Tuesday, July 25, 2006

Akibat PLN Salah Urus

Perusahaan Listrik Negara mestinya jangan sering-sering memadamkan listrik secara bergiliran. Sebab, listrik adalah kebutuhan vital. Kebutuhan akan tenaga listrik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Begitu listrik padam, kegiatan ekonomi pun lumpuh.

Kereta rel listrik langsung berhenti, ribuan penumpang tertahan, dan ribuan lainnya tak terangkut di stasiun. Penerbangan tertunda di bandara, penumpang menunggu dengan gerah karena pendingin ruangan mati. Lalu lintas macet, polisi pun jadi sibuk. Mesin penarik dana tunai padam, orang yang sudah antre jadi kesal. Daftar kekacauan akibat padamnya listrik bisa diperpanjang.

Yang jelas, padamnya aliran listrik tak cuma membuat lampu mati. Mesin pabrik harus menunggu berjam-jam--pemilik pabrik tekstil menyebutnya berhari-hari--setelah aliran kembali normal agar pabrik bisa berproduksi kembali. Dari satu sektor ini saja bisa dihitung berapa kerugian yang diderita. Seandainya PLN memberikan kompensasi kerugian yang dihitung berdasarkan biaya beban, niscaya tak akan menutup kerugian yang diderita perusahaan besar.

Tetap saja ada yang tak beres di tubuh PLN. Pabrik setrum itu mengaku terpaksa menjatah listrik ke konsumen karena pasokan bahan bakar minyak terlambat datang. Kiriman minyak terlambat bukan karena PLN belum membayar utang ke Pertamina, seperti alasan yang dulu, melainkan karena stok yang terkuras cepat. Ada kebutuhan bahan bakar minyak melebihi biasanya. Ini akibat berkurangnya kiriman air waduk pemasok pembangkit listrik tenaga air. Musim kering membuat debit air di waduk turun.

Di situlah soalnya. PLN tak mengantisipasi kemungkinan bakal naiknya kebutuhan bahan bakar minyak. Ini tentu mengherankan, karena mereka mestinya tahu berapa kebutuhan dan cadangan bahan bakar minyak yang diperlukan. Agar peristiwa ini tak terjadi lagi, perusahaan setrum itu jangan sampai salah lagi menghitung kebutuhan bahan bakar minyak dan cadangan yang diperlukan.

Sudah saatnya pula PLN mempercepat dan memperluas pemakaian sumber energi terbarukan, seperti tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomas, sebagai pengganti bahan bakar minyak. Apalagi ongkos produksi dengan sumber energi nonminyak lebih murah. Bahan bakar minyak lebih boros anggaran. Tahun lalu, misalnya, sekitar 80 persen dari seluruh bujet negara, sekitar Rp 50 triliun, disedot biaya sumber energi pembangkit listrik PLN. Kita setuju dengan kampanye hemat listrik, tapi jangan sampai orang ramai jadi korban penghematan hanya karena kesalahan manajemen di PLN. l

Diterbitkan di Koran Tempo, 25 Juli 2006

Thursday, July 13, 2006

Jenius Muda Batal ke Slovenia

Sungguh sangat disesalkan tim Indonesia batal mengikuti Olimpiade Matematika di Slovenia. Apalagi penyebabnya bukan lantaran mereka tak siap bertanding. Bukan karena mereka jeri sebelum maju. Bukan pula karena ada anggota tim yang sakit. Tim batal bertarung hanya karena terlambat memperoleh visa masuk Slovenia.

Departemen Pendidikan Nasional sebagai panitia yang mengurus visa untuk tim itu mengaku sudah berupaya sedini mungkin mengajukan permohonan. Setidaknya tiga kali departemen tersebut mengaku telah mengirimkan surat. Surat pertama dikirim pada 20 Juni 2006 lewat Kedutaan Austria di Jakarta karena Slovenia tak mempunyai kantor perwakilan di Jakarta. Namun, sampai 6 Juli belum ada jawaban.

Panitia lalu mengajukan permohonan lagi, lengkap dengan surat pengantar dari Departemen Luar Negeri RI lewat kedutaan yang sama. Ketika dicek pada 7 Juli, Kedutaan Austria sebagai perantara belum mendapat calling visa dari negara pecahan Yugoslavia itu. Austria hanya dapat mengeluarkan visa apabila ada jawaban dari negara yang dituju. Baru pada 12 Juli, visa yang diminta akhirnya keluar bersamaan dengan dimulainya olimpiade.

Sungguh mengherankan sebuah lembaga tinggi negara ternyata tak becus mengurus visa. Para birokrat departemen yang belakangan ramai dikritik ihwal penyelenggaraan ujian nasional itu mestinya tahu bahwa Slovenia tak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Mereka harus mengantisipasi kemungkinan terburuk, seperti perpanjangan waktu pengurusan visa.

Toh, bukan baru kali ini saja Olimpiade Matematika berlangsung. Pula, ini bukan untuk pertama kalinya Indonesia ikut. Tim Indonesia bahkan sudah kerap berpartisipasi dan meraih penghargaan internasional dalam ajang sejenis. Hari-hari ini pun ada beberapa anak Indonesia yang tengah berjuang di gelanggang Olimpiade Fisika Internasional di Singapura. Kenapa Departemen Pendidikan bisa teledor begini?

Keikutsertaan anak-anak Indonesia ke ajang internasional itu penting untuk memberi warna lain di tengah suramnya situasi dalam negeri belakangan ini. Ada berita tentang kekeringan dan ancaman paceklik, tentang lesunya perekonomian, penimbunan senjata gelap, dan sebagainya. Partisipasi mereka bisa menjadi cahaya di ujung lorong.

Anak-anak peserta olimpiade itu tentu bukan anak sembarangan. Mereka anak-anak brilian hasil seleksi nasional yang ketat dan bertahap. Tentu tak sedikit waktu, tenaga, pikiran, juga dana yang sudah dikeluarkan, baik oleh peserta maupun pembimbingnya selama enam bulan di pemusatan latihan. Namun, semua pengorbanan itu jadi sia-sia sekarang. Mereka tak mendapat kesempatan membuktikan hasil latihan di lomba yang sesungguhnya.

Para birokrat itu mestinya menjadikan "skandal matemavisa" ini sebagai pelajaran yang sangat mahal dan memastikan agar kejadian yang sama tak terulang lagi. Benahi segera sistem administrasi departemen ini. Jangan sampai nanti timbul kesan buruk: mengurus visa saja tak becus, apalagi mengurus masalah pendidikan di Indonesia yang jauh lebih kompleks.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Juli 2006

Thursday, July 06, 2006

Kepastian Bantuan Korban Gempa

Pemerintah pusat sebaiknya segera memberikan kepastian mengenai berapa lama sebetulnya bantuan jaminan hidup selama masa tanggap darurat yang harus diberikan kepada para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Keputusan ini penting agar warga dan para pemimpin setempat tak bingung.

Ada dua versi berbeda ihwal masa pemberian bantuan. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi menyatakan bantuan akan diberikan selama tiga bulan. Namun, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menyatakan pemberian jaminan hidup berakhir bersamaan dengan dimulainya masa rekonstruksi awal Juli ini.

Di samping itu, ada masalah lain. Pemerintah memang sudah mengucurkan bantuan ke dua wilayah itu. Penyaluran sebagian bantuan pun telah dilakukan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran kepada pemerintah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 1,2 triliun untuk rekonstruksi korban gempa.

Lebih dari sebulan bencana itu lewat, ternyata masih banyak ketidakberesan di sana-sini. Yang paling mencolok, bantuan itu ternyata masih kurang dan belum merata penyalurannya. Yogyakarta baru menerima Rp 73 miliar dari Rp 140 miliar bantuan jaminan hidup yang diusulkan. Bantuan beras juga baru sepertiganya. Walhasil, warga yang belum tersentuh tentu saja masih banyak.

Wajar jika Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X puyeng. Menurut Ngarso Dalem, dari 14 kecamatan di Kota Madya Yogyakarta, baru separuh yang menerima uang kehidupan. Di Bantul, baru 10 kecamatan dari 17 kecamatan yang menikmatinya. Ini berarti masih ada ribuan warga di 10 kecamatan itu yang belum kebagian.

Masalah yang sama terjadi di Klaten, Jawa Tengah. Ribuan warga belum mendapatkan bantuan uang lauk-pauk. Pemerintah setempat baru menerima Rp 48 miliar bantuan dari yang seharusnya Rp 64 miliar. Wakil Ketua Harian Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Klaten, Imam Purwadi, memperkirakan baru sekitar 80 persen dari 713.788 penduduk korban gempa di wilayahnya yang sudah mendapatkan bantuan uang lauk-pauk.

Belum beresnya masalah ini mengesankan pemerintah pusat belum tahu atau justru tak mau tahu kenyataan di lapangan. Pasti ada yang salah dengan koordinasi antara daerah dan pusat. Daerah mungkin telah melaporkan situasi di lapangan dengan benar, tapi tak diterima dengan baik oleh pusat. Bisa juga pusat memang tak menerima laporan yang benar dari daerah.

Kemungkinan lain: baik daerah maupun pusat tak melakukan pekerjaannya dengan benar. Tapi, daripada mencari-cari di mana letak kesalahannya atau siapa biang keladinya, ada baiknya bila perhatian difokuskan pada masalah bantuan jaminan hidup. Korban gempa tentu lebih membutuhkan bantuan untuk hidup ketimbang bantuan bagi rekonstruksi. Kebutuhan makan jauh lebih mendesak. Perut tak bisa diajak kompromi. Karena itu, perpanjang saja masa pemberian bantuan jaminan hidup minimal tiga bulan. Beres, dah.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Juli 2006