operasi intelijen yang agak memalukan ini. Toh, sangat masuk akal apabila Dewan meminta kejelasan lebih jauh tentang apa yang terjadi. Penting sekali untuk mengetahui siapa yang punya inisiatif melancarkan operasi ini. Adakah dia diorder pihak tertentu atau sekadar cari muka kepada atasan. Perlu juga dipastikan ada sanksi yang memadai untuk mereka yang bersalah.

Kejelasan kasus ini sangat penting bagi Dewan. Apalagi pasti sulit meminta polisi memastikan kejadian serupa tak terulang di masa depan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 9 Februari 2006

Wednesday, February 01, 2006

Ujian untuk Calon Panglima TNI

Baru kali inilah Dewan Perwakilan Rakyat melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI secara terbuka. Sebelumnya, Panglima TNI ditunjuk dan diangkat langsung oleh presiden tanpa tes sejenis. Tentu saja ini proses yang maju dan baik, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Apalagi proses itu dilakukan secara terbuka. Masyarakat bisa melihat langsung bagaimana para wakil rakyat menguji dan bagaimana pula sang calon menjawab cecaran pertanyaan. Rakyat tahu persis profil calon yang akhirnya akan disetujui wakilnya di parlemen.

Tidak ada yang istimewa dari proses itu. Tes untuk calon Panglima TNI tidak lebih penting, umpamanya, dari uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, duta besar, atau direktur jenderal sebuah departemen. Kebetulan saja calon yang diajukan oleh Presiden hanya satu, yakni Marsekal Djoko Suyanto, yang juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Bukan masalah pula meskipun Djoko tak berasal dari lingkungan Angkatan Darat seperti kebiasaan selama ini. Tak peduli Djoko masuk Akademi TNI tahun berapa, bahkan sekalipun ia satu angkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang penting, ia memenuhi syarat dan kompeten menduduki posisi panglima.

Proses yang terjadi di Senayan pun tidak ada yang perlu dipersoalkan. Wakil rakyat memang berhak menguji seorang calon yang akan menduduki jabatan tertentu. Tidak hanya posisi Panglima TNI, tapi juga pejabat setingkat dengannya. Di negara seperti Amerika Serikat, misalnya, parlemen melakukan tes yang sama pada calon pejabat tingkat tertentu, seperti hakim agung, jaksa agung, atau menteri. Justru rakyat bisa tahu apakah wakilnya telah menguji dengan benar. Rakyat juga dapat melihat wakilnya salah pilih atau tidak. Ini bisa dilihat dari kualitas pertanyaan yang diajukan. Misalnya, apakah anggota DPR sudah menguji kepribadian, integritas, moralitas, visi, dan misi sang calon.

Parlemen perlu memastikan bahwa Djoko tak akan membawa TNI berpolitik praktis--yang berlawanan dengan semangat reformasi. DPR harus mengkonfirmasikan bahwa calon pilihan Presiden benar-benar tak punya kendala yang secara substansial menghalangi langkahnya menuju kursi Panglima TNI. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis, misalnya kemampuan Djoko memimpin komando atau pengalamannya memimpin operasi gabungan, biarlah menjadi wewenang yang mengusulkannya. Presiden tentu punya kriteria dan pertimbangan sendiri.

Tes di depan parlemen, meski harus dilakukan, bukanlah segala-galanya. Bukan pula menjadi satu-satunya alat kontrol. Toh, setelah Panglima TNI dilantik Presiden nanti, DPR masih bisa melakukan kontrol melalui mekanisme yang telah diatur undang-undang. Bila nanti Panglima TNI dianggap kurang cakap memimpin pasukannya, melakukan penyelewengan, atau menyalahgunakan kekuasaan, DPR tetap dapat memanggil Presiden yang telah mengusulkannya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang tinggal kita tunggu apakah sang calon benar-benar mampu menjadi Panglima TNI.

Diterbitkan di Koran Tempo, 2 Februari 2006

Monday, January 23, 2006

Kontroversi Playboy Indonesia

Majalah Playboy boleh-boleh saja berencana terbit di Indonesia. Tak ada satu pun aturan yang melarang sebuah perusahaan menerbitkan media massa. Soal isi, penerbitnya berjanji tak akan memasang gambar-gambar perempuan telanjang seperti majalah induknya yang terbit di Amerika Serikat. Namun, bukan tak mungkin yang diterbitkan pada Maret mendatang foto-foto perempuan dengan pakaian minim. Bagaimanapun, citra Playboy sebagai majalah porno sudah terpatri di benak orang.

Seandainya nanti majalah tersebut ternyata berisi hal-hal yang berbau pornografi, siapa pun bisa memerkarakannya. Polisi juga sah-sah saja jika akan menindaknya. Menindak media pornografi tak perlu menunggu keluarnya undang-undang pornografi dan pornoaksi yang masih dibahas di DPR. Undang-undang ini hanya memperkuat aturan hukum yang sudah ada. Hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pers. Aturan tersebut tentu saja dibuat berdasarkan ukuran-ukuran tertentu sesuai dengan adat ketimuran.

Petugas yang menindak tak perlu khawatir melanggar kebebasan pers. Kalangan pers pun tak perlu risau kebebasannya dicederai. Menjerat media porno dengan undang-undang bukan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan pers yang bebas. Kebebasan pers tidak ada hubungannya dengan pornografi. Keliru bila menganggap tabloid, majalah, atau tayangan televisi yang memamerkan aurat dan belakangan ini marak karena adanya perlindungan kebebasan pers. Media pornografi itu justru "penumpang gelap" dalam gerbong kebebasan pers dan perlu ditindak.

Para hamba hukum juga jangan takut dianggap akan membungkam kebebasan berekspresi. Pameran pornografi atau pornoaksi bukan kebebasan ekspresi. Bagaimanapun, yang namanya kebebasan berekspresi itu dibatasi oleh etika. Etika lahir dari budaya. Tidak ada satu pun budaya Timur yang mengesahkan pameran aurat, baik perempuan maupun laki-laki, ke depan publik. Soal ini sudah tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia yang melarang penyiaran dan pemberitaan hal-hal yang bersifat cabul.

Sekarang ini biarkan saja masyarakat menyuarakan aspirasinya, baik dengan cara protes maupun justru mendukung rencana penerbitan Playboy sepanjang tidak anarkistis. Ini cara yang sehat dalam sistem demokrasi. Cara ini boleh diteruskan seandainya nanti Playboy jadi terbit dan memamerkan pornografi. Hanya, jangan sampai ada yang memaksakan kehendak, misalnya, dengan mendatangi penerbitnya dan melakukan perusakan. Segala hal yang menyangkut masalah intelektual tak boleh diselesaikan dengan cara kekerasan. Yang tak setuju lebih baik menyalurkan protesnya secara hukum, mengadukannya ke polisi. Biarlah polisi dan pengadilan yang akan menentukan nasib Playboy selanjutnya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 24 Januari 2006

Wednesday, January 18, 2006

Penangkapan David Nusa Widjaya

Sekali-sekali bolehlah kita memberi salut kepada polisi yang berhasil meringkus David Nusa Widjaya, koruptor yang buron ke luar negeri. Inilah untuk pertama kalinya seorang buron kakap, terpidana kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara lebih dari Rp 1,2 triliun, ditangkap. Diharapkan sejumlah nama pengemplang kredit Bank Indonesia yang sudah divonis bersalah tapi menjadi buron bisa segera ditangkap, setidak-tidaknya diketahui tempat persembunyiannya.

David divonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat satu tahun penjara pada 2001. Setelah dia sempat ditahan Kejaksaan Agung selama sebulan, hakim menangguhkan penahanannya. Pada Mei 2002, David diketahui lenyap dari Jakarta. Dia dinyatakan buron sebulan kemudian. Tim Pemburu Koruptor pimpinan Basrief Arief yang dibentuk pada Februari 2005, dibantu Biro Penyelidik Federal AS, harus melacaknya selama berbulan-bulan sebelum mencium jejak David di Amerika Serikat.

Gebrakan Tim Pemburu Koruptor ini seakan melempar sinyal kepada mereka yang masih jadi buron: ketimbang terus berlari-lari dengan rasa cemas di luar negeri, lebih baik menyerahkan diri. Seperti yang dikatakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, daripada hidup di luar negeri tidak tenang dan banyak masalah hukum, pulanglah dan menyerahlah. Tim Pemburu Koruptor juga sudah mencanangkan akan menangkap 13 koruptor kakap yang diketahui sekarang berada di luar negeri.

Usaha Tim Pemburu Koruptor perlu didukung dengan usaha diplomatik untuk memperluas kerja sama dengan negara yang diduga menjadi tempat bersembunyi para buron itu. Perjanjian ekstradisi dengan Singapura, misalnya, perlu dipercepat realisasinya. Selama ini sudah ada beberapa kali pembicaraan dengan pihak Singapura. Akan sangat membantu apabila perjanjian ekstradisi itu bisa segera dirampungkan. Dengan pemerintah yang lebih serius memberantas korupsi, tentu pihak Singapura lebih "bersemangat" menyelesaikan perjanjian ekstradisi itu.

Bantuan juga akan datang dari berbagai negara jika pemerintah Indonesia tetap konsisten dengan usaha pemberantasan korupsi ini. Selain dari pemerintah Amerika Serikat, bantuan yang sama diharapkan datang dari negara yang ditengarai menjadi "rumah" yang nyaman bagi para koruptor.

Yang tak kalah penting adalah membenahi aparat penegak hukum, terutama mereka yang punya kuasa menahan atau membebaskan para buron ini. Kita tentu belum lupa bagaimana Eddy Tansil diloloskan oleh para penjaga penjara dan lari entah ke mana sampai hari ini. Ada beberapa nama yang juga diloloskan dengan berbagai cara. Para penjaga serta pejabat yang bertanggung jawab semestinya juga diusut dan diperkarakan.

Akan sangat konyol bila Tim Pemburu Koruptor melanglang buana menangkapi mereka yang bersalah, tapi di sisi lain ada aparat yang makan suap dan diam-diam memberikan jalan agar mereka yang bersalah lari ke luar negeri. Mereka yang meloloskan itu juga harus dihukum berat.

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Januari 2006

Monday, January 02, 2006

Surat Sakti' Balap Mobil A1

Mendukung kegiatan olahraga bukan gagasan yang tercela. Menjadi tercela dan tak terpuji apabila dukungan dilakukan dengan cara tak patut, bahkan terkesan memanfaatkan jabatan. Surat Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi kepada para pengusaha tambang untuk ikut membantu kegiatan balap mobil Grand Prix A1 di Sirkuit Sentul, Jawa Barat, pada 13-15 Januari, bisa dikatakan tak patut karena mirip katebelece alias "surat sakti" di zaman Orde Baru dulu.

Kendati disebutkan bersifat sukarela, tentu ada rasa tertekan bagi yang tak menyumbang lantaran bisnisnya berhubungan dengan pejabat direktorat yang mengimbau. Konflik kepentingan jelas sekali terjadi dalam kasus ini. Apalagi chairman tim A1 Indonesia adalah Donny Yusgiantoro, yang tak lain adalah adik kandung menteri di departemen yang membawahi direktorat tadi.

Jelas ini bukan cara yang benar mendukung lomba otomotif A1 yang tentu prestisius--karena hendak menyaingi kompetisi balap F1 yang ternama itu. Benar ajang A1 ini butuh dana besar dalam waktu singkat. Meski demikian, sungguh tak elok bila penyelenggara menggunakan cara apa saja agar lomba bisa berlangsung. Banyak cara yang lebih elegan ketimbang meminta-minta sumbangan pengusaha pertambangan.

Mungkin agak terlambat, tapi kalau saja panitia bekerja dalam jangka panjang dan profesional, ajang berkelas dunia ini justru bisa mendatangkan untung. Lomba balap mobil Grand Prix F1 sudah terbukti menjadi atraksi wisata yang bisa dijual dan menguntungkan. Memang butuh waktu dan kerja keras memasarkannya, tapi itu lebih terpuji dari cara yang sekarang ditempuh.

Maka alasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa dukungan departemennya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/1985 tentang Olahraga, terkesan mengada-ada, seakan berkelit dari kenyataan bahwa anggota keluarganya tersangkut dalam proyek balap ini.

Kalau mau membantu olahraga, mengapa tidak membantu cabang bulu tangkis yang prestasinya sudah mencapai kelas dunia? Lalu kenapa juga "surat sakti" baru sekarang keluar, ketika di Sentul akan berlangsung balap A1? Seandainya chairman tim balap A1 Indonesia bernama Badu Subadu, masihkah Departemen Energi akan mengeluarkan surat yang sama?

Masih banyak pertanyaan sekitar kegiatan pengumpulan dana gaya Yusgiantoro ini. Sebaiknya yang bersangkutan memberikan penjelasan yang memadai kepada publik atau atasannya. Tentu tak diharapkan tercipta kesan bahwa praktek tercela yang banyak terjadi di zaman Orde Baru itu kembali berulang dan dibiarkan begitu saja. Di zaman antikorupsi ini sebaiknya praktek buruk begini dibuang jauh-jauh.

Kalau dana besar untuk A1 tak terkumpul, tak perlu merasa malu untuk membatalkan ajang di Sentul yang digagas seorang pengusaha Arab Saudi itu. Gengsi? Kita masih punya sederet persoalan yang membutuhkan dana besar ketimbang memikirkan balap mobil yang mahal itu.

Diterbitkan di Koran Tempo, 3 Januari 2006