Tuesday, October 10, 2006

Larangan Menerima Parsel

Jika ingin bebas dari belenggu praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, para penyelenggara negara memang harus dilarang menerima hadiah, termasuk parsel Lebaran. Hadiah gampang tergelincir menjadi sogok atau suap. Pemberian parsel, misalnya, dapat mempengaruhi independensi hakim dalam memutuskan perkara. Hadiah pun berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Karena itu, kita layak mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengeluarkan larangan penerimaan gratifikasi dan hadiah Lebaran (parsel) bagi para penyelenggara negara. Larangan seperti ini bahkan sebaiknya berlaku seterusnya, tidak hanya bertepatan dengan Lebaran. Perang melawan korupsi harus dilakukan terus-menerus.

Sebaliknya, kita harus mengingatkan Mahkamah Agung yang hampir merampungkan pembuatan Pedoman Perilaku Hakim. Sebab, pedoman itu, antara lain, memperbolehkan hakim menerima hadiah yang tidak berhubungan dengan perkara yang sedang ditangani atau menerima hadiah dari keluarga.

Dalam keadaan normal, acuan semacam itu tak menjadi masalah. Namun, keadaan sekarang belum normal. Praktek korupsi dan suap sangat tinggi. Pedoman yang longgar seperti itu berpotensi disalahgunakan. Lebih baik dibuat pedoman yang ketat, lugas, dan tegas. Apalagi pedoman itu untuk hakim yang berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. Posisi hakim sangat menentukan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bagaimana mungkin kita membersihkan sesuatu dengan sapu yang kotor? Jangan takut dituding tak manusiawi, antisosial, atau tidak normal lantaran membuat pedoman yang sangat ketat dan keras. Kita tengah berperang melawan budaya korupsi yang begitu akut dan menggurita. Untuk memerangi praktek jahat dengan pelbagai macam modus canggih semacam ini, memang perlu upaya yang drastis dan di luar ukuran normal. Peluang korupsi sekecil apa pun harus ditutup.

Selain itu, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan budaya saling membalas pemberian. Pedoman yang memperbolehkan hakim menerima hadiah hanya akan menjadi acuan yang berbahaya dan tak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Jika ketentuan itu tetap disahkan, dikhawatirkan Mahkamah Agung akan kesulitan menjalankan pelaksanaannya. Apalagi jumlah hakim di Indonesia mencapai ribuan dan tersebar di penjuru daerah. Siapa yang bisa mengawasi dan menjamin pemberian terhadap hakim-hakim itu tidak berhubungan dengan profesinya?

Daripada pemberian hadiah itu nantinya menimbulkan fitnah, lebih baik tak usah diterima sama sekali. Toh, tak ada salahnya seorang hakim menolak pemberian hadiah. Paling banter dia hanya akan dicap sebagai orang yang sombong. Tapi tak ada ruginya, bukan? Yang penting, dengan menolak pemberian itu, hakim tak melanggar sumpah jabatan, undang-undang, dan pedoman tingkah laku. Seorang hakim tak akan jatuh miskin hanya gara-gara selalu menolak pemberian parsel.

Tak perlu dipermasalahkan pula seandainya larangan pemberian hadiah dan parsel itu akan membuat omzet para pedagang parsel turun atau mereka kehilangan peluang mendapatkan keuntungan besar. Untung dan rugi adalah dua sisi mata uang dalam bisnis, sesuatu yang lumrah. Yang dilarang bukan penjualan parselnya, melainkan pemberian hadiah kepada penyelenggara negara.

Diterbitkan di Koran Tempo, 10 Oktober 2006

No comments: