Tuesday, April 03, 2007

Kasus Rokhmin dan Dana Nonbujeter

Apa yang dilakukan mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri sekali lagi menggambarkan bahwa konsep dana nonbujeter jelas-jelas salah dan merugikan publik. Rokhmin mengaku telah mengumpulkan dana nonbujeter melalui departemennya semasa menjadi menteri. Dana itu lalu dipakai untuk proyek-proyek di departemennya dan diberikan kepada sejumlah partai politik, termasuk pengurusnya.

Ia mengaku terpaksa menggunakan dana tersebut demi menyiasati sistem keuangan negara yang tak mengizinkan adanya pengeluaran tertentu, misalnya biaya untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat penyusunan undang-undang. Menurut dia, pada prakteknya pembuatan undang-undang itu mesti pakai duit (baca: sogokan).

Tentu saja Rokhmin sekadar berdalih, mencari pembenaran atas perbuatannya yang salah dan melanggar aturan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jelas-jelas menyebutkan semua penerimaan dan pengeluaran negara harus dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Artinya, tidak boleh lagi ada dana di luar anggaran. Pembuatan undang-undang pun sudah ada aturan dan anggarannya sendiri.
Undang-Undang Keuangan Negara itu dibuat dengan semangat transparansi, tertib administrasi, efisiensi, ekonomisasi, dan tanggung jawab. Konsep dana nonbujeter, sebaliknya, bertentangan dengan semangat itu. Para pengelola organisasi yang paling sederhana pun tahu dana nonbujeter adalah wilayah remang-remang.

Seperti penggunaannya, dana nonbujeter umumnya diperoleh dari sumber yang gelap. Dalam kasus, katakanlah Nalo, Porkas, dan SDSB, dana diperoleh melalui judi yang menyengsarakan rakyat. Dana nonbujeter lain diperoleh melalui kutipan nonpajak, seperti dana reboisasi, yang dikutip dari pemegang hak pengusahaan hutan. Di lingkungan tertentu, seperti di kalangan tentara dan polisi, orang menciptakan istilah "dana taktis" atau "dana operasi" sendiri, yang bersifat nonbujeter pula. Misalnya, dengan memeras pengusaha, mengutip "uang damai" dari sopir-sopir di jalan, bahkan berkomplot dengan penjahat.

Dana nonbujeter terbukti hanya merugikan publik secara berlapis-lapis. Pertama, publik harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi yang dipicu oleh kutipan, suap, sogokan, setoran, dan pemalakan. Kedua, uang yang terkumpul cenderung dikorup. Ketiga, jikapun tidak masuk kantong pribadi, dana nonbujeter bisa digunakan untuk "operasi politik" melanggengkan kekuasaan, seperti di era Golkar sebelum menjadi partai atau bahkan membiayai "operasi militer" yang menindas rakyat. Terakhir, yang paling jahat, konsep dana nonbujeter telah menyembunyikan korupsi secara sempurna dengan dalih mulia. Dulu, misalnya, dalihnya yang dipakai itu seperti membantu korban bencana alam, mengembangkan usaha kecil, atau "menyelesaikan masalah Aceh".

Karena semua itulah Rokhmin dan semua yang ikut menikmati dana dari dia memang harus dihukum. ***

No comments: