Friday, April 20, 2007

Rombaklah Kabinet demi Kinerja

Ada benarnya juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rencana perombakan (reshuffle) kabinet sambil makan durian di Cihideung, Bogor, Jawa Barat, Ahad lalu. Ada pelajaran yang bisa dipetik dari sana. Seperti memilih durian, dalam merombak kabinet, Presiden mesti membuang yang busuk dan mengambil yang segar serta tebal dagingnya. "Ilmu durian" ini perlu diterapkan agar kinerja Kabinet Indonesia Bersatu membaik dan mampu mewujudkan harapan masyarakat.

Kita tahu tak semua menteri bekerja optimal. Sebagian di antara mereka malah bermasalah, misalnya ada menteri yang menyalahgunakan rekening departemen untuk kepentingan perorangan dan melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Yang seperti ini memang layak diberhentikan. Begitu pula menteri yang memiliki konflik kepentingan dengan kasus lumpur Lapindo, perlu dipertimbangkan untuk diganti.

Nah, mencari calon pengganti hendaknya seperti memilih durian. Jangan terlalu terpaku pada satu pohon. Perombakan jangan semata demi memenuhi tuntutan Partai Golkar yang merasa jatahnya masih kurang. Perombakan kabinet mesti lebih didasarkan atas perbaiki kinerja kabinet yang selama ini melempem.

Secara keseluruhan, kabinet ini belum mampu melaksanakan tugas-tugas utama, seperti memberantas korupsi, memerangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, serta memperbaiki layanan pendidikan dan kesehatan. Tiada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran yang dirasakan masyarakat selama pasangan Yudhoyono dan Jusuf Kalla memerintah.

Buat memacu kinerja kabinet, Presiden harus berani mencopot menteri-menteri yang kurang mampu dan menggantikan dengan figur yang bisa melaksanakan tugas-tugas utama itu. Langkah ini perlu dilakukan dengan cepat dan cermat jika pasangan Yudhoyono-Kalla ingin tampil lagi pada periode mendatang. Seperti yang pernah dikatakan Jusuf Kalla sendiri, apa yang "telah" (bukan yang "akan") dilakukan oleh pemerintah ini merupakan bahan kampanye yang penting untuk pemilihan presiden dan wakil presiden 2009.

Sikap tegas mungkin tidak gampang diambil karena Presiden mesti mempertimbangkan kepentingan partai-partai pendukungnya. Jika tidak, Yudhoyono bisa digoyang oleh parlemen. Hal ini pernah dialami oleh Presiden Abdurrahman Wahid enam tahun lalu dan berakibat ia jatuh dari kekuasaan. Tapi pelajaran ini jangan sampai membuat Yudhoyono terlalu didikte oleh partai-partai.

Kepentingan partai-partai bukannya tidak bisa dikompromikan dengan keperluan memperbaiki kinerja kabinet. Di sinilah kepemimpinan Yudhoyono-Kalla diuji. Presiden boleh-boleh saja tetap mengambil calon dari partai untuk merombak kabinet. Tapi pilihlah yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan di antara calon-calon menteri yang disodorkan partai itu.

Tuesday, April 03, 2007

Kasus Rokhmin dan Dana Nonbujeter

Apa yang dilakukan mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri sekali lagi menggambarkan bahwa konsep dana nonbujeter jelas-jelas salah dan merugikan publik. Rokhmin mengaku telah mengumpulkan dana nonbujeter melalui departemennya semasa menjadi menteri. Dana itu lalu dipakai untuk proyek-proyek di departemennya dan diberikan kepada sejumlah partai politik, termasuk pengurusnya.

Ia mengaku terpaksa menggunakan dana tersebut demi menyiasati sistem keuangan negara yang tak mengizinkan adanya pengeluaran tertentu, misalnya biaya untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat penyusunan undang-undang. Menurut dia, pada prakteknya pembuatan undang-undang itu mesti pakai duit (baca: sogokan).

Tentu saja Rokhmin sekadar berdalih, mencari pembenaran atas perbuatannya yang salah dan melanggar aturan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jelas-jelas menyebutkan semua penerimaan dan pengeluaran negara harus dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Artinya, tidak boleh lagi ada dana di luar anggaran. Pembuatan undang-undang pun sudah ada aturan dan anggarannya sendiri.
Undang-Undang Keuangan Negara itu dibuat dengan semangat transparansi, tertib administrasi, efisiensi, ekonomisasi, dan tanggung jawab. Konsep dana nonbujeter, sebaliknya, bertentangan dengan semangat itu. Para pengelola organisasi yang paling sederhana pun tahu dana nonbujeter adalah wilayah remang-remang.

Seperti penggunaannya, dana nonbujeter umumnya diperoleh dari sumber yang gelap. Dalam kasus, katakanlah Nalo, Porkas, dan SDSB, dana diperoleh melalui judi yang menyengsarakan rakyat. Dana nonbujeter lain diperoleh melalui kutipan nonpajak, seperti dana reboisasi, yang dikutip dari pemegang hak pengusahaan hutan. Di lingkungan tertentu, seperti di kalangan tentara dan polisi, orang menciptakan istilah "dana taktis" atau "dana operasi" sendiri, yang bersifat nonbujeter pula. Misalnya, dengan memeras pengusaha, mengutip "uang damai" dari sopir-sopir di jalan, bahkan berkomplot dengan penjahat.

Dana nonbujeter terbukti hanya merugikan publik secara berlapis-lapis. Pertama, publik harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi yang dipicu oleh kutipan, suap, sogokan, setoran, dan pemalakan. Kedua, uang yang terkumpul cenderung dikorup. Ketiga, jikapun tidak masuk kantong pribadi, dana nonbujeter bisa digunakan untuk "operasi politik" melanggengkan kekuasaan, seperti di era Golkar sebelum menjadi partai atau bahkan membiayai "operasi militer" yang menindas rakyat. Terakhir, yang paling jahat, konsep dana nonbujeter telah menyembunyikan korupsi secara sempurna dengan dalih mulia. Dulu, misalnya, dalihnya yang dipakai itu seperti membantu korban bencana alam, mengembangkan usaha kecil, atau "menyelesaikan masalah Aceh".

Karena semua itulah Rokhmin dan semua yang ikut menikmati dana dari dia memang harus dihukum. ***