Wednesday, May 25, 2005

Nonaktifkan Hamid Awaluddin

Kasus dugaan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah semakin terang. Namun, perkembangan penyidikan kasus ini terasa lambat. Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin, misalnya, sudah mengaku bahwa setiap anggota KPU menerima US$ 105 ribu atau Rp 1,008 miliar dari total dana US$ 1,155 juta. Uang ini diambil dari dana taktis KPU, pos anggaran yang berasal dari pemenang tender pengadaan barang, yakni perusahaan yang ditunjuk mengadakan keperluan logistik pada Pemilu 2004.

Adapun anggota KPU yang menerima uang itu, menurut Hamdani, termasuk menteri yang sekarang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu. Tentu saja yang dimaksudkan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin. Selama di KPU, Hamid memang pernah menjadi ketua tim pengadaan kartu pemilih untuk mencetak 145 juta kartu dengan harga penawaran Rp 69 miliar. Namun, Hamid berkelit dengan mempertanyakan apa yang dimaksud dengan dana taktis itu. Jika yang dimaksud dana taktis itu adalah dana di luar gaji atau honorarium bulanan, Hamid mengaku menerimanya. Tapi ia mengaku tidak mengetahui dari mana dana itu.

Sudah sepantasnya Komisi Pemberantasan Korupsi segera memeriksa Hamid Awaluddin supaya kasus itu semakin jelas hitam-putihnya. Kita perlu menyampaikan hal ini karena kinerja KPK terkesan lambat.

Pemeriksaan Hamid menjadi penting karena posisinya sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ikut menentukan berhasil-tidaknya upaya pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangan lupa pula, Hamid bahkan pernah mengirimkan koruptor ke penjara Nusakambangan. Karena itu, Hamid harus bersih dari virus korupsi.

Seandainya status Hamid sebagai menteri menghalangi atau membuat KPK rikuh, ya, sebaiknya dia dinonaktifkan sementara. Apabila pemeriksaan selesai dan ternyata Hamid benar bersih, dia bisa aktif kembali di pemerintahan. Sebaliknya, kalau Hamid terbukti melakukan pelanggaran atau tindak pidana korupsi, Presiden Yudhoyono harus rela melepaskan pembantunya dari kabinet. Bahkan Hamid harus berinisiatif sendiri menghuni penjara di Nusakambangan. Memberantas korupsi tak bisa setengah-setengah.

Kita ingin KPK tuntas mengusut dugaan korupsi di KPU. Jangan sampai kasus ini mengambang dan hanya Mulyana yang jadi korban. Kalau memang semuanya terlibat, kita harus rela mengganti semua anggota KPU. Sekalian mengembalikan ide awalnya bahwa anggota KPU hanyalah pembuat kebijakan dan mengarahkan, bukan mengurusi proyek-proyek. Andaikata ide awal itu tetap dipegang teguh, korupsi di KPU tak akan menyeret lembaganya.

Diterbitkan di Koran Tempo, 14 Mei 2005

No comments: