Tuesday, October 31, 2006

Berbenah Memikat Investor

Kenduri besar pemerintah berjuluk Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition 2006 yang dimulai hari ini tentu saja penting artinya bagi masa depan bangsa. Forum ini bisa dijadikan ajang promosi guna memikat para investor swasta ataupun asing untuk berpartisipasi dalam proyek infrastruktur di pelbagai sektor.

Tampaknya pemerintah serius berupaya menciptakan iklim usaha dan investasi yang sehat dan ramah bagi investor. Apalagi dalam salah satu sesi pameran, para menteri terkait dirancang akan "buka praktek". Mereka masuk ke dalam stan-stan pameran untuk berinteraksi sekaligus menjawab pelbagai pertanyaan calon pemodal gede itu.

Ketersediaan infrastruktur jelas penting. Ibarat dinamo, ia diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian. Apalagi negeri ini masih terbelit masalah kemiskinan dan tingginya angka pengangguran. Perluasan akses jaringan listrik, misalnya, akan mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi baru, sehingga kemiskinan bisa ditekan.

Apalagi ketika kocek pemerintah sedang kempis, sehingga modal swasta dan terutama asing perlu diundang, diiming-imingi, serta dibujuk-bujuk, untuk mendanai pembangunan jaringan infrastruktur dan menghidupkan kembali proyek-proyek yang mati suri atau malah sama sekali belum berjalan. Proyek-proyek ini juga akan menyerap tenaga kerja, sehingga bisa mengempiskan angka pengangguran.

Masalahnya, sejauh ini Indonesia bukanlah surga bagi investor asing. Terbukti pada Infrastructure Summit 2005, dagangan pemerintah itu kurang laku. Dari 91 proyek yang ditawarkan dengan nilai investasi US$ 22 miliar, hanya 24 proyek yang terlaksana dengan nilai US$ 6 miliar. Hasil ini jelas jauh dari harapan.

Penyebabnya jelas. Investor merasa tak nyaman dan tak aman berinvestasi. Biang keroknya, antara lain, korupsi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi serta inkonsistensi dan centang-perenangnya aturan main yang membuat tiadanya kepastian hukum. Belum lagi panjangnya jalur birokrasi perizinan. Kombinasi yang buruk ini membuat Indonesia sebagai lahan investasi dengan risiko tinggi.

Akibatnya, pemerintah terpaksa memberikan jaminan atau garansi sebagai syarat agar investor bersedia menanam modal. Ini bukan cara sehat. Kalau terjadi sengketa bisnis, yang ikut menanggung rakyat juga. Kasus Karaha Bodas adalah contoh bagus tentang bagaimana sebuah risiko bisnis yang dijamin pemerintah justru menjadi beban dan akhirnya membuat rakyat terpaksa ikut memikul.

Belajar dari kasus itu, pemerintah sebaiknya segera menarik campur tangannya yang terlalu jauh dari urusan dan kepentingan bisnis swasta. Biarkan mereka bergerak dengan naluri dan mekanismenya sendiri. Investor itu ibarat semut yang secara alamiah selalu akan mengerubungi gula. Kita hanya perlu memastikan agar semut-semut itu tak diganggu dan jalan menuju gula tetap terbuka lebar.

Pemerintah hanya perlu membuat iklim usaha yang kondusif dengan mengenyahkan biang kerok tadi. Korupsi pun mesti dibasmi di segala lini.

Diterbitkan di Koran Tempo, 1 November 2006

Tuesday, October 10, 2006

Larangan Menerima Parsel

Jika ingin bebas dari belenggu praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, para penyelenggara negara memang harus dilarang menerima hadiah, termasuk parsel Lebaran. Hadiah gampang tergelincir menjadi sogok atau suap. Pemberian parsel, misalnya, dapat mempengaruhi independensi hakim dalam memutuskan perkara. Hadiah pun berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Karena itu, kita layak mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengeluarkan larangan penerimaan gratifikasi dan hadiah Lebaran (parsel) bagi para penyelenggara negara. Larangan seperti ini bahkan sebaiknya berlaku seterusnya, tidak hanya bertepatan dengan Lebaran. Perang melawan korupsi harus dilakukan terus-menerus.

Sebaliknya, kita harus mengingatkan Mahkamah Agung yang hampir merampungkan pembuatan Pedoman Perilaku Hakim. Sebab, pedoman itu, antara lain, memperbolehkan hakim menerima hadiah yang tidak berhubungan dengan perkara yang sedang ditangani atau menerima hadiah dari keluarga.

Dalam keadaan normal, acuan semacam itu tak menjadi masalah. Namun, keadaan sekarang belum normal. Praktek korupsi dan suap sangat tinggi. Pedoman yang longgar seperti itu berpotensi disalahgunakan. Lebih baik dibuat pedoman yang ketat, lugas, dan tegas. Apalagi pedoman itu untuk hakim yang berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. Posisi hakim sangat menentukan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bagaimana mungkin kita membersihkan sesuatu dengan sapu yang kotor? Jangan takut dituding tak manusiawi, antisosial, atau tidak normal lantaran membuat pedoman yang sangat ketat dan keras. Kita tengah berperang melawan budaya korupsi yang begitu akut dan menggurita. Untuk memerangi praktek jahat dengan pelbagai macam modus canggih semacam ini, memang perlu upaya yang drastis dan di luar ukuran normal. Peluang korupsi sekecil apa pun harus ditutup.

Selain itu, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan budaya saling membalas pemberian. Pedoman yang memperbolehkan hakim menerima hadiah hanya akan menjadi acuan yang berbahaya dan tak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Jika ketentuan itu tetap disahkan, dikhawatirkan Mahkamah Agung akan kesulitan menjalankan pelaksanaannya. Apalagi jumlah hakim di Indonesia mencapai ribuan dan tersebar di penjuru daerah. Siapa yang bisa mengawasi dan menjamin pemberian terhadap hakim-hakim itu tidak berhubungan dengan profesinya?

Daripada pemberian hadiah itu nantinya menimbulkan fitnah, lebih baik tak usah diterima sama sekali. Toh, tak ada salahnya seorang hakim menolak pemberian hadiah. Paling banter dia hanya akan dicap sebagai orang yang sombong. Tapi tak ada ruginya, bukan? Yang penting, dengan menolak pemberian itu, hakim tak melanggar sumpah jabatan, undang-undang, dan pedoman tingkah laku. Seorang hakim tak akan jatuh miskin hanya gara-gara selalu menolak pemberian parsel.

Tak perlu dipermasalahkan pula seandainya larangan pemberian hadiah dan parsel itu akan membuat omzet para pedagang parsel turun atau mereka kehilangan peluang mendapatkan keuntungan besar. Untung dan rugi adalah dua sisi mata uang dalam bisnis, sesuatu yang lumrah. Yang dilarang bukan penjualan parselnya, melainkan pemberian hadiah kepada penyelenggara negara.

Diterbitkan di Koran Tempo, 10 Oktober 2006