Tuesday, August 29, 2006

Doktor Satu Miliar ala UGM

Penyelenggara pendidikan tinggi boleh-boleh saja memasang tarif mahal, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menjaga mutu lulusannya. Di era otonomi dan ketika beberapa universitas berstatus badan hukum milik negara, para penyelenggara pendidikan tinggi memang harus memutar otak menjaga kelangsungan program belajar-mengajarnya. Karena pemerintah memotong subsidi untuk pendidikan, universitas pun otomatis menaikkan biayanya. Seorang mahasiswa S-1, misalnya, idealnya membutuhkan biaya pendidikan sekitar Rp 6 juta per tahun. Makin tinggi stratanya, makin tinggi pula biaya.

Namun, program doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jadi masalah bukan karena ongkosnya yang tinggi, yang bisa sampai Rp 600 juta, melainkan karena uangnya tak masuk ke universitas. Selain itu, ternyata diketahui bahwa program S-3 yang diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UGM itu memakai jasa pihak ketiga untuk mencari calon mahasiswa. Kenapa itu bisa terjadi?

Di UGM ada dua model program strata 3. Pertama, yang diadakan tiap-tiap fakultas, seperti fakultas ekonomi dan kedokteran. Di luar ongkos pendaftaran, biaya untuk meraih gelar doktor di tiap fakultas hanya Rp 6 juta per semester. Kedua, program S-3 yang diselenggarakan Sekolah Pascasarjana UGM. Dalam proposal program yang beredar dan diterima calon mahasiswa Sekolah Pascasarjana itu disebutkan biaya untuk mengambil gelar doktor lintas bidang hingga selesai bisa mencapai Rp 600 juta. Angka ratusan itu antara lain terdiri atas biaya administrasi dan pendaftaran Rp 32 juta (resminya Rp 300 ribu), penyusunan proposal Rp 6 juta, dan biaya SPP per semester Rp 6 juta.

Meski para pengelola dan mahasiswa sekolah doktor tersebut membantah biayanya semahal itu, tetap saja lebih tinggi daripada tarif resmi. Selain itu, kualitas lulusannya bisa dipertanyakan. Dengan perkuliahan tatap muka yang ringan, cukup empat satuan kredit semester, lalu selebihnya di luar kelas, tak ada jaminan alumninya memang sudah layak mendapat gelar doktor.

Kasus ini kurang-lebih sama dengan pengurusan surat izin mengemudi (SIM). Resminya, ongkos membuat SIM itu hanya sekitar Rp 70 ribu. Tapi, untuk memperolehnya, kita harus mengikuti serangkaian tes dan butuh waktu lebih dari satu hari. Kalau mau terima beres, tak perlu ikut tes, dan hanya butuh waktu beberapa jam, biayanya tentu lebih mahal, bisa sekitar Rp 300 ribu. Kepolisian tentu saja membantah bahwa tarif SIM itu mahal. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa ada calo yang mempermudah urusan SIM. Bahwa si pemegang SIM lewat calo itu ternyata tak bisa mengemudi atau tak layak mengemudikan kendaraan, itu soal lain.

Untuk mengusut kasus doktor semiliar itu, sudah tepat bila diserahkan kepada tim investigasi. Namun, yang lebih penting lagi sebenarnya adalah membuat tim auditor perguruan tinggi independen. Kasus di UGM mungkin saja juga terjadi di tempat lain. Selain itu, perguruan tinggi memang belum memiliki auditor independen. Auditor independen bukan hanya bisa menemukan praktek-praktek sejenis di perguruan lainnya, tapi barangkali juga akan menemukan penyelewengan lain. Sebagai badan hukum milik negara, sudah selayaknya universitas juga diaudit.

Diterbitkan di Koran Tempo, 29 Agustus 2006

Monday, August 07, 2006

Penayangan Koruptor Buron

Rencana Kejaksaan Agung menayangkan wajah para koruptor buron di televisi tentu saja layak didukung dan perlu. Tindak pidana korupsi sudah tergolong sebagai extraordinary crime. Selain sudah mengakar urat, kejahatan ini terjadi baik di kalangan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Karena itu, diperlukan pula pelbagai terobosan untuk memberantasnya, baik dari sisi hukum maupun caranya.

Memang, ini bukanlah ide baru. Almarhum Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono dulu pernah memulainya. Ide itu bahkan sempat terwujud di TVRI pada 1989. Wajah para buron dan koruptor ditayangkan pada acara prime time yang laris dan banyak digemari waktu itu, Dunia Dalam Berita. Namun, acara itu berhenti begitu saja ketika efektivitasnya dalam membantu aparat meringkus para buron belum diketahui.

Kini ada peluang menghidupkan kembali gagasan bagus itu. Kalangan pengelola stasiun televisi pun menyambut baik. TVRI dan SCTV setidaknya sudah menyatakan bersedia membantu terlaksananya program yang bisa bikin ketar-ketir para pelaku tindak pidana luar biasa ini. Tentulah bakal seru kalau semua stasiun televisi ikut berpartisipasi.

Penayangan para buron di TV bisa digolongkan sebagai terobosan pemberantasan korupsi. Kiat ini sesuai dengan semangat antikorupsi yang tengah digalakkan di negeri ini. Bila perlu, yang ditayangkan jangan hanya para koruptor yang buron, tapi juga buron kejahatan lain. Misalnya penyelundup dan terpidana kasus pembunuhan yang baru saja kabur dari penjara Cipinang, seperti Gunawan Santosa.

Televisi merupakan media yang tepat dan efektif untuk menyebarluaskan informasi secara massal dan seketika. Penayangan tak hanya menimbulkan efek jera, jeri, dan takut bagi pelakunya. Masyarakat pun jadi mendapatkan informasi lebih lengkap. Syukur-syukur berkat informasi itu, orang ramai ikut berinisiatif memberi informasi tentang para buron, misalnya tempat persembunyiannya.

Informasi dari publik ini tentu sangat bermanfaat mengingat jumlah petugas kejaksaan ataupun kepolisian sangat terbatas. Namun, kita perlu mengingatkan agar jangan sampai rencana penayangan para buron itu melanggar asas praduga tak bersalah. Yang ditayangkan harus benar-benar sudah jelas status hukumnya. Perlu dipikirkan pula cara membuat program yang tak menabrak etika jurnalistik.

Pemberitaan lewat TV tentu berbeda dengan media cetak. Kalau yang diberitakan membantah, media cetak bisa meralatnya. Tapi cara yang sama belum tentu gampang dilakukan di layar kaca bila ada yang keberatan atau muncul sanggahan.

Sebaliknya, jangan sampai pula kehati-hatian justru membuat petugas salah tangkap. Dalam hal pencarian buron, misalnya, justru perlu diumumkan nama lengkap dan fotonya. Kalau namanya disingkat, nanti malah keliru. Misalkan yang disuruh ditangkap Agus Anwar-debitor nakal yang kini buron--tapi karena diumumkan hanya inisial AA dan tanpa disertai fotonya, orang jadi salah paham, dikiranya Andjas Asmara. Berabe.

Diterbitkan di Koran Tempo, 8 Agustus 2006