Monday, September 06, 2004

Silakan Jual Permata

PEMERINTAH akhirnya menjual 51 persen saham Bank Permata. Permata adalah bank terakhir di bawah Perusahaan Pengelola Aset (dahulu Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dijual pemerintah. Sebelum ini, pemerintah sudah berhasil menjual empat bank lain, yakni Bank Danamon, BCA, BII, dan Bank Niaga.

Ada delapan konsorsium yang semula berminat membeli Permata. Setelah diseleksi, hanya lima konsorsium yang berhak maju ke putaran berikutnya. Mereka adalah konsorsium Commerce dengan Employees Provident Fund, Maybank dengan PT Jamsostek dan Khazanah Nasional Bhd., Standard Chartered Bank-PT Astra International Tbk., Panin-ANZ Banking Group, dan United Overseas Bank Ltd.

Namun, ketika proses jual-beli sedang berjalan, tiba-tiba ada suara protes dari Senayan. Sekitar 30 anggota (atau separuh dari jumlah total anggota) Komisi Keuangan dan Perbankan DPR meminta pemerintah membatalkan tender penjualan Permata. Alasan mereka, kelima penawar yang dinyatakan lolos itu hampir semuanya dikendalikan oleh bank asing.

Permintaan itu jelas aneh dan tak beralasan, karena divestasi Permata adalah sebuah keniscayaan. DPR bahkan sejak dulu telah memberikan kepercayaan pemerintah untuk melakukannya divestasi.

Penjualan Permata pun dilakukan secara terbuka. Proses tender dan seleksi calon pembeli dijalankan dengan transparan. Pemerintah mengutamakan kompetensi, profesionalisme, dan harga penawaran yang rasional dari peminat yang ikut tender.

Kesempatan yang sama juga diberikan kepada semua peminat. Baik asing maupun lokal, boleh ikut tender. Para calon pembeli juga dinilai secara obyektif. Penilaian mencakup harga, kemampuan teknis, serta modal mereka.

Kita menilai penjualan Permata--hasil merger Bank Bali, Universal, Artha Media, Patriot, dan Prima Express--justru langkah yang bagus. Maklum, pemerintah sedang butuh dana untuk menambal defisit anggaran.

Layaknya barang jualan, Permata itu laksana intan yang mengkilap. Sebagai bank retail, kinerjanya terus membaik, bahkan cenderung menguat di sektor tertentu, seperti perdagangan dan otomotif. Apalagi di bank ini masih ada obligasi negara Rp 9 triliun. Dengan aset Rp 29 triliun, bank ini bisa dijual dengan harga 2,5 kali nilai buku.

Harga Permata bisa tinggi, karena kondisi perbankan di Indonesia sudah mulai pulih, modalnya meningkat, dan kredit bermasalahnya menurun. Selain itu, hasil penjualan bank-bank sebelumnya membuat harga sahamnya naik berkali lipat.

Bank Danamon misalnya, waktu dijual oleh BPPN dengan harga Rp 1.200 per saham, sekarang harganya sudah melonjak hingga di level Rp 3.300-3.400 per saham. Bukan tidak mungkin, Bank Permata mendapat berkah yang sama. Tentunya ini menguntungkan investor.

Investor asing atau lokal bukan masalah. Sejarah membuktikan, pemain lokal justru belum tentu bagus. Sebaliknya, kehadiran para pemain asing akan membuat kompetisi perbankan nasional jadi lebih sehat. Kompetisi yang sehat bagus buat konsumen.

Karena itu, kita setuju pemerintah tetap melanjutkan penjualan Permata. Nafikan saja keberatan dari Senayan itu. Apalagi bila keberatan itu hanya disuarakan oleh sebagian anggota, dan bukan DPR sebagai satu institusi. ***

(Dimuat di Koran Tempo edisi 4 September 2004)

No comments: