Friday, May 27, 2005

Ini Waktunya Bertindak

KORUPSI di negeri ini sudah tergolong luar biasa, maka memberantasnya pun harus dengan cara yang tidak biasa. Sangat penting Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan prioritas pemerintahnya membasmi korupsi di depan 200 warga Indonesia dan investor di AS, tapi ini bukan yang pertama kali.

Kita sudah mendengarnya berkali-kali. Presiden bahkan secara terbuka telah mengungkapkan niatnya membersihkan praktek jahat itu dimulai dari lingkungan terdekatnya, Istana Kepresidenan. Kita juga sudah tahu bahwa guna mendukung niat luhur itu, telah dilahirkan perangkat yang lengkap, yakni Undang-Undang Antikorupsi, serta dua lembaga pemberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak ada salahnya memang bila Presiden mengulang kembali apa yang sudah menjadi tekadnya selama ini. Toh, forumnya di luar negeri. Warga Indonesia di rantau juga perlu mendengar secara langsung bahwa pemerintah SBY benar-benar serius. Para investor asing juga lebih merasa pasti dalam berinvestasi jika orang nomor satu negeri yang bicara.

Selanjutnya, yang lebih penting adalah pelaksanaan. Janji-janji ini akan ditagih. Ini bukan lagi masa kampanye, tapi sudah masuk masa bakti. Kita perlu bukti pemerintah serius membasmi korupsi. Apabila luput, itu hanya akan membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dan investor pun pasti hengkang lagi.

Berhati-hati tentu harus dilakukan, tapi terlalu banyak basa-basi dan mengikuti "prosedur umum" rasanya sudah waktunya ditinggalkan. Perlu dicari cara-cara yang tidak konvensional untuk melawan "kanker" yang sudah menjalar. Bila ada pejabat diduga melakukan korupsi, sebaiknya langsung dinonaktifkan saja. Langkah itu penting dilakukan agar penyelidikan tak terganggu. Toh, kalau tak bersalah, dia bisa bertugas kembali dan Presiden bisa memulihkan namanya.

Yang juga penting, penegakan hukum tak boleh terkesan pilih kasih. Jika Gubernur Aceh Abdullah Puteh telah dihukum, anggota Komisi Pemilihan Umum terus diperiksa, gubernur, bupati, wali kota, serta anggota Dewan di beberapa daerah dijadikan tersangka, seharusnya menteri yang terindikasi penyelewengan juga dinonaktifkan.

Membersihkan potensi korupsi dari lingkungan yang terdekat sangatlah besar pengaruhnya untuk menunjukkan keseriusan Presiden Yudhoyono. Ini semacam ujian pertama. Ujian lain akan datang bergelombang. Masih banyak kasus megakorupsi lain, seperti penyelewengan bantuan likuiditas Bank Indonesia dan kasus korupsi di Bank Mandiri. Sepantasnyalah jika Presiden juga memperlakukan kasus-kasus tersebut dan pelakunya tanpa pandang bulu. Sudah mandi separuh badan, jangan lagi takut basah.

Diterbitkan di Koran Tempo, 28 Mei 2005

Thursday, May 26, 2005

Understanding Abusive Parents

Researchers at the University of Toronto have taken important steps toward producing a profile of an abusive parent. Prof. Gary Walters and doctoral student Lynn Oldershaw of the Department of Psychology have developed a system to characterize parents who physically abuse their children. This could ultimately allow social service professionals to identify parents in child abuse.

Over the last five years, Walters and Oldershaw, in collaboration with Darlene Hall of the West End Creche, have examined over 100 mothers and their three to six-year-old children who have been physically abused. In the laboratory, the mother and child spend 30 minutes in structured activities such as playing, eating and cleaning-up. The family interaction is video-taped and later analyzed.

The researchers have developed a system which allows them to record the efectiveness of parenting skills. They are particularly interested in disciplinary strategies because abuse most commonly occurs when the parent wants the child to comply. "It's a question of trying to determine which type of parent produces which type of child or which type of child elicits which type of parental behaviour," explains Oldershaw.

As a result of their work, Walters and Oldershaw have identified distinct categories of abusive parents and their children. 'Harsh/intrusive' mothers are excessively harsh and constantly badger their child to behave. Despite the fact that these mothers humiliate and disapprove of their child, there are times when they hug, kiss or speak to them warmly. This type of mothering produces an aggressive, disobedient child.

A 'covert/hostile' mother shows no positive feelings towards her child. She makes blatant attacks on the child's self-worth and denies him affection or attention. For his part, the child tries to engage his mother's attention and win her approval.

An 'emotionally detached' mother has very little involvement with her child. She appears depressed and uninterested in the child's activities. The child of this type of mother displays no characteristics which set him apart from other children.

In order to put together a parenting profile, the two researchers examine the mother/child interaction and their perception and feelings. For instance, Walters and Oldershaw take into account the mother's sense of herself as a parent and her impression of her child. The researchers also try to determine the child's perception of himself or herself and of the parent. Abusive parents are often believed to have inadequate parenting skills and are referred to programs to improve these skills. These programs are particularly appropriate for parents who, themselves, were raised by abusive parents and as a result are ignorant of any other behavior toward her child.

One of the goals of the psychologists is to provide information to therapists which will help tailor therapy to the individual needs of the abusive parents. "Recidivism rates for abusive care-givers are high," says Walters. "To a large extent, abusive parents which require a variety of treatment. "Their research is funded by the Social Sciences and Humanities Research Council.

Wednesday, May 25, 2005

Nonaktifkan Hamid Awaluddin

Kasus dugaan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah semakin terang. Namun, perkembangan penyidikan kasus ini terasa lambat. Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, misalnya, sudah mengaku bahwa setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu atau Rp 1,008 miliar dari total dana US$ 1,155 juta. Uang ini diambil dari dana taktis KPU, pos anggaran yang berasal dari pemenang tender pengadaan barang, yakni perusahaan yang ditunjuk mengadakan keperluan logistik pada Pemilu 2004.

Adapun anggota KPU yang menerima uang itu, menurut Hamdani, termasuk menteri yang sekarang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin. Selama di KPU, Hamid memang pernah menjadi ketua tim pengadaan kartu pemilih untuk mencetak 145 juta kartu dengan harga penawaran Rp 69 miliar. Namun, Hamid berkelit dengan mempertanyakan apa yang dimaksud dengan dana taktis itu. Jika yang dimaksud dana taktis itu adalah dana di luar gaji atau honorarium bulanan, Hamid mengaku menerimanya. Tapi ia mengaku tidak mengetahui dari mana dana itu.

Sudah sepantasnya Komisi Pemberantasan Korupsi segera memeriksa Hamid Awaluddin supaya kasus itu semakin jelas hitam-putihnya. Kita perlu menyampaikan hal ini karena kinerja KPK terkesan lambat.

Pemeriksaan Hamid menjadi penting karena posisinya sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ikut menentukan berhasil-tidaknya upaya pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangan lupa pula, Hamid bahkan pernah mengirimkan koruptor ke penjara Nusakambangan. Karena itu, Hamid harus bersih dari virus korupsi.

Seandainya status Hamid sebagai menteri menghalangi atau membuat KPK rikuh, ya, sebaiknya dia dinonaktifkan sementara. Apabila pemeriksaan selesai dan ternyata Hamid benar bersih, dia bisa aktif kembali di pemerintahan. Sebaliknya, kalau Hamid terbukti melakukan pelanggaran atau tindak pidana korupsi, Presiden Yudhoyono harus rela melepaskan pembantunya dari kabinet. Bahkan Hamid harus berinisiatif sendiri menghuni penjara di Nusakambangan. Memberantas korupsi tak bisa setengah-setengah.

Kita ingin KPK tuntas mengusut dugaan korupsi di KPU. Jangan sampai kasus ini mengambang dan hanya Mulyana yang jadi korban. Kalau memang semuanya terlibat, kita harus rela mengganti semua anggota KPU. Sekalian mengembalikan ide awalnya bahwa anggota KPU hanyalah pembuat kebijakan dan mengarahkan, bukan mengurusi proyek-proyek. Andaikata ide awal itu tetap dipegang teguh, korupsi di KPU tak akan menyeret lembaganya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Mei 2005

Thursday, May 19, 2005

Cover Koran Tempo Edisi Minggu

Konsepnya adalah poster/cover, mirip cover majalah Tempo. Visualnya adalah foto berita terkuat pada hari Sabtu, misalnya pemenang Miss Universe. Foto itu diberi judul besar, katakanlah MISS UNIVERSE 2005 yang menggambarkan sosok Miss A sedang diberi mahkota. Lalu ada keterangan singkat, 5 W + 1 H. Panjangnya sekitar 1.500 karakter.

Cover juga bisa kita isi dengan foto yang mencerminkan intisari berita selama sepekan, misalnya bahaya polio, diwakili oleh gambar sosok anak yang tergolek di ranjang rumah sakit. Seandainya foto jenis ini yang dipilih, contoh judulnya: AWAS, POLIO! atau POLIO STRIKES BACK. Di bagian bawahnya kita bisa menuliskan fenomena kekhawatiran masyarakat sepanjang pekan terakhir gara-gara berita kemunculan kembali wabah polio.

Foto tokoh minggu ini, misalnya mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang tengah diincar Tim Kasus Munir untuk diperiksa, bisa dipertimbangkan untuk dimuat. Contoh judulnya: HENDRO DIINCAR atau TIM MUNIR MENGINCAR HENDRO. Foto ini hanya diberi sedikit keterangan, berisi alasan mengapa kita memilih dan memuatnya. Kita tuliskan saja, misalnya, penjelasan tentang alasan Tim Munir mengincarnya.

Saya bayangkan, beberapa alternatif cover seperti di atas akan membuat pembaca yang menikmati koran di hari Minggu tetap merasa tak ketinggalan berita, sekaligus mendapatkan hiburan setelah penat dihajar kerja sepekan. Semacam jeda kemanusiaan begitulah. Pembaca tak perlu berkerut di hari libur, tapi tetap mendapatkan informasi terakhir. Bagi tempo, konsep ini menampung dua keinginan sekaligus. Tujuan menjadikan koran minggu sebagai koran hari ketujuh terwakili. Keinginan menyajikan berita santai juga terpenuhi.

Mengapa saya memilih konsep cover koran minggu seperti ini? Halaman depan itu ibarat pintu masuk orang yang ingin membaca seluruh isi koran. Bila pintunya saja sudah tak menggiurkan, menggugah rasa dan minat, jangan harap orang akan masuk lebih dalam. Tapi kita juga tak bisa menjejalkan semua yang kita anggap bagus dan menarik di halaman depan. Kita harus jeli memilih, mana yang PALING menarik. Ini format kompak, bung! Bukan layar lebar.

Ngomong-omong soal minat, sebenarnya apa sih yang paling menarik buat pembaca? Bagaimana pula nasib berita yang layak headline?

Bersihkan Istana dari Korupsi

Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar serius akan membersihkan korupsi dimulai dari "rumah" sendiri, sekaranglah saat yang tepat. Kejanggalan yang ditemukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Sekretariat Wakil Presiden pada tahun anggaran 2003 senilai Rp 7 miliar lebih bisa dijadikan momentum. Presiden Yudhoyono diharapkan tidak mengulangi adanya dana Rp 100 juta yang digunakan untuk pernikahan putri Wakil Presiden Hamzah Haz ketika itu. Dugaan penggelembungan anggaran di lingkar dekat kekuasaan itu diharapkan tidak terjadi lagi sekarang ini.

Kejanggalan memang belum tentu korupsi. Mungkin saja sekadar administrasi yang tidak tertib. Bisa juga karena ada pejabat yang malas atau alpa menyetorkan laporan. Apalagi Sekretariat Wakil Presiden juga sudah memberikan klarifikasi ke BPKP dan mengklaim bahwa negara tidak dirugikan. Alasannya, misalnya, dana Rp100 juta untuk pernikahan putri Hamzah pada Agustus 2003 itu telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1979 tentang Hak Keuangan Presiden dan Wakil Presiden. Undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa seluruh kebutuhan keluarga presiden dan wakilnya dibiayai negara.

Meskipun demikian, belum tentu juga korupsi tak terjadi. Toh, temuan BPKP itu belum diklarifikasi secara hukum. Karena itu, menurut hemat kami, sudah selayaknyalah bila BPKP segera meneruskan temuannya ke kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap dugaan perlu dituntaskan. Setiap tuduhan harus diklarifikasi sehingga tidak ada keraguan lagi dan syak wasangka. Dan jika memang ada penyimpangan, tidak perlu terulang di masa depan.

Tentu kita harus berbaik sangka tentang yang terjadi di kantor wakil presiden dulu. Boleh jadi ini hanya cerminan kekurangpekaan individu terhadap anggaran, bukan pelanggaran yang sengaja dilakukan.

Memang dibanding kasus megakorupsi lain yang nilainya mencapai triliunan rupiah, jumlah Rp 7 miliar itu bukan tergolong luar biasa. Namun, korupsi tetaplah korupsi seberapa pun jumlahnya. Berapa pun nilainya, bila terbukti, pelakunya layak dihukum.

Kalau Presiden Yudhoyono ingin berbeda dengan pendahulunya, sekaranglah saatnya membersihkan hal-hal yang janggal di "rumah"-nya. Sudah jadi rahasia umum pada zaman dulu bahwa kantor Sekretariat Negara ataupun Sekretariat Wakil Presiden merupakan "sarang" proyek. Dan setiap proyek ini sangat mudah terpeleset menjadi sumber korupsi.

Kami juga menyarankan, tugas dan wewenang dua lembaga itu diubah saja. Dua kantor sekretariat itu, misalnya, hanya difungsikan untuk memelihara dokumen negara. Bisa juga kedua lembaga itu terlibat dalam proyek-proyek membangun identitas dan kebanggaan bangsa, misalnya memilih pegawai, guru, atau pelajar teladan. Tugas yang lain, terutama yang menyangkut proyek, biarlah diurus oleh departemen teknis. "Halaman dalam" Istana harus bersih dari korupsi, sebelum Presiden membersihkan tempat lain.

Editorial Koran Tempo, 20 Mei 2005