Monday, March 13, 2006

Batalkan RUU Pornografi

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi sesungguhnya tak perlu direvisi. Lebih baik dibatalkan saja. Pembahasan rancangan undang-undang itu hanya memperlihatkan bahwa para penyusunnya kebingungan sejak awal. Para penyusunnya selalu gagal memberi definisi, identifikasi, dan pemahaman tentang konsep pornografi dan pornoaksi yang pas. Padahal hal-hal ini adalah dasar bagi ketentuan-ketentuan di dalamnya.

Draf yang lama menyebut, "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan/atau lukisan yang mengeksploitasi orang yang berciuman bibir." Dengan kata lain, pornografi didefinisikan begitu luas sampai menjangkau ranah kreativitas (film dan sastra), sementara pornoaksi ternyata menjangkau wilayah pribadi hingga hukuman bisa saja menimpa pasangan yang berciuman!

Definisi itu diprotes orang ramai karena bisa membuat kesenian Indonesia macet. Para pelukis bakal waswas. Sastra Indonesia akan kehilangan puisi karya penyair macam Chairil, Rendra, dan Sutardji. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan dunia film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan Garin Nugroho, akan tiarap ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media. Sepasang suami-istri pun pasti takut berciuman di muka publik karena itu dianggap sebagai pornoaksi. RUU Pornografi dianggap sebagai pintu bagi negara untuk masuk ke wilayah pribadi warganya.

Memang kemudian ada "penyempurnaan", yang dicapai dalam rapat tim perumus sejak Jumat pekan lalu di Puncak, Jawa Barat. Para penyusunnya sepakat mengembalikan makna pornografi ke bahasa aslinya, Latin, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan). Tapi revisi ini pun tetap belum jelas batasannya sehingga masih membingungkan. Katakanlah kelak ada seorang sutradara yang membuat film tentang seorang pelacur. Apakah sang sutradara ini bisa digolongkan membuat karya pornografi?

Kesepakatan Panitia Khusus RUU Pornografi menghapus sanksi pidana dalam kasus pornografi dan pornoaksi, lalu memindahkannya ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kian menunjukkan adanya kebingungan itu. Kita pun semakin sulit mengerti. Bagaimana mungkin undang-undang yang mengatur suatu tindak pidana tak mencantumkan sanksinya?

Bila penyusun RUU Pornografi mau menggunakan undang-undang lain untuk mengatur sanksi pidananya, berarti rancangan itu tak diperlukan lagi. Gunakan saja undang-undang yang sudah ada, yang jelas aturan dan saksi pidananya, yaitu KUHP. Toh, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang menyusun revisi RUU KUHP yang baru. Lebih baik ditunggu saja hasilnya. Seandainya nanti dalam RUU KUHP itu soal pornografi dan pornoaksi dianggap belum sempurna, bisa diusulkan perbaikan. Tak perlu ada undang-undang baru yang khusus membahas soal pornografi dan pornoaksi. Tak ada gunanya membuat dua rancangan undang-undang berbeda untuk mengatur sesuatu yang sama.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Maret 2006