Tuesday, September 14, 2004

Ketika Hujan Jatuh di Yangmingshan

Pagi itu saya cuma sempat menyerumput secangkir kopi dan menjejalkan dua potong croisant ke perut sebagai menu sarapan. Beral Shan, pemandu wisata yang hendak menemani saya jalan-jalan, sudah menunggu di lobi hotel. “Cepat, waktu kita sedikit,” katanya seraya menengok arloji di tangannya. Di atas, mendung menggantung.

Hari itu kami berencana menengok salah satu tempat wisata terdekat di Taipei: Yangmingshan National Park di kaki Gunung Yangmingshan. Taman yang berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut ini adalah salah satu dari sedikit tempat di mana warga Taipei masih bisa mendapatkan udara bersih dan sejuk. Jaraknya tak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap, sekitar setengah jam perjalanan naik bus.

Sepanjang perjalanan, Beral mengoceh tentang apa saja yang bisa dinikmati di wilayah pegunungan di bagian utara Taipei itu. Hujan mulai jatuh satu-satu. Kabut turun. Tiba-tiba saya teringat potongan syair lagu milik Katon Bagaskara, Meniti Hutan Cemara,

Kabut dingin merendah
Perlahan datang menyapa
Semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
Pandangan hijau terhampar
Di tepi hutan cemara ....


Tapi tak ada pohon cemara di pinggir jalan menuju Yangmingshan yang sempit, menanjak dan berbelok-belok itu. Mesin bus terdengar menderu, seperti napas orang yang ngos-ngosan ketika mendaki sebuah bukit. Di kiri-kanan berdiri rumah-rumah mewah milik orang-orang asing dan konglomerat Taipei tertutup semak-semak dan pepohonan hijau. Di musim panas, Beral bercerita, kita bisa melihat buah ceri bergelantungan di ranting-ranting pohon di pinggir jalan.

Kami tiba di tempat parkir Yangmingshan National Park pas hujan turun dengan lebatnya. Celaka. Kami tak membawa sebatang payung pun. Untunglah, di pojokan tempat parkir ada satu toko kecil yang menjual payung dan mantel plastik.

Tapi meski sudah bermantel plastik, tak banyak yang bisa dilakukan di tengah guyuran hujan. Setelah menyusuri jalan setapak di tengah taman, kami pun terpaksa berteduh di satu-satunya restoran yang ada di sana. Lewat jendelanya yang basah oleh air hujan tampak Kota Taipei di kejauhan. Di sekeliling restoran, pohon-pohon terlihat kedinginan. Rantingnya melengkung menahan siraman hujan. Ujung-ujung daunnya meneteskan air.

Barel bercerita, duduk di restoran merupakan sebuah kemewahan. Bukan karena harga makanan dan minuman d situ mahal, melainkan karena restoran ini nyaris selalu penuh. Jangan harap bisa duduk di restoran ini tanpa memesan tempat terlebih dahulu, terutama di musim liburan. Satu-satunya tempat makan di kawasan wisata ini biasanya penuh wisatawan yang hendak mengisi perut.

Hujan reda pas Beral berhenti bercerita. Kami pun melanjutkan jalan-jalan ke Yangming House yang berada persis di samping lahan parkir kendaraan pengunjung Taman Yangmingshan. Untuk masuk ke tempat ini, pengunjung dipungut bayaran 30 NT (sekitar Rp 7.500)

Yangming House adalah sebuah kompleks yang terdiri dari lima bangunan, terdiri dari 1 bangunan utama dan empat bangunan tambahan. Semua bangunan bercat putih itu terbuat dari campuran batu bata, batu kali dan kayu, dengan arsitektur khas Jepang di awal 1900-an. Berdiri di atas tanah seluas 4.275 meter, kompleks yang berada di tengah sebuah hutan kecil penuh pepohonan hijau itu dulunya merupakan pondok tetirah tokoh nasional Taiwan Chiang Kai Shek.

Chiang Kai Shek, Barel menerangkan, hanya sebentar tinggal di situ, sekitar 6 bulan. Tapi jejaknya yang panjang bisa dilihat sampai sekarang. Di dalam pondok terdapat barang-barang peninggalan Chiang, seperti foto-foto, buku-buku, bekas pakaiannya dan sebagainya. Semua peninggalan itu sekarang dijadikan sebagai atraksi wisata yang bisa ditonton para wisatawan.

Sayang, kami tak bisa lama-lama di pondok. Mendung masih menggantung. Hujan sebentar lagi turun. Kami harus segera bergegas masuk bus. Sayup-sayup saya seperti mendengar suara Katon bersenandung, Semak-semak tanah basah/Langkah kaki seiring/Pandangan hijau terhampar ....

kenang-kenangan perjalanan ke taiwan, mei 2004

No comments: