Tuesday, December 14, 2004

Cahaya di Ujung Lorong

KABAR gembira itu datang dari ajang Olimpiade Sains Junior Internasional I. Anak-anak kita menjadi juara umum kompetisi yang baru pertama kali diselenggarakan itu dengan menyabet delapan medali emas dan empat medali perak.

Mereka -- Stephanie Senna, Diptarama, dan kawan-kawannya dari beberapa sekolah menengah pertama di Tanah Air -- menyisihkan pesaing-pesaingnya dari Cina Taipei, Thailand, Korea Selatan, Rusia, dan Kazakhstan.

Di tengah berhamburannya berita tentang bencana alam, kecelakaan, korupsi, peledakan gereja, penembakan misterius, penutupan bank, dan sejuta kabar muram lain yang belakangan ini menghias halaman-halaman koran, kemenangan yang diraih para Einstein muda itu seperti setetes embun yang menyejukkan.

Dalam kesunyian, jauh dari hiruk-pikuk urusan politik, gemerlap pentas Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Kontes Dangdut KDI, dan sebangsanya, mereka tekun berlatih selama sembilan bulan sebelum bertanding. Bukan jalan yang mudah tentunya bagi anak-anak seusia mereka yang kebanyakan lebih suka jalan-jalan di mal atau kebut-kebutan di jalan.

Anak-anak muda yang cerdas itu bukan hanya teladan yang bagus bagi teman-teman sebayanya. Mereka sebetulnya juga cahaya di ujung lorong yang gelap bagi bangsa ini. Ke pundak merekalah sebetulnya kita mesti menyampirkan harapan di masa depan.

Kita membutuhkan banyak orang cerdas, sekarang dan di masa datang. Kita memerlukan orang-orang cerdas di semua lapisan. Kita perlu polisi yang cerdas, sehingga tak ada lagi terpidana yang kabur sewaktu hendak dieksekusi. Kita membutuhkan jaksa yang cerdas sehingga tahu cara menjerat para koruptor yang licin.

Sayang, menjadi orang cerdas di Indonesia ternyata tidak bisa populer. Orang cerdas tak mendapat publikasi secara luas di media masa, terutama televisi. Bahkan kalangan Istana pun lebih memilih para artis yang baru saja memenangkan Piala Citra untuk diantarkan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang para peraih medali Olimpiade Sains itu.

Mungkin ada yang salah di Indonesia ini. Orang-orang cerdas sepertinya kurang mendapat tempat dan penghargaan. Coba saja kalau atlet bulu tangkis mendapat medali emas di Olimpiade, pastilah sejak dari bandara disambut dengan meriah, lalu diarak ke tengah kota, berputar-putar sehingga jalanan macet, kemudian menuju Balai Kota.

Siapa yang mengarak pemenang medali emas Olimpiade Sains Junior? Siapa yang mewawancarainya untuk menanyakan bagaimana perjuangannya merebut emas itu? Tidak ada, atau kalau ada, ya, seadanya saja. Bandingkan dengan hidup para bintang kontes, apalagi setelah jadi artis yang katanya sudah menyandang selebritas. Keseleo kakinya sedikit saja sudah puluhan kamera memotret.

Siapa pula yang sejak awal melatih dan mengarahkan jalan mereka menuju sukses? Pemerintah? Bukan. Lagi-lagi segelintir pionir seperti Yohanes Surya dan kawan-kawannya yang berjuang--mereka pulalah yang pernah mengantarkan anak muda kita berjaya di Olimpiade Fisika.

Berilah penghargaan kepada orang-orang cerdas, mulai hari ini. Meski jalan yang ditempuh berliku dan penuh tikungan, ada baiknya anak muda seperti Stephanie dan Diptarama mendapatkan apresiasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah, terutama, perlu memberikan perhatian konkret yang lebih besar kepada mereka. Jangan sampai cahaya di ujung lorong ini padam dan menghilang begitu saja. ***

Dimuat di Koran Tempo, 15 Desember 2004


Wednesday, December 01, 2004

Musibah Lion Air

INDONESIA berduka kembali. Pesawat MD-82 milik maskapai penerbangan Lion Air terjerembab di Bandar Udara Adisumarmo, Solo, Jawa Tengah. Puluhan penumpangnya tewas dan luka-luka.

Sejauh yang kita tahu, salah satu penyebab utama kecelakaan Lion Air adalah cuaca buruk. Namun, tentu saja kita tak bisa semata-mata menyalahkan faktor alam sebagai kambing hitam kecelakaan.

Penyelidikan yang mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti apa penyebab kecelakaan itu. Siapa tahu ada faktor lain, misalnya kesalahan pilot (human error) atau kerusakan alat (instrument error).

Karena itulah kita dukung upaya pemerintah yang menurunkan tim dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk memastikan penyebab kecelakaan. Begitu juga kepada DPR yang memutuskan membentuk tim investigasi untuk kasus yang sama.

Kita berharap agar tim-tim itu bekerja dengan baik, mendapatkan kesimpulan penyebab kecelakaan, dan segera mengumumkan hasilnya ke publik.

Penyelidikan yang mendalam perlu dilakukan karena ada indikasi bahwa pilot mengambil tindakan yang tak lazim dengan mendaratkan pesawat di tengah dan bukan dari awal landasan. Seandainya ini benar terjadi, ada beberapa kemungkinan. Pilot mungkin tak melihat landasan karena cuaca buruk, bisa jadi salah perhitungan, atau instrumen pemandu pendaratan (ILS) tak bekerja dengan benar. Dugaan ini bisa saja salah, tapi ada baiknya ditelusuri.

Seandainya nanti terbukti bahwa ada yang tak beres dengan kedua hal itu, manusia dan peralatan, kita patut bertanya kepada manajemen Lion Air. Jangan-jangan mereka mempekerjakan para pilotnya di luar batas. Jangan-jangan mereka mengabaikan perawatan pesawat secara rutin dan memberi toleransi besar pada kerusakan.

Pertanyaan seperti itu perlu dikedepankan mengingat ada banyak keluhan tentang buruknya layanan maskapai penerbangan dalam negeri, yang belakangan ini semakin banyak. Orang curiga, ketatnya bisnis penerbangan telah membuat perusahaan-perusahaan penerbangan mengabaikan aspek keselamatan penumpang demi mengejar keuntungan semata.

Apalagi selama ini penumpang tak pernah tahu apakah pesawat yang akan ditumpanginya benar-benar laik terbang. Sebab, berbeda dengan produk makanan yang punya label "halal", pesawat tak punya label "laik terbang" yang terlihat oleh penumpang. Kelayakan terbang hanya diketahui oleh maskapai (teknisi, pilot) dan otoritas penerbangan. Konsumen tidak.

Ketidakjelasan itu rawan penyimpangan. Siapa yang bisa menjamin bahwa petugas inspeksi tak mempan disogok sehingga tak memberi laporan yang semestinya? Siapa yang mampu memberi garansi bahwa pejabat yang memberi surat kelaikan terbang tak berkolusi dengan perusahaan penerbangan dan main teken saja?

Kita berharap pemerintah, dalam hal ini Dinas Sertifikasi Kelaikan Udara di Departemen Perhubungan, meningkatkan pengawasan penerapan standar keselamatan penerbangan. Kita tentu tak ingin insiden Lion Air terulang lagi.

Kepada orang ramai, kita juga perlu mengingatkan bahwa alam sedang tak bersahabat. Ada kemungkinan terjadi musibah susulan di masa datang karena faktor alam. Tak ada salahnya sedia payung sebelum hujan. ***

Dimuat di Koran Tempo, 2 Desember 2004

Mencari Alternatif Bojong

RIBUAN warga di sekitar Bojong, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, mengamuk. Mereka memporak-porandakan tempat pengolahan sampah terpadu yang akan beroperasi di kawasan itu. Karena mereka sudah merusak, polisi pun turun tangan dan angkat senapan. Akibatnya, lima penduduk tertembak dan lainnya luka-luka akibat kekerasan aparat.

Bukan sekali ini warga protes dan mengamuk. Sejak pertama kali Bojong direncanakan sebagai tempat pengolahan sampah terpadu pada akhir 2001, warga sudah menentangnya. Mereka khawatir tempat sampah itu akan mencemari lingkungan mereka. Bau tak sedap pun ditakutkan bakal menyebar.

Urusan jadi ruwet karena Bupati Bogor sudah setuju wilayah itu dibeli pemerintah Jakarta untuk tempat pembuangan sampah. Perusahaan yang akan mengolah sampah pun sudah ada dan mencoba beroperasi terus, meski warga tak berkenan.

Mengurus sampah ternyata bukan perkara mudah, meski masalah ini sangat penting dan menyangkut hajat hidup sehari-hari orang banyak. Bayangkan saja kalau semua orang Jakarta cuma bisa menumpuk sampah yang dihasilkan setiap hari di rumah masing-masing. Bagaimana kotor dan baunya rumah di segenap penjuru Ibu Kota ini?

Untunglah urusan sampah ini sudah ada rumusnya. Pemerintah Jakarta bertugas mengambil sampah warganya, mengangkutnya, lalu membuangnya ke suatu tempat setiap hari. Warga tak perlu pusing dan tinggal membayar retribusi. Begitu seterusnya sejak dulu.

Dulu seluruh sampah Jakarta ditimbun di Bantargebang. Namun, tempat ini sudah ditutup sekarang. Pemerintah lalu mencari tempat pengganti dan mendapatkannya di Bojong. Sebagai mitra, pemerintah menggandeng PT Wira Guna Sejahtera. Perusahaan ini katanya punya kemampuan mengolah sampah dengan teknologi canggih yang diadopsi dari Australia dan Swedia.

Sampah, kata mereka, akan diolah lewat tiga proses: dipres, dibakar, dan difermentasi. Dengan proses ini, hasil akhir pengolahan sampah ditanggung oleh perusahaan itu tidak akan mencemari lingkungan.

Toh, penduduk tetap memprotes. Ini menunjukkan bahwa mereka belum paham benar soal ini. Mungkin karena kurang sosialisasi. Padahal sebetulnya kekhawatiran itu bisa dijawab dari awal seandainya pemerintah Bogor dan Jakarta mengajak bicara warga sekitar. Aktivis lingkungan juga diajak urun pendapat.

Bila ada pembicaraan awal dan sosialisasi terus dilakukan, ada kemungkinan semua pihak mendapatkan perspektif baru mengenai pentingnya tempat sampah, manfaat, dan dampaknya, sekaligus mencari solusi untuk antisipasi seandainya di masa depan muncul persoalan lingkungan akibat sampah itu.

Namun, daripada pusing, kenapa pemerintah Jakarta tak mencoba membuang sampah di salah satu pulau di Kepulauan Seribu saja? Pilih satu pulau yang tak terpakai, terpencil, dan tak berpenghuni. Tentu saja harus dikaji dulu kemungkinan bakal terjadinya pencemaran lingkungan di pulau itu. Kalau oke, pasti aman dari amukan penduduk dan protes aktivis lingkungan. Kalaupun ada yang menolak, paling cuma ikan, kerang, kepiting, dan udang.

Di pulau itu, sampah-sampah mungkin bisa diproses jadi rumpon tempat penghuni laut tinggal--seperti becak-becak yang dulu dibuang di sana. Mungkin juga timbunan sampah itu bisa memperluas area pulau. Kelak, jika sudah tak terpakai lagi, siapa tahu pulau itu bisa disulap jadi tempat wisata baru, menyaingi Ancol. Yang penting, mencari alternatif selain Bojong memang harus disiapkan. *

Dimuat di Koran Tempo, 24 November 2004

Palestina tanpa Arafat

PEMIMPIN Palestina Yasser Arafat kini tergolek tak berdaya di sebuah bangsal rumah sakit militer Prancis, nun jauh dari negerinya. Napasnya satu-satu. Mesin-mesin menopang raganya. Doa-doa melayang ke pembaringannya. Dan lilin-lilin pun dinyalakan untuk menerangi jalan kesembuhannya.

Bukan Arafat namanya kalau penderitaannya tak memancing simpati jutaan orang di seluruh dunia. Dia Bapak Bangsa Palestina--seperti halnya Julius Nyerere di Tanzania, Kardinal Makarios di Siprus, dan Kenneth Kaunda di Zambia.

Arafatlah yang menyatukan puak Palestina yang berserakan di mana-mana. Diawali dengan upaya konsolidasi yang solid, Arafat berhasil membangun sebuah bangsa yang nyaris mustahil semula. Dia pulalah yang mengusung kemerdekaan bangsanya ke pentas dunia setelah berjuang melalui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpinnya sejak 1969.

Di mata bangsanya, Arafat alias Abu Ammar adalah pahlawan. Ia mendapat penghormatan rakyatnya, bukan semata karena simbol kemerdekaan. Sebagai manusia, ia sosok yang hangat.

Karena itulah, begitu Arafat keluar dari markas besarnya di Tepi Barat menuju Prancis pekan lalu, lantaran sakit yang teramat sangat, banyak kalangan waswas. Orang ramai mulai mengkhawatirkan situasi Palestina seandainya Arafat benar-benar mangkat suatu hari nanti.

Kosongnya kursi kepemimpinan Palestina jelas akan membawa masalah baru. Apalagi Israel, seteru abadi Palestina, terlihat belum mengendurkan tekanan dan justru seperti ingin memancing di air keruh.

Kita tahu setidaknya ada 13 faksi yang bertolak belakang di sana. Ada faksi garis keras seperti Hamas dan Islamic Jihad yang selalu memilih jalan pedang melawan Israel, musuh besarnya. Ada pula faksi Fatah yang sejak dipimpin Arafat dikenal sebagai kelompok moderat yang terbuka pada negosiasi dan kompromi.

Di sisi lain, perpindahan tongkat estafet kepemimpinan Palestina belum disiapkan secara mulus. Siapa calon pembawa tongkat berikutnya masih samar-samar.

Saat ini paling tidak ada beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Arafat. Ada Perdana Menteri Ahmed Qorei, yang mengurus administrasi pemerintahan sehari-hari, termasuk soal keuangan dan keamanan, serta penjabat sementara Ketua PLO Mahmud Abbas dan mantan Kepala Keamanan Palestina Muhammad Dahlan.

Hanya, Palestina tampaknya belum siap melahirkan nama baru sebagai pengganti Arafat. Padahal peluang bukan tak ada. Trio pemimpin itu, misalnya, bisa dipercaya mendesain rencana dan kesepakatan damai baru dengan Israel. Setelah itu, pemilu juga bisa dirancang segera.

Dari pemilu yang demokratis itulah kita berharap kelak akan lahir pemimpin baru Palestina. Pemimpin yang memperoleh legitimasi sebagai pengganti Arafat, hingga faksi-faksi yang berseteru dengan sendirinya akan tunduk pada legitimasi itu.

Memang jalan menuju pemilu tidak mudah. Sebelum hal itu tercapai, pintu perundingan dengan Israel mesti terus dibuka. Gencatan senjata juga harus segera ditegakkan, dengan atau tanpa Arafat.

Israel mesti berunding dengan paradigma baru. Tuntutan bahwa sebelum ada perundingan Arafat mesti mereformasi negara Palestina dan mengendalikan pengebom bunuh diri adalah omong kosong. Jangan lupa, di tengah lingkaran setan kekerasan, penyerbuan Israel justru menjadi dinamo penggerak bom bunuh diri itu. ***

Dimuat di Koran Tempo, 10 November 2004



Menanti Bukti Instruksi Presiden

SEJUMLAH instruksi keluar di hari-hari pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terakhir, Presiden mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur di Indonesia. Salah satunya berbunyi, semua gubernur diminta memberikan teladan kepada masyarakat soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gubernur yang terlibat tiga perkara tersebut akan diberhentikan.

Meskipun bagus dan layak dilaksanakan, tidak ada yang istimewa sebetulnya dari keluarnya sejumlah instruksi itu. Sebagai presiden baru, Yudhoyono memang harus "kejar setoran", cepat-cepat menyelesaikan pelbagai persoalan penting dan genting. Apalagi ia sudah berjanji akan membawa perubahan di negeri ini. Salah satu caranya, ya, mengeluarkan instruksi itu.

Selain itu, tak ada yang luar biasa juga dari instruksi kepada para gubernur. Seorang presiden memang sudah seharusnya mengeluarkan perintah kepada para gubernur di bawahnya. Apalagi, menurut undang-undang, gubernur diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tanpa instruksi khusus, sebenarnya presiden bisa saja langsung memerintahkan agar mereka melakukan sesuatu.

Instruksi itu jadi menarik dan perlu dibicarakan karena Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh saat ini tengah menjadi tersangka dalam kasus korupsi pembelian helikopter jenis Mi-2. Lembaga yang menetapkan status tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bekas presiden Megawati Soekarnoputri memang pernah mengeluarkan instruksi presiden yang berisi perintah agar tugas Gubernur Puteh didelegasikan kepada Wakil Gubernur Aceh. Adapun pelaksanaan tugas dan wewenang sehari-hari Gubernur selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah dilaksanakan sepenuhnya oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Namun, secara hukum, ia masih Gubernur Aceh.

Hingga sekarang, proses hukum Puteh pun masih menumpuk di atas meja Komisi Pemberantasan Korupsi. Semula ada rencana kasus Puteh disidangkan setelah para hakim ad hoc tindak pidana korupsi diangkat pada 7 Oktober silam. Namun, hingga dua pekan berlalu, belum ada kabar kapan sidang digelar.

Kini kita berharap Presiden Yudhoyono tak hanya bisa menggelontorkan segepok instruksi kepada jajaran di bawahnya. Kita menunggu apakah perintah itu dijalankan sang bawahan. Kita juga akan melihat bagaimana Presiden mengawasi apakah bawahannya menjalankan perintahnya atau tidak.

Lebih dari itu, kita juga ingin Presiden melakukan terobosan. Dalam kasus Puteh, misalnya, janganlah terlalu banyak basa-basi dan mengikuti prosedur umum. Bila orang ramai sudah tak percaya kepadanya, ya, pecat saja dia. Nanti kalau dalam sidang ternyata hakim menyatakan ia tak bersalah dan harus dibebaskan dari hukum, Presiden toh bisa mengangkat dan memulihkan namanya lagi.

Masa kampanye sudah berakhir. Sekarang adalah masa bakti. Kita tak butuh lagi janji, melainkan bukti. Jangan sampai segala macam instruksi itu menjadi sekadar basa-basi politik yang tak pernah terlaksana. Karena itu, instruksi presiden sebaiknya diikuti sanksi hukum bagi yang melanggar supaya ia tak hanya menjadi macan kertas. ***

Dimuat di Koran Tempo, 27 Oktober 2004


Selamat Datang, Presiden Baru

SEJARAH baru terbentang di atas karpet gedung MPR/DPR Senayan pagi ini. Presiden Indonesia yang ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, secara resmi akan dilantik bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Keduanya adalah pasangan pemimpin negara pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita ucapkan selamat datang dan selamat bertugas kepada mereka.

Yudhoyono menjadi presiden setelah meraih lebih dari 60 juta suara, lebih banyak daripada pesaingnya, Megawati Soekarnoputri, yang cuma memperoleh sekitar 40 juta suara.

Ia dipilih, bukan dilotere. Rakyat memilihnya dengan beberapa alasan, di antaranya lantaran ia menjanjikan perubahan yang didambakan orang ramai. Persoalannya sekarang adalah apa yang akan berubah dan apakah pelaksanaannya akan lancar seperti direncanakan.

Mayoritas rakyat pemilih beranggapan, di bawah kendali Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Kalla, Republik akan bergerak menuju keadaan yang lebih baik, seperti yang terucap lewat janji-janji mereka semasa kampanye. Apakah anggapan orang ramai ini benar atau tidak, terpulang pada kinerja pemerintah baru yang akan memulai masa jabatannya hari ini.

Kinerja itu ditentukan oleh dua hal: kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan yang kompeten serta kompak dan kepiawaian dalam mengatasi berbagai tantangan yang menghadang.

Kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan bisa diukur antara lain dari ketepatan Yudhoyono menyusun kabinet yang rencananya juga akan diumumkan hari ini. Apakah dia memilih orang-orang yang bisa diandalkan? Menteri-menteri yang kompeten? Integritasnya tinggi? Orang-orang dari pelbagai latar belakang, suku, agama, ras, partai, juga universitas?

Bila ya, Yudhoyono berarti telah maju satu langkah. Jika tidak, dia pastilah akan menuai kecaman orang ramai. Memang, apa pun pilihannya, Yudhoyono mustahil menyenangkan semua orang. Namun, paling tidak kita berharap ia tak memasang, misalnya, menteri yang pernah gagal di kabinet sebelumnya.

Adapun kelihaian mengatasi tantangan bakal terlihat dari apa yang akan dilakukannya dalam 100 hari mendatang. Tantangan paling dekat dan nyata bagi pemerintah baru serta yang harus diselesaikan selekasnya adalah kebutuhan menyesuaikan anggaran secara drastis untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang membubung sangat tinggi.

Pemerintah baru tak punya pilihan selain mengurangi subsidi bahan bakar minyak alias menaikkan harga. Ini tindakan tak populer yang harus diambil saat mayoritas kursi DPR berada dalam genggaman Koalisi Kebangsaan, kumpulan partai politik yang menyatakan diri akan menjadi kekuatan "penyeimbang" terhadap lembaga eksekutif. Mampukah Yudhoyono menyelesaikan tugas pertama ini?

Seandainya Presiden Yudhoyono mampu, kita patut mengacungkan jempol dan mendukung terus upayanya untuk mendatangkan perubahan. Jika ada kekurangan atau penyimpangan, mari kita sama-sama mengontrolnya, menyampaikan koreksi, dan menyumbangkan saran atau alternatif penyelesaian.

Terakhir, rasanya kita layak menyampaikan terima kasih kepada bekas presiden Megawati Soekarnoputri yang ikut berjasa melahirkan pasangan pemimpin baru melalui pemilu yang demokratis. Semoga ia tak menutup rapor baiknya selama ini dengan "noda" yang tak perlu dan lebih suka tinggal di rumah ketimbang hadir dalam acara pelantikan Presiden Yudhoyono. ***

Dimuat di Koran Tempo, 20 Oktober 2004




Sayembara Rp 1 Miliar Polisi

KERJA polisi kian lama kian membingungkan dan terkesan main-main. Betapa tidak? Setelah mengaku lalai menjaga seorang tersangka kejahatan, sehingga yang bersangkutan buron, polisi kini mengadakan sayembara berhadiah untuk menangkapnya.

Sayembara itu isinya kurang-lebih adalah polisi akan memberikan hadiah Rp 1 miliar kepada siapa saja yang bisa memberi informasi keberadaan Adrian Waworuntu, tersangka utama pembobol duit Bank BNI Rp 1,7 triliun, yang kabur itu.

Menggelar sayembara menangkap Adrian jelas bukan sesuatu yang kita tunggu dari polisi. Kita justru menanti usaha polisi mengejar dan menangkap buron itu. Mengadakan sayembara bisa diartikan seolah-olah polisi sudah menemui jalan buntu dan menyerah, sehingga terpaksa meminta bantuan masyarakat.

Adrian bukan pembunuh sadis, bukan pula teroris yang baru saja meledakkan bom di suatu tempat dan menewaskan banyak orang. Ia memang buron kakap, tetapi tak berbahaya amat. Ia bukan buron bersenjata yang mengancam keselamatan orang lain. Kesalahannya, paling tidak menurut polisi, hanyalah menggondol sejumlah besar uang yang bukan miliknya dan sekarang kabur entah ke mana. Terlalu berlebihan rasanya jika untuk mengejar dia, polisi sampai harus mengadakan sayembara Rp 1 miliar.

Uang Rp 1 miliar tentu bukan jumlah yang kecil. Memang polisi mengatakan, uang itu diambil dari biaya operasional mereka. Artinya, hadiah itu sudah masuk dalam anggaran mereka. Ini juga berarti asalnya dari negara alias uang rakyat.

Seandainya kelak memang ada warga masyarakat yang berhasil menunjukkan lokasi Adrian dan memperoleh hadiah itu, berarti polisi sekadar mengembalikan lagi uang dari rakyat. Ini jelas tidak lucu. Kecuali hadiah itu ternyata sumbangan dari perseorangan.

Mestinya polisi tak perlu sampai mengeluarkan uang sebanyak itu. Ketimbang mengadakan sayembara, mestinya polisi gunakan saja uang itu untuk membiayai operasi memburu Adrian yang mungkin akan menghabiskan ongkos lebih sedikit.

Uang sayembara itu lebih baik dipakai sebagai insentif bagi petugas yang memburu Adrian. Bisa juga dipakai untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Atau dipakai saja untuk hadiah bagi siapa saja yang berhasil menyeret petugas yang lalai, dan menyebabkan Adrian kabur, ke penjara. Mengejar Adrian itu suatu keharusan, tetapi memberi hukuman yang setimpal kepada polisi yang lalai juga penting.

Hadiah Rp 1 miliar itu mungkin juga jumlah yang tak seberapa bagi Adrian. Ingat, ia diduga menggondol Rp 1,7 triliun atau 1.700 kali satu miliar! Jelas, uang Rp 1 miliar bukan apa-apa baginya. Ia pasti mampu mengadakan sayembara yang sama dengan hadiah yang jauh lebih besar.

Taruhlah misal, Adrian ganti menyediakan hadiah Rp 2 miliar kepada siapa saja yang bisa menyembunyikan dirinya. Atau, ia menjanjikan hadiah Rp 5 miliar kepada semua polisi yang tak menangkapnya dan bersedia menghentikan pengejaran. Apa yang akan terjadi?

Ada kemungkinan orang ramai akan lebih memilih ikut sayembara Adrian ketimbang mendapatkan hadiah dari polisi, meskipun dengan risiko masuk penjara. Karena, sudah jelas uang yang akan diperoleh jauh lebih besar. Seandainya itu yang terjadi, pasti polisi akan makin terlihat tidak lucu. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 13 Oktober 2004

Apa yang Kaucari MPR?

Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diperkirakan berlangsung singkat ternyata justru berlarut-larut. Setelah alot membahas selama tiga hari, baru kemarin para wakil rakyat akhirnya bersepakat tentang tata cara pemilihan dan komposisi pimpinan MPR.
Pimpinan dipilih lewat voting tertutup. Adapun komposisinya terdiri atas satu ketua dan tiga wakil ketua MPR. Jajaran pimpinan terdiri atas dua dari DPR dan dua dari DPD.

Komposisi pimpinan itulah salah satu hal yang membuat fraksi-fraksi di MPR bersikukuh. Tiap-tiap kubu menghendaki versi masing-masing dengan argumentasi sendiri-sendiri. Perbedaan pandangan itu tak segera mencapai titik temu, sehingga sidang pun bertele-tele dan tersendat-sendat. Hari ini rencananya MPR baru akan memilih pimpinan MPR.

Sidang yang berkepanjangan hingga sampai berhari-hari jelas merupakan pemborosan. Pertama, yang paling benderang dan terukur adalah negara terpaksa mengeluarkan pos pengeluaran tambahan untuk, katakanlah, uang sidang dan biaya penginapan anggota MPR.

Seperti kita tahu, setiap anggota Majelis berhak mendapatkan uang sidang Rp 150 ribu per hari. Artinya, kalau sidang molor empat hari, pengeluaran menjadi Rp 600 ribu. Ongkos menginap, dengan harga diskon, Rp 750 ribu per kamar. Jika sidang mundur empat hari, biayanya jadi Rp 3 juta per kamar.

Angka itu harus dikalikan jumlah semua anggota, juga ditambah pengeluaran tambahan untuk konsumsi, sewa bus untuk mengangkut anggota dari hotel ke gedung MPR/DPR, dan remeh-temeh lainnya. Mau sidang berapa lama lagi? Mau berapa banyak lagi dana yang harus dikeluarkan? Anggaran memang sudah disiapkan dan mungkin tetap mencukupi. Namun, kalau bisa dihemat, kenapa harus mengeluarkan lebih banyak?

Para wakil rakyat mestinya sadar bahwa mereka adalah kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman dekat, apalagi sanak famili. Mereka dipilih oleh rakyat, bukan dilotere. Di saku baju safari merekalah harapan rakyat dititipkan.

Mereka harus tahu bahwa sidang yang singkat, efisien, dan tak bertele-tele bisa menghemat pengeluaran -- meskipun demokratis. Jangan mentang-mentang kepentingannya belum tercapai, lalu mengabaikan efisiensi dan kepraktisan dengan berlama-lama adu argumentasi.

Wakil rakyat wajib mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, termasuk kepentingan partai, daerah, ras, dan suku, serta melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ingat, rakyatlah yang memilih Anda semua secara langsung. Anda mesti mempertanggungjawabkan keputusan kepada rakyat yang sudah memilih. Kalau Anda mengabaikan atau tak memikirkan mereka, jangan harap rakyat memilih Anda lima tahun lagi. Sudah bukan zamannya lagi berdebat demi kepentingan sesaat. Ini zaman memikirkan rakyat. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 6 Oktober 2004

Carut-marut Kasus Newmont

KASUS pencemaran Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, berkembang semakin kompleks. Setelah polisi menetapkan PT Newmont Minahasa Raya sebagai perusahaan yang melakukan pencemaran, Richard Bruce Ness, direktur utamanya, juga ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Amerika, melalui duta besarnya di Jakarta, Ralph Boyce, lalu meminta Ness tak ditahan. Permintaan ini kemudian memicu protes dari pelbagai kalangan, karena dianggap sebagai bentuk intervensi urusan dalam negeri Indonesia.

Kasus Newmont sejatinya tak perlu melebar ke mana-mana seandainya sejak semula ada satu hal yang diluruskan terlebih dulu, yakni soal standar yang dipakai untuk menentukan terjadinya pencemaran. Soalnya, hingga saat ini ada beberapa versi, punya polisi, Kementerian Lingkungan, Newmont, dan LSM.

Kalangan LSM menyatakan memang ada pencemaran logam berat di perairan Teluk Buyat. Demikian juga Pusat Laboratorium Forensik Polri. Sebaliknya, Newmont menyangkalnya.

Menteri Lingkungan Hidup, yang sebelumnya selalu bernada menyangkal adanya pencemaran, akhirnya mengumumkan hasil Tim Peer Review yang menyatakan sebaliknya. Tim ini dibentuk oleh Menteri Lingkungan Hidup, tidak melakukan penyelidikan sendiri, tetapi menilai dari semua laporan penyelidikan yang ada.

Walaupun Menteri Lingkungan Hidup mengoreksi pernyataan sebelumnya dengan menyatakan kesimpulan Tim Peer Review bukan atas nama kementeriannya, dan bahkan menyatakan tetap pada kesimpulan bahwa kualitas air di Teluk Buyat masih di bawah baku mutu, kementerian itu tetap merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab menciptakan kejelasan atas kasus ini.

Kita harus berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Tatkala ada korelasi dua kejadian, hubungan keduanya tidak selalu bersifat sebab-akibat. Analisis obyektif harus dilakukan dulu, agar tidak membuat kesimpulan cepat yang menyesatkan.

Ada limbah dan banyak orang sakit di daerah sekitarnya, belum pasti berarti bahwa hal yang pertama menyebabkan kejadian yang kedua. Metode ilmiah mengharuskan orang untuk menghindari kesesatan post hoc, ergo propter hoc: sesudah ini, karena itu disebabkan oleh hal itu.

Karena itu, diperlukan penelitian yang tuntas, komprehensif, serta obyektif dengan memakai laboratorium yang memenuhi standar internasional tentang semua yang masih "abu-abu" di Teluk Buyat.

Langkah ini sebaiknya dilakukan oleh tim independen yang terdiri dari pelbagai kalangan. Amerika kalau mau bisa juga diikutkan dalam tim tersebut. Daripada duta besarnya melakukan lobi ke sana-kemari, lebih baik diikutkan dalam penelitian, sehingga tak dicurigai melakukan tekanan atau intervensi. Dari tim independen diharapkan keluar hasil yang disepakati bersama dan meminimalkan keraguan.

Langkah itulah yang seharusnya ditetapkan dulu sebelum kita maju ke tahap berikutnya, seperti menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Jangan sampai gara-gara belum ada kejelasan, lalu ada orang yang jadi bulan-bulanan.

Tanpa langkah tersebut, silang pendapat mengenai kesimpulan akan muncul. Peluang pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kasus Newmont ini pun jadi terbuka. Ujung-ujungnya orang juga akan curiga pada kerja polisi yang terkesan "terlalu" bersemangat. Kita tentu tak ingin hal ini terjadi. ***

Dimuat di Koran Tempo, edisi 30 September 2004

Pemimpin Partai Jangan Setengah-setengah

Partai Demokrat akhirnya mengakui bahwa anggotanya melakukan politik uang dalam perebutan kursi Ketua DPRD DKI Jakarta. Mereka juga mengaku akan memecat para pelakunya dalam waktu dekat.

Politik (dan) uang sejatinya bukan cerita baru di ruang Dewan. Praktek gelap ini terjadi di mana-mana, bukan hanya di gedung parlemen Jakarta, melainkan juga di Amerika yang sering disebut-sebut -- secara berlebihan -- sebagai penegak demokrasi. Sudah kerap terdengar ada wakil rakyat dari pelbagai partai yang melakukan politik uang, menerima suap demi tujuan tertentu.

Namun, kasus di DPRD DKI Jakarta merupakan yang pertama kali, setidaknya yang sudah terungkap luas, bagi Partai Demokrat yang calonnya berhasil naik ke kursi presiden. Tentu saja ini bukan awal yang bagus bagi partai ini yang tergolong baru di kancah politik.

Kasus itu tak bisa dilepaskan dari kenyataan yang terjadi di ranah politik, bahwa politik dan uang berhubungan erat. Money talks. Juwono Sudarsono pernah memberikan ilustrasi sinis perihal politik dan uang. Dalam dunia politik, katanya, terdapat tiga faktor yang amat berpengaruh, yaitu duit, money dan fulus. Dari ilustrasi ini, kita bisa simpulkan, politik dan uang adalah kombinasi yang tak terpisahkan, saling mempengaruhi, seperti manusia dan udara.

Politik uang sangat berbahaya sebab wujudnya sering kali begitu canggih, sehingga tidak mudah dideteksi. Dibutuhkan lebih dari sekadar kehendak baik dan kemauan yang keras untuk memberantasnya.

Kongkalikong semacam itu jelas merugikan masyarakat. Pejabat yang naik karena membeli suara tentu harus memberikan semacam balas budi politik. Akibatnya, ia tidak bisa lagi mengambil keputusan publik yang adil dan tidak berpihak.

Ujung-ujungnya, masyarakat pula yang harus menanggung beban, baik dalam bentuk pembayaran jasa publik yang lebih besar, atau menurunnya kualitas fasilitas dan layanan publik yang seharusnya mereka terima.

Bagi partai, politik uang merupakan pelanggaran disiplin yang mengancam keutuhan organisasi. Tanpa disiplin, apa jadinya sebuah partai. Anggota bisa seenaknya berbuat apa saja tanpa mempedulikan aturan partai. Citra dan integritas partai pun bisa ternoda karenanya.

Ironisnya, terbukti hukum sering kali mandul menangani para pelaku politik uang. Tak banyak pemberi dan penerima suap yang bisa dibawa ke meja hijau. Selain karena kurangnya bukti, para pelaku juga sering lolos lantaran "politik uang" juga.

Karena itu, jika ada wakil rakyat, anggota partai, main politik uang, mereka bukan hanya harus dipecat. Para pemimpin partai--kalau tak bisa membawanya ke meja hijau--minimal harus mengumumkan nama-nama pelakunya.

Mengakui bahwa anggotanya telah melakukan praktek tak terpuji dan memecatnya adalah langkah bagus Partai Demokrat. Langkah ini harus diikuti dengan pengumuman nama para pelakunya. Jangan setengah-setengah mengambil tindakan.

Pengumuman itu perlu, biar rakyat, para konstituen, tahu dan tak memilihnya lagi di masa datang. Biarlah praktek gelap yang dilakukannya menjadi rapor yang terang-benderang di mata orang ramai. Biarlah jejak keburukannya tercatat jelas di benak para calon pemilih kelak.

Dimuat di Koran Tempo, 25 September 2004


Sunday, September 19, 2004

SBY Presiden Baru Indonesia

Hari ini jutaan rakyat Indonesia memilih presiden dan wakilnya yang akan memerintah hingga 2009. Siapa pun yang akan menang dalam pemilihan kali ini, dialah presiden pertama Indonesia hasil pilihan rakyat secara langsung.

Sejak pagi, aktivitas pencoblosan kartu suara dimulai. Satu per satu warga mendatangi tempat pemungutan suara. Permukiman sepi, begitu juga lalu lintas di jalanan. Tak terlihat warga berjubel di tempat pencoblosan. Banyak golput? Mungkin saja.

Siang harinya orang sudah bisa melihat hasil perhitungan suara sementara secara nasional. Susilo Bambang Yudhoyono unggul lumayan banyak ketimbang Megawati Soekarnoputri. Kemungkinan besar, SBY bakal jadi Presiden Indonesia ke-6. Selamat deh!

Tuesday, September 14, 2004

Ketika Hujan Jatuh di Yangmingshan

Pagi itu saya cuma sempat menyerumput secangkir kopi dan menjejalkan dua potong croisant ke perut sebagai menu sarapan. Beral Shan, pemandu wisata yang hendak menemani saya jalan-jalan, sudah menunggu di lobi hotel. “Cepat, waktu kita sedikit,” katanya seraya menengok arloji di tangannya. Di atas, mendung menggantung.

Hari itu kami berencana menengok salah satu tempat wisata terdekat di Taipei: Yangmingshan National Park di kaki Gunung Yangmingshan. Taman yang berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut ini adalah salah satu dari sedikit tempat di mana warga Taipei masih bisa mendapatkan udara bersih dan sejuk. Jaraknya tak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap, sekitar setengah jam perjalanan naik bus.

Sepanjang perjalanan, Beral mengoceh tentang apa saja yang bisa dinikmati di wilayah pegunungan di bagian utara Taipei itu. Hujan mulai jatuh satu-satu. Kabut turun. Tiba-tiba saya teringat potongan syair lagu milik Katon Bagaskara, Meniti Hutan Cemara,

Kabut dingin merendah
Perlahan datang menyapa
Semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
Pandangan hijau terhampar
Di tepi hutan cemara ....


Tapi tak ada pohon cemara di pinggir jalan menuju Yangmingshan yang sempit, menanjak dan berbelok-belok itu. Mesin bus terdengar menderu, seperti napas orang yang ngos-ngosan ketika mendaki sebuah bukit. Di kiri-kanan berdiri rumah-rumah mewah milik orang-orang asing dan konglomerat Taipei tertutup semak-semak dan pepohonan hijau. Di musim panas, Beral bercerita, kita bisa melihat buah ceri bergelantungan di ranting-ranting pohon di pinggir jalan.

Kami tiba di tempat parkir Yangmingshan National Park pas hujan turun dengan lebatnya. Celaka. Kami tak membawa sebatang payung pun. Untunglah, di pojokan tempat parkir ada satu toko kecil yang menjual payung dan mantel plastik.

Tapi meski sudah bermantel plastik, tak banyak yang bisa dilakukan di tengah guyuran hujan. Setelah menyusuri jalan setapak di tengah taman, kami pun terpaksa berteduh di satu-satunya restoran yang ada di sana. Lewat jendelanya yang basah oleh air hujan tampak Kota Taipei di kejauhan. Di sekeliling restoran, pohon-pohon terlihat kedinginan. Rantingnya melengkung menahan siraman hujan. Ujung-ujung daunnya meneteskan air.

Barel bercerita, duduk di restoran merupakan sebuah kemewahan. Bukan karena harga makanan dan minuman d situ mahal, melainkan karena restoran ini nyaris selalu penuh. Jangan harap bisa duduk di restoran ini tanpa memesan tempat terlebih dahulu, terutama di musim liburan. Satu-satunya tempat makan di kawasan wisata ini biasanya penuh wisatawan yang hendak mengisi perut.

Hujan reda pas Beral berhenti bercerita. Kami pun melanjutkan jalan-jalan ke Yangming House yang berada persis di samping lahan parkir kendaraan pengunjung Taman Yangmingshan. Untuk masuk ke tempat ini, pengunjung dipungut bayaran 30 NT (sekitar Rp 7.500)

Yangming House adalah sebuah kompleks yang terdiri dari lima bangunan, terdiri dari 1 bangunan utama dan empat bangunan tambahan. Semua bangunan bercat putih itu terbuat dari campuran batu bata, batu kali dan kayu, dengan arsitektur khas Jepang di awal 1900-an. Berdiri di atas tanah seluas 4.275 meter, kompleks yang berada di tengah sebuah hutan kecil penuh pepohonan hijau itu dulunya merupakan pondok tetirah tokoh nasional Taiwan Chiang Kai Shek.

Chiang Kai Shek, Barel menerangkan, hanya sebentar tinggal di situ, sekitar 6 bulan. Tapi jejaknya yang panjang bisa dilihat sampai sekarang. Di dalam pondok terdapat barang-barang peninggalan Chiang, seperti foto-foto, buku-buku, bekas pakaiannya dan sebagainya. Semua peninggalan itu sekarang dijadikan sebagai atraksi wisata yang bisa ditonton para wisatawan.

Sayang, kami tak bisa lama-lama di pondok. Mendung masih menggantung. Hujan sebentar lagi turun. Kami harus segera bergegas masuk bus. Sayup-sayup saya seperti mendengar suara Katon bersenandung, Semak-semak tanah basah/Langkah kaki seiring/Pandangan hijau terhampar ....

kenang-kenangan perjalanan ke taiwan, mei 2004

Suatu Senja di Kota Sejuta Skuter

Roda pesawat yang saya tumpangi menggilas aspal bandara Chiang Kai Sek, Taipei, Taiwan. Pesawat sedikit oleng. Angin terdengar bergemuruh, menandakan sang pilot menegakkan sayap-sayap penahan kecepatan dan menginjak rem. Sesaat kemudian, burung besi itu pun meluncur mulus menuju tempat parkir.

Taipei masih seperti dulu ketika saya pertama kali menjejakkan kaki, lebih dari enam tahun silam. Langit putih di atas, sebentar panas, sebentar mendung. Angin menderu-deru kencang. Jalanan padat, kendaraan bersicepat. Gedung-gedung jangkung. Apartemen berderetan. Satu dua pohon di pinggir jalan.

Pengemudi mobil jemputan milik hotel tempat saya akan menginap, terdiam dalam duduknya di belakang kemudi. Matanya menatap lurus ke depan, nyaris tak berkedip. Tak ada seulas pun senyum di wajahnya. Dingin.

Saya mencoba memecah kebusuan dengan mengajukan satu pertanyaan sederhana dalam bahasa Inggris. “Apa kabar?”. Sia-sia. Ia hanya menengok sebentar ke arah saya, memamerkan tampang bingungnya, lalu menggelengkan kepalanya seraya menggumamkan sesuatu dalam bahasa Cina. Alamak!

Oke, tak masalah. Toh ia tangkas mengemudi, dan, ini yang penting, ia jauh lebih santun ketimbang kebanyakan pengemudi taksi Jakarta yang suka serampangan mengambil jalur di jalan raya. Kalau tak perlu-perlu amat, ia lebih suka tetap di jalur tengah dan mengatur kecepatan tak lebih dari 100 kilometer per jam. Padahal saya yakin Mercedes-Benz yang dikemudikannya pasti mampu dihela sampai 200 kilometer per jam.

Pria yang tak saya ketahui namanya itu– saya cuma melihat deretan huruf Cina di dada kirinyanya – lama kelamaan merasa tak nyaman juga. Ia mencoba menyenangkan saya, penumpangnya. Tangannya bergerak menyalakan CD di dashboard. Sebentar kemudian, sebuah lagu Mandarin mengalun memenuhi kabin. Saya tak tahu siapa penyanyi dan judulnya, apalagi syairnya. Yang jelas bukan F4 yang kondang bukan kepalang di Indonesia itu.

Semula saya mau bertanya, apakah dia mengenal anggota kelompok vokal F4 seperti Vic Zhou dan di mana mereka tinggal, tapi batal. Saya sudah bisa mengira reaksinya: gelengan kepala. Berbeda dengan kebanyakan sopir di Singapura atau Hong Kong, memang jarang ada pengemudi Taiwan yang fasih berbahasa Inggris, bahkan untuk kata-kata yang paling sederhana sekalipun. Akhirnya saya cuma tersenyum dan mengacungkan jempol sebagai tanda terima kasih. Berhasil! Ia balas tersenyum dan menunjukkan jempolnya. Saya pun tenggelam dalam lamunan tentang sepotong senja di Taipei.

Taipei berada di bagian utara Pulau Formosa atau lebih dikenal dengan Taiwan. Dari Cina daratan yang terpisah oleh Selat Taiwan, jaraknya hanya sepeluncuran rudal. Pemerintah Cina memang menyiagakan rudal-rudalnya di seberang untuk menakut-nakuti Taiwan yang dianggapnya sebagai negeri para pembelot.

Berkembang pesat sebagai sebuah ibu kota setelah Perang Dunia II, Taipei dulunya adalah lembah Sungai Tamsui yang subur, tempat tinggal sekelompok kecil petani padi dan sayur mayur.

Sebagai sebuah kota metropolitan modern – populasinya hampir 3 juta orang – Taipei terbagi menjadi 12 distrik. Wilayah kotanya dibelah oleh jalan raya. New York's Broadway dan Chungshan Rd, misalnya, memisahkan bagian timur dan barat. Chunghsiao dan Pateh Roads membagi wilayah utara dan selatan. Pembagian ini sangat berguna bagi para turis menentukan orientasi.

Jalanan kotanya yang mulus dijejali aneka jenis kendaraan, dari aneka sedan jenis terbaru, bus kota, hingga sepeda motor. “Penduduk Taipei suka naik sepeda motor karena gampang cari tempat parkir,” kata Beral Shen, pemandu wisata yang menemani saya jalan-jalan.

Beral bercerita, harga tanah di Taipei tergolong mahal. Akibatnya, lahan parkir pun terbatas. Orang pun sulit mencari tempat parkir di pusat kota. Mobil harus diparkir di bawah gedung perkantoran, hotel, pertokoan atau mal-mal.

Ongkos parkir pun otomatis mahal, bahkan untuk ukuran penduduk Taipei. Tarif parkir di lahan terbuka, tarifnya NT 30 (sekitar Rp 7.500) per jam atau setara dengan harga segelas bubble tea termurah. Kalau di lahan tertutup, tarifnya NT 100 (hampir Rp 25.000) per jam.

Berbeda dari Jakarta, kebanyakan sepeda motor di Taipei dari jenis skuter matik. Mereknya dan kapasitas mesinnya berbeda-beda memang, tapi jenisnya sama. Saya nyaris tak pernah melihat kendaraan roda dua angin yang menggunakan injakan kaki untuk menghidupkan mesin. Semuanya otomatis. Pengendaranya tinggal memencet tombol starter di setang kanan, putar gas, dan jalan. Persnelingnya pun otomatis. “Kami memang menyukai hal-hal yang praktis,” kata Lydia Liu, pemandu wisata kolega Beral.

Skuter dipakai untuk mengangkut barang, pergi ke sekolah, kuliah, kantor, pasar, atau sekadar jalan-jalan sore. Sudah lazim terlihat di jalanan ada pengendara berpakaian necis, lengkap dengan jas dan dasinya – dan tentu saja helm. Sungguh jauh berbeda dari “kostum resmi” para pengendara sepeda motor Jakarta yang cuma jaket katun atau kulit itu.

Lydia bercerita, penduduk Taiwan suka skuter karena harganya cukup terjangkau dan perawatannya pun mudah. Harga skuter kelas 50 cc, umpamanya, sekitar NT 35 ribu (hampir Rp 9 juta). Kelas 125 cc kurang lebih NT 55 ribu (hampir (Rp 14 juta). “Ada juga yang lebih besar dan mewah, kapasitas 500 cc, lengkap dengan pemutar CD, tapi harganya mahal, sekitar NT 300 ribu (Rp 75 juta),” kata Lydia yang mengaku juga punya satu skuter kecil.

Servis dan perbaikan bukan masalah besar bagi pemilik skuter. Banyak bengkel di sudut-sudut kota yang siap melayani konsumen. Di setiap wilayah paling tidak terdapat 3 – 4 bengkel. Mereka buka sampai larut. Saya pernah melihat ada bengkel yang masih buka sampai pukul 12.00. Padahal di Jakarta, kebanyakan bengkel dan tempat servis sepeda motor menutup pintu selepas Maghrib.

Selain memadati lalu lintas seperti capung yang beterbangan di sawah, skuter memenuhi tempat-tempat parkir di sisi jalan. Lydia bercerita, saat ini ada sekitar satu juta skuter di seantero Taipei. Ini berarti, 1 di antara 3 warga kota memiliki skuter. Bukan main. Bandingkan dengan Jakarta yang populasinya sekitar 11 juta orang. Menurut data di Kepolisian Daerah Metro Jaya, jumlah sepeda motor di Ibu Kota sekitar 3 juta.

Semua kendaraan roda dua bebas parkir. Mereka boleh berlama-lama di suatu tempat tanpa dipungut bayaran. Tak jarang terlihat di tempat parkir ada skuter yang berselimutkan debu. Bagian bawahnya kering, sementara aspal di sekitarnya basah -- tanda sudah lama ngetem. Pemiliknya entah ke mana.

Di Taipei, skuter hanya dipakai untuk keperluan pribadi dan tak disewakan. Jadi jangan harap busa menemukan ada tukang ojek naik skuter di sana. Nah, jika ada warga yang hendak jalan-jalan, tapi tak punya kendaraan, mereka busa memilih naik bus kota, kereta listrik, atau taksi.

Kondisi taksi di Taipei bagus dan bersih. Armada taksi rata-rata dari jenis sedan yang masih gres, seperti Toyota Camry, Toyota Altis, Honda Accord, Mazda Lantis, dan sebagainya. Tarifnya? Sekali naik (flag fall) mesti bayar NT 70 (sekitar Rp 17.500) dan setiap 100 meter NT 10 (Rp 2.500).

Taksi-taksi yang pernah saya tumpangi memiliki pemutar CD dan VCD. Hebatnya, ada beberapa taksi yang menyediakan fasilitas karaoke. Penumpang yang ingin menyanyi tinggal memilih lagu. Tak jarang si pengemudi ikut menyumbangkan suara, karena memang tersedia dua mikrofon di dalam taksi.

Penumpang yang kebetulan membawa koleksi CD atau VCD juga boleh memutar lagu pilihannya. Pokoknya bebas, asal bayar. Seperti sore itu. Seorang kawan yang kebetulan membawa sebuah album koleksi lamanya tertarik mencoba. Kami pun menyanyi bersama-sama seiring matahari jatuh di barat. Di jalanan, skuter-skuter berkejaran....

kenang-kenangan perjalanan ke taiwan mei 2004

today, 39 years ago

I was born, life goes on .....

Monday, September 13, 2004

bom lagi, teror lagi

bom meledak lagi -- sekitar pukul 10.39, kamis, 9 september 2004. kali ini sasarannya kedutaan besar australia di jalan rasuna said, kuningan jakarta.

gile bener tuh, teroris. nggak kira-kira. rasuna said kan, jalan rame banget. biarpun cuma 9 orang yang mati, efeknya kan nakutin banget.

ampun deh, mau jadi apa sih mereka?

Monday, September 06, 2004

Silakan Jual Permata

PEMERINTAH akhirnya menjual 51 persen saham Bank Permata. Permata adalah bank terakhir di bawah Perusahaan Pengelola Aset (dahulu Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dijual pemerintah. Sebelum ini, pemerintah sudah berhasil menjual empat bank lain, yakni Bank Danamon, BCA, BII, dan Bank Niaga.

Ada delapan konsorsium yang semula berminat membeli Permata. Setelah diseleksi, hanya lima konsorsium yang berhak maju ke putaran berikutnya. Mereka adalah konsorsium Commerce dengan Employees Provident Fund, Maybank dengan PT Jamsostek dan Khazanah Nasional Bhd., Standard Chartered Bank-PT Astra International Tbk., Panin-ANZ Banking Group, dan United Overseas Bank Ltd.

Namun, ketika proses jual-beli sedang berjalan, tiba-tiba ada suara protes dari Senayan. Sekitar 30 anggota (atau separuh dari jumlah total anggota) Komisi Keuangan dan Perbankan DPR meminta pemerintah membatalkan tender penjualan Permata. Alasan mereka, kelima penawar yang dinyatakan lolos itu hampir semuanya dikendalikan oleh bank asing.

Permintaan itu jelas aneh dan tak beralasan, karena divestasi Permata adalah sebuah keniscayaan. DPR bahkan sejak dulu telah memberikan kepercayaan pemerintah untuk melakukannya divestasi.

Penjualan Permata pun dilakukan secara terbuka. Proses tender dan seleksi calon pembeli dijalankan dengan transparan. Pemerintah mengutamakan kompetensi, profesionalisme, dan harga penawaran yang rasional dari peminat yang ikut tender.

Kesempatan yang sama juga diberikan kepada semua peminat. Baik asing maupun lokal, boleh ikut tender. Para calon pembeli juga dinilai secara obyektif. Penilaian mencakup harga, kemampuan teknis, serta modal mereka.

Kita menilai penjualan Permata--hasil merger Bank Bali, Universal, Artha Media, Patriot, dan Prima Express--justru langkah yang bagus. Maklum, pemerintah sedang butuh dana untuk menambal defisit anggaran.

Layaknya barang jualan, Permata itu laksana intan yang mengkilap. Sebagai bank retail, kinerjanya terus membaik, bahkan cenderung menguat di sektor tertentu, seperti perdagangan dan otomotif. Apalagi di bank ini masih ada obligasi negara Rp 9 triliun. Dengan aset Rp 29 triliun, bank ini bisa dijual dengan harga 2,5 kali nilai buku.

Harga Permata bisa tinggi, karena kondisi perbankan di Indonesia sudah mulai pulih, modalnya meningkat, dan kredit bermasalahnya menurun. Selain itu, hasil penjualan bank-bank sebelumnya membuat harga sahamnya naik berkali lipat.

Bank Danamon misalnya, waktu dijual oleh BPPN dengan harga Rp 1.200 per saham, sekarang harganya sudah melonjak hingga di level Rp 3.300-3.400 per saham. Bukan tidak mungkin, Bank Permata mendapat berkah yang sama. Tentunya ini menguntungkan investor.

Investor asing atau lokal bukan masalah. Sejarah membuktikan, pemain lokal justru belum tentu bagus. Sebaliknya, kehadiran para pemain asing akan membuat kompetisi perbankan nasional jadi lebih sehat. Kompetisi yang sehat bagus buat konsumen.

Karena itu, kita setuju pemerintah tetap melanjutkan penjualan Permata. Nafikan saja keberatan dari Senayan itu. Apalagi bila keberatan itu hanya disuarakan oleh sebagian anggota, dan bukan DPR sebagai satu institusi. ***

(Dimuat di Koran Tempo edisi 4 September 2004)

Wednesday, September 01, 2004

males banget, yach!

today is boring day. nothing to do .... males ngapa-ngapain. lagi seneng bikin film pendek, nih! ngeditnya pake program baru, lho. asyik bener nih, program.

pengen pulang cepet....liat anak-anak yang lagi lucu-lucunya. eh, tapi mesti ngecek print-out berita dulu, ah. takutnya ada berita-berita yang nggak imbang, judulnya ngawur, salah ketik.....akurasi, Bung!

by the way, tumben migren nggak kumat lagi sejak hari Minggu. kepala rasanya enteng deh, tiga hari ini. pertanda apa, ya?

Friday, August 27, 2004

Prajurit Itu Manusia Biasa

Seorang perwira Korps Polisi Militer Angkatan Laut menembak mati empat prajurit serta melukai seorang lainnya. Insiden terjadi di sebuah asrama militer di Neusu, Banda Aceh.

Menurut hasil penyelidikan sementara, pelaku diduga mengalami depresi ketika bertugas di kawasan yang bergolak itu. Atau menurut istilah Markas Besar TNI, "Pelaku sedang dalam keadaan tidak normal layaknya seorang perwira."

Insiden semacam itu bukan yang pertama di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, juga pernah ada prajurit yang stres dan menembak sejumlah rekannya di Irian Jaya. Bukan cuma sekali terdengar pula ada prajurit di satu angkatan baku tembak dengan tentara di angkatan yang lain. Ada juga tentara yang berduel peluru lawan polisi. Penyebabnya macam-macam, bisa karena rebutan pacar, saling senggol di tempat hiburan, merasa terhina dan sebagainya.

Meski tak sering-sering amat, fenomena itu tetap mencemaskan. Tentara dibekali senjata mestinya untuk menembak musuh, bukan kawannya sendiri, apalagi orang sipil yang tak bersalah. Seandainya ada tentara yang tanpa sebab menembak rekannya sampai mati, pasti ada sesuatu yang patut diduga menyalahi aturan.

Memang ada beberapa kasus tertentu, misalnya seorang komandan menembak mati anak buahnya yang melakukan desersi atau pengkhianatan di medan perang. Tindakan semacam ini tentu saja dapat dibenarkan dalam konteks hukum militer.

Namun, sejauh yang kita tahu, insiden di Aceh bukan dalam konteks itu. Korban bukan desertir atau pengkhianat. Kita jelas menyesalkan terjadinya peristiwa penembakan itu. Kita juga bersimpati kepada korban dan keluarganya.

Langkah petinggi TNI yang segera menangkap pelaku dan menyelidiki kasus itu sudah benar dan bagus. Apa pun alasannya, menembak mati orang -- apalagi sesama anggota TNI -- dalam situasi damai, jelas tindakan yang tak bisa dibenarkan. Karena itu kita berharap institusi mengambil sikap tegas dan memberi hukuman yang setimpal kepada pelaku.

Yang lebih penting sebenarnya, TNI mesti segera mengevaluasi kondisi jasmani dan mental anggotanya, terutama yang sedang bertugas di daerah-daerah konflik. Ini penting untuk mengetahui apakah para prajurit dalam keadaan yang sehat dan layak bertugas.

Setiap prajurit, terutama yang sedang bertugas di medan perang, harus 100 persen sehat, baik jasmani maupun mentalnya. Mens sana in corpore sano. Mereka bukan hanya harus siap bertempur melawan musuh, tapi juga menghadapi dirinya sendiri. Mereka mesti siap melawan lawan yang terlihat maupun yang tak kasat mata.

Prajurit itu manusia biasa. Mereka tentu juga punya rasa sedih, jemu, marah, atau bisa juga rindu pada keluarga, istri, pacar, dan anak-anak. Ada kalanya mereka merasa kesepian karena jauh dari sanak saudara. Belum lagi jika di antara mereka ada yang sedang berkonflik dengan kawan atau komandannya. Tentu beban mental yang harus ditanggung lebih berat lagi. Jika beban ini dibiarkan berlarut, ada kemungkinan seorang prajurit mengalami depresi, lalu melakukan tindakan di luar dugaan.

Dalam kondisi seperti itu sudah selayaknya jika mereka diberi bimbingan mental dari orang-orang seperti psikolog, psikiater, pendeta, atau kiai. Bimbingan diberikan secara reguler dan terus menerus.

Memang TNI sudah memiliki direktorat psikologi di setiap angkatan, juga lembaga-lembaga kerohanian. Masalahnya, apakah lembaga pembimbing psikologi dan mental ini menjalankan tugasnya atau tidak? Bila tidak, percuma saja lembaga itu ada. Karena, prajurit toh manusia juga yang mentalnya harus selalu dievaluasi dan disehatkan. Tanpa itu semua, mereka hanya akan menjadi robot yang kehilangan sisi kemanusiaan. ***

(Dimuat di Koran Tempo, 26 Agustus 2004)

Kontroversi Buruan Cium Gue!

Sebuah film komedi remaja menjadi pembicaraan orang ramai hari-hari ini. Judulnya Buruan Cium Gue!. Ia dibicarakan karena memicu pro dan kontra.

Oleh tokoh agama seperti Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, Majelis Ulama Indonesia, para orang tua, LSM-LSM pengamat media, film itu dianggap mengandung unsur pornografi dan membahayakan generasi muda, di antaranya karena menampilkan adegan ciuman antara dua orang remaja. Karena itu, mereka menuntut agar peredaran film dihentikan.

Sementara itu, kalangan yang pro menganggap Buruan Cium Gue tersebut sekadar gambaran realita anak muda Jakarta masa kini yang patut menjadi pembelajaran bagi siapa saja. Mereka, termasuk Lembaga Sensor Film yang meloloskan peredarannya, juga menilai karya itu bukan film porno.

Fenomena masyarakat yang memprotes atau keberatan terhadap sebuah film sejatinya bukan sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, fenomena ini justru lumrah dan memang dimungkinkan di era demokrasi seperti sekarang.

Mereka, para penentang itu, bahkan sah-sah juga kalau mau unjuk rasa. Kita tak perlu risau oleh aksi tersebut. Asalkan aksi itu disampaikan dengan cara yang benar, beradab, dan tak memakai kekerasan.

Para penentang itu bila perlu boleh saja melakukan aksi unjuk rasa di depan bioskop yang memutar Buruan Cium Gue!, sambil membawa poster yang isinya meminta orang jangan menonton. Sepanjang aksi itu tak sampai menghalangi kebebasan penonton untuk memilih, dan tak merusak bioskop, kita tentu masih bisa mentoleransinya.

Kita boleh berbeda pendapat, tapi juga bukan berarti harus memasung kebebasan berekspresi secara membabi buta. Yang perlu kita waspadai hanyalah apakah kebebasan berekspresi itu sudah melanggar norma-norma susila umum atau tidak.

Adegan ciuman sebetulnya juga bukan baru kali ini muncul dalam film Indonesia. Hanya memang dulu biasanya bukan di film-film remaja. Soalnya, dulu para sineas kita menganut semacam konvensi untuk menihilkan adegan ciuman pada film-film remaja. Para penonton Gita Cinta dari SMA tentu masih ingat bagaimana film itu tetap laris meskipun tak sekalipun menampilkan adegan ciuman.

Belakangan ini saja konvensi itu dilanggar para beberapa film remaja mutakhir. Sebut saja sebagai misal adegan ciuman Nicholas Saputra dan Dian Sastro dalam Ada apa dengan Cinta?. Bahkan siswi SMP, Shandy Aulia, sudah dikecup bibirnya oleh Samuel Rizal dalam Eiffell ... I'm in Love.

Kita boleh-boleh sensitif pada adegan-adegan ciuman di layar lebar, tapi jangan lupa tayangan-tayangan yang lebih seronok di layar kaca. Kita juga jangan sampai mengabaikan banyaknya tayangan yang menampilkan aksi kekerasan dan mengandung mistik-mistik. Sebab, tayangan semacam ini tak kurang berbahayanya bagi masyarakat. ***

(Dimuat di Koran Tempo edisi 20 Agustus 2004)

Thursday, August 26, 2004

heran deh ....

kenapa ya migren gak sembuh-sembuh? heran deh ....

Sunday, August 22, 2004

migren

gile....udah seminggu ini migren datang dan pergi. masak sehari bisa dua tiga kali, pagi, siang, sore .... ampun deh! padahal minggu lalu ke dokter juga gara-gara kram otot pinggang.

kenapa ya, kepala ini kok jadi sering kena migren? padahal kayaknya gak makan yang aneh-aneh. mungkinkah gara-gara kebanyakan rokok? kopi? getting old? or something else?

besok tanya dokter lagi ah....tapi dokter apa ya? umum or spesialis?

Thursday, August 19, 2004

tentang pawon

dalam bahasa jawa, pawon berarti dapur -- ruangan untuk mengolah, memasak, menghasilkan sesuatu untuk dimakan atau diminum.

pawon kadang juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para anggota sebuah keluarga untuk sekadar mengintip apa yang dimasak ibu, atau tempat ngobrol antara orangtua-anaknya, kakak-adik, atau sesama saudara yang lain.



tentang saya

saya lahir di yogyakarta 14 september 1965. orang tua saya r. slamet dan saptorijah. saya dilahirkan sebagai anak nomor lima dan enam bersaudara. kakak dan adik kandung saya adalah (dari yang tertua), sidik banarto sapto hanggoro, bambang sarwadi suseno, tria sulistyani, nugroho sakti yunarso, dan nuri agustina. ayah meninggal 4 juni 2004 dan dimakamkan di bawah kerindangan pohon-pohon bambu, di sudut sebuah kampung kecil di barat Jogjakarta.

menghabiskan masa kecil di jalan kranggan 68, dan menimba ilmu di sd jetisharjo I, smp negeri 8, sma bopkri II, serta kuliah di jurusan ilmu komunikasi, fisipol, ugm, saya meneruskan langkah kehidupan di jakarta.

di jakarta, saya mengawali karier sebagai jurnalis di majalah MODE Indonesia (1990-1993), selama beberapa bulan jadi penulis naskah iklan di misty communication (1994), jurnalis di harian Media Indonesia (1994-1998), dan berlabuh di PT Tempo Inti Media yang menerbitkan majalah TEMPO dan Koran Tempo -- sebagai jurnalis juga tentu saja.

menikah dengan santinalia -- lulusan trisakti yang lahir di jambi -- pada 16 november 1996, saya kini dikaruniai dua orang anak yang lucu-lucu dan menggemaskan: sastra jendra hayuningrat dan wangi bunga savana. jendra lahir di rumah sakit honoris, tangerang, 11 juli 2000. bunga lahir di rumah sakit yang sama pada 20 maret 2003.

kami sekeluarga kini menempati pondok sederhana di kompleks batuceper permai blok O/3, tangerang, 15122.