Tuesday, February 27, 2007

Tragedi di Muara Gembong

Tenggelamnya bangkai kapal motor Levina I di perairan Muara Gembong, Bekasi, membuat kita prihatin. Bukan hanya karena sebagian besar bukti penyebab terbakarnya kapal itu ikut karam, melainkan juga lantaran musibah ini memakan korban lagi. Kejadian ini menambah jumlah korban tewas akibat Levina, setelah puluhan penumpang tewas atau hilang karena kapal terbakar.

Musibah yang terjadi Ahad lalu itu datang tiba-tiba. Hal ini di luar dugaan rombongan anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi, petugas Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI, dan jurnalis dari pelbagai media yang naik ke bangkai kapal motor yang terbakar pada Kamis lalu itu. Ketika mereka sibuk bekerja, kapal tersebut mendadak miring sebelum akhirnya karam.

Dalam kepanikan, mereka pun terpaksa berloncatan ke laut. Upaya penyelamatan bukan tak ada. Kru dan anak buah kapal pembawa mereka yang kebetulan masih berada di sekitar lokasi kejadian segera mengulurkan pertolongan. Namun, malang sulit ditolak. Seorang juru kamera Lativi tak terselamatkan dan akhirnya meninggal. Seorang juru kamera SCTV dan dua polisi hilang. Hingga kemarin, ketiganya belum ditemukan.

Koran ini ikut berduka atas kejadian itu. Inilah pelajaran berharga bagi kita semua: kalangan pers, anggota KNKT, dan anggota kepolisian. Kita tahu bangkai kapal Levina I memang bukan tempat bekerja yang nyaman dan aman. Kapal itu sudah rombeng setelah terbakar. Badannya tak bisa tegak di atas air. Mereka yang hendak bekerja di atas Levina mesti ekstrahati-hati, waspada, dan menjalankan prosedur kerja standar.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, unsur kewaspadaan tampaknya absen dalam musibah itu. Ketika rombongan itu naik ke atas dek, tak ada pengecekan yang akurat untuk menjamin bahwa kapal memang layak dinaiki. Seharusnya dipastikan dulu apakah kapal itu cukup kukuh posisinya, seimbang, dan tidak ada kebocoran. Sewaktu beraktivitas di atas kapal pun tak semua orang memakai jaket penyelamat--sesuatu yang mestinya menjadi sebuah keharusan sesuai dengan prosedur keselamatan kerja di laut.

Kita menghargai jajaran kepolisian yang mengaku tak bisa bersikap tegas menghadapi wartawan yang hendak meliput jalannya pemeriksaan forensik kapal Levina I. Polisi memang sering kali terpaksa memberikan toleransi dan sedikit keleluasaan kepada para wartawan yang sedang bertugas di lapangan. Apalagi, menurut undang-undang, wartawan memang tak boleh dihalangi ketika menjalankan liputan jurnalistik.

Hanya, dalam bertugas, kita--kalangan pers--terkadang mengabaikan keselamatan karena terlalu bersemangat memburu berita. Padahal, seperti yang dikatakan seorang anggota Dewan Pers, tidak ada satu pun berita yang sama harganya dengan nyawa dan jiwa wartawan. Nyawa manusia lebih penting ketimbang berita itu sendiri. Kita berharap semoga kejadian yang sama tak terulang di masa depan.

Tuesday, February 13, 2007

Jangan Asal Tebar Duit

Janji Gubernur DKI Jakarta memberikan dana Rp 1 miliar per kelurahan untuk rehabilitasi pascabanjir perlu dipertanyakan. Soalnya, duit itu diambil dari pos lain dalam anggaran daerah, langkah yang mencerminkan tidak adanya tertib anggaran. Selain itu, pemakaiannya kelak diperkirakan juga rawan korupsi.

Pemberian dana lewat program dadakan seperti itu sungguh riskan. Pertanggungjawabannya akan lebih sulit dibanding program yang terencana matang dan telah terpola cara pengawasannya. Dalam program yang terencana pun selama ini korupsi sering terjadi. Apalagi dalam tebar dana secara serampangan seperti itu.Sudah menjadi rahasia umum, dana bantuan sering berkurang ketika sampai di bawah. Birokrasi pemerintah kita terkenal longgar dalam pengawasan dan administrasi. Bahkan audit keuangan pun gampang direkayasa.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jakarta sudah memberikan bantuan melalui program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sejak 2001. Namun, program ini sarat dengan penyelewengan dan tunggakan. Pada April 2006, misalnya, Badan Pengawas Daerah DKI Jakarta menemukan 170 kasus penyalahgunaan. Pada tahun yang sama pula terungkap adanya tunggakan dana Rp 79,4 miliar.

Akhirnya, pada Desember tahun lalu, pemerintah Jakarta memutuskan menunda program itu sampai terbentuknya lembaga keuangan mikro yang akan mengelolanya. Rencana tersebut belum terealisasi sampai terjadinya bencana banjir pada awal bulan ini. Dari pos program inilah pembagian duit untuk kelurahan itu akan diambil. Bila penyelewengan pada program yang lalu pun belum beres, bagaimana kita bisa berharap program berikutnya tak akan dikotori oleh praktek yang sama?

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memang melarang kelurahan yang luput dari bencana menggunakan dana yang totalnya Rp 267 miliar itu. Ia seolah ingin menjamin bantuan itu tepat sasaran. Perlu diingat bahwa masa kerja Sutiyoso sebentar lagi selesai. Orang yang mau pensiun biasanya mempunyai kecenderungan berbuat baik agar kelak diingat sebagai tokoh yang peduli pada kesengsaraan rakyat. Tapi, jika cara ini mengundang korupsi, sebaiknya diurungkan.

Kalau pemerintah Jakarta ingin memperbaiki kerusakan-kerusakan infrastruktur di kelurahan akibat banjir, sebaiknya direncanakan lebih matang. Anggaran pun mesti diambil dari pos yang tepat. Yang lebih penting lagi sebenarnya bagaimana mencegah musibah banjir datang lagi pada tahun-tahun mendatang. Banjir tetap akan selalu mengancam bila pemerintah daerah berpangku tangan dan tak belajar dari kesalahan masa lalu. Selain memperbaiki daerah aliran sungai dan kanal, perlu memperbanyak lahan resapan di Jakarta.

Manajemen penanganan banjir pun mesti dibenahi. Sudah saatnya pemerintah Jakarta memiliki sistem yang baik untuk mengantisipasi serangan banjir. Pola evakuasi dan penanganan pengungsi seharusnya menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau tak bisa menolak banjir, paling tidak kita harus meminimalkan dampaknya.