Thursday, November 17, 2005

Pemanggilan Bagir dan Ruki

Inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil dan mempertemukan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki tentu dilandasi itikad baik. Namun, itikad baik tak selalu menghasilkan solusi yang baik apabila cara yang ditempuh tidak tepat.

Sudah diketahui umum, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung tengah bersilang pendapat. Asal-muasalnya, Komisi menyidik kasus dugaan penyuapan di Mahkamah Agung. Komisi memanggil Bagir Manan untuk diperiksa, tapi yang bersangkutan tidak datang. Tarik-menarik kekuasaan terjadi. Sebagai lembaga penyidik yang dibentuk dengan undang-undang, Komisi merasa mempunyai hak memanggil siapa pun. Sebaliknya, Mahkamah Agung merasa belum ada aturan hukum yang jelas tentang pemeriksaan terhadap pemimpin lembaga tinggi negara itu.

Kebuntuan pun terjadi. Dalam kasus ini, semestinya Komisi hanya perlu lebih arif karena yang dipanggil untuk dimintai keterangan adalah Ketua Mahkamah Agung, lembaga tinggi negara yang menentukan arah hukum dan peradilan. Yang perlu dihindari Komisi, pemanggilan ini mendelegitimasi Mahkamah. Ini kurang menguntungkan untuk menjaga wibawa Mahkamah--tempat yang juga menjadi muara kasus-kasus yang ditangani Komisi.

Untuk menengahi, Presiden Yudhoyono lalu memanggil kedua pemimpin lembaga independen itu. Presiden mengaku mempunyai kepentingan bahwa semua lembaga negara bisa menjalankan tugas masing-masing dengan baik tanpa harus saling mengintervensi. Ternyata justru pemanggilan ini yang memicu polemik.

Meskipun Yudhoyono bertindak selaku kepala negara, inisiatif pemanggilan ini dianggap mengganggu independensi kedua lembaga itu. Apalagi Presiden bukan mediator. Pemanggilan itu justru menggerus prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang dianut oleh sebuah negara demokratis.

Pemanggilan itu juga kurang sehat bagi kehidupan sebuah negara hukum, kalau tak bisa dibilang menjadi preseden buruk dalam kehidupan bernegara. Bisa muncul kesan bahwa kedudukan presiden sebagai eksekutif lebih tinggi daripada MA sebagai lembaga yudikatif.

Semestinya kedua lembaga itu diberi kesempatan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ini penting agar proses hukum yang sedang berjalan tidak dicampuri oleh siapa pun.

Jika tetap ingin membantu, Presiden bisa memikirkan cara lain yang tak mengesankan campur tangan. Misalnya saja dengan mengundang Bagir dan Ruki minum kopi, makan malam, atau apa saja acara informal. Acara "santai" begini pasti jauh lebih baik dampak hukum dan politiknya ketimbang pemanggilan seperti sekarang ini. Seperti ketika membuat terobosan dengan memperkenalkan SMS, Presiden pasti belum kehabisan solusi cerdas untuk menyelesaikan kemelut yang melanda Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung.

Dimuat di Koran Tempo, 18 November 2005