Tuesday, March 13, 2007

Privilese untuk Bakrie

Sikap pemerintah terhadap Aburizal Bakrie layak dipertanyakan karena memberikan keistimewaan kepada pendiri kelompok usaha raksasa Grup Bakrie ini. Privilese setidaknya tampak dalam pemberian kredit kepada grup ini untuk proyek jalan tol Kanci-Pajagan di Jawa Tengah. Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga memberikan dana talangan dalam kasus lumpur Lapindo Brantas Inc.--perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok Bakrie.

Duit yang akan dikucurkan pemerintah untuk mengatasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, amat besar, Rp 7,6 triliun. Uang ini digunakan untuk membayar ganti rugi dan merelokasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur. Tujuannya menolong warga Sidoarjo yang sudah terlalu lama menderita akibat luapan lumpur Lapindo. Roda perekonomian Jawa Timur pun nyaris lumpuh karena jalan tol yang menjadi nadi utama lalu lintas di sana tertutup lumpur. Kendati maksudnya baik, penggunaan anggaran negara ini akan jadi persoalan karena semburan lumpur itu bukan bencana nasional.

Kelompok Bakrie juga ditolong lagi dalam proyek jalan tol. Lewat Bank Rakyat Indonesia dan Bank Negara Indonesia, pemerintah akan menyalurkan kredit kepada anak usaha kelompok ini, yakni PT Semesta Marga Raya. Inilah investor pembangunan ruas jalan tol Kanci (Cirebon)-Pejagan (Brebes) sepanjang 35 kilometer. Proyek ini menelan total biaya investasi Rp 2,09 triliun. Dalam pembiayaan proyek ini, BNI menjadi pemimpin sindikasi dengan memberikan kredit 65 persen dari total kebutuhan dana itu atau senilai Rp 897,6 miliar. Adapun sisanya, 35 persen atau senilai Rp 483,3 miliar, dibiayai oleh BRI. Kelompok Bakrie akan menyetor Rp 734 miliar.

Sungguh ganjil pemerintah memberikan fasilitas kepada Grup Bakrie pada saat kelompok usaha itu masih tersangkut masalah penanganan semburan lumpur Lapindo. Apakah karena posisi Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat?

Penyaluran kredit jalan tol ke anak usaha Bakrie sebenarnya amat berisiko bagi BNI dan BRI. Sebab, masalah lumpur Lapindo berpotensi membebani cash flow kelompok usaha secara keseluruhan. Jika Lapindo kekurangan uang dalam menangani masalah di Sidoarjo, Grup Bakrie akan mengambil dari hasil usaha lainnya. Ini tentu berbahaya bagi pelunasan kredit.

Keputusan BRI membiayai proyek infrastruktur juga perlu dipersoalkan. Selama ini fokus bank itu adalah pembiayaan usaha kecil dan menengah. Mengapa sekarang tiba-tiba BRI membiayai proyek infrastruktur? Padahal, di masa lalu, BRI pernah goyang karena kredit macet Texmaco. Pengalaman buruk juga pernah dilakoni bank pemerintah lainnya akibat penyaluran kredit ke pengusaha yang dekat dengan penguasa. Untuk menyelamatkan bank-bank itu, pemerintah harus mengucurkan dana rekapitulasi sekitar Rp 300 triliun.

Kesalahan seperti itu tak boleh terulang. Seharusnya perbankan berfokus mengucurkan kreditnya pada sektor yang benar-benar aman atau sasaran yang menjadi tulang punggung ekonomi, seperti usaha kecil-menengah.