Tuesday, December 14, 2004

Cahaya di Ujung Lorong

KABAR gembira itu datang dari ajang Olimpiade Sains Junior Internasional I. Anak-anak kita menjadi juara umum kompetisi yang baru pertama kali diselenggarakan itu dengan menyabet delapan medali emas dan empat medali perak.

Mereka -- Stephanie Senna, Diptarama, dan kawan-kawannya dari beberapa sekolah menengah pertama di Tanah Air -- menyisihkan pesaing-pesaingnya dari Cina Taipei, Thailand, Korea Selatan, Rusia, dan Kazakhstan.

Di tengah berhamburannya berita tentang bencana alam, kecelakaan, korupsi, peledakan gereja, penembakan misterius, penutupan bank, dan sejuta kabar muram lain yang belakangan ini menghias halaman-halaman koran, kemenangan yang diraih para Einstein muda itu seperti setetes embun yang menyejukkan.

Dalam kesunyian, jauh dari hiruk-pikuk urusan politik, gemerlap pentas Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Kontes Dangdut KDI, dan sebangsanya, mereka tekun berlatih selama sembilan bulan sebelum bertanding. Bukan jalan yang mudah tentunya bagi anak-anak seusia mereka yang kebanyakan lebih suka jalan-jalan di mal atau kebut-kebutan di jalan.

Anak-anak muda yang cerdas itu bukan hanya teladan yang bagus bagi teman-teman sebayanya. Mereka sebetulnya juga cahaya di ujung lorong yang gelap bagi bangsa ini. Ke pundak merekalah sebetulnya kita mesti menyampirkan harapan di masa depan.

Kita membutuhkan banyak orang cerdas, sekarang dan di masa datang. Kita memerlukan orang-orang cerdas di semua lapisan. Kita perlu polisi yang cerdas, sehingga tak ada lagi terpidana yang kabur sewaktu hendak dieksekusi. Kita membutuhkan jaksa yang cerdas sehingga tahu cara menjerat para koruptor yang licin.

Sayang, menjadi orang cerdas di Indonesia ternyata tidak bisa populer. Orang cerdas tak mendapat publikasi secara luas di media masa, terutama televisi. Bahkan kalangan Istana pun lebih memilih para artis yang baru saja memenangkan Piala Citra untuk diantarkan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang para peraih medali Olimpiade Sains itu.

Mungkin ada yang salah di Indonesia ini. Orang-orang cerdas sepertinya kurang mendapat tempat dan penghargaan. Coba saja kalau atlet bulu tangkis mendapat medali emas di Olimpiade, pastilah sejak dari bandara disambut dengan meriah, lalu diarak ke tengah kota, berputar-putar sehingga jalanan macet, kemudian menuju Balai Kota.

Siapa yang mengarak pemenang medali emas Olimpiade Sains Junior? Siapa yang mewawancarainya untuk menanyakan bagaimana perjuangannya merebut emas itu? Tidak ada, atau kalau ada, ya, seadanya saja. Bandingkan dengan hidup para bintang kontes, apalagi setelah jadi artis yang katanya sudah menyandang selebritas. Keseleo kakinya sedikit saja sudah puluhan kamera memotret.

Siapa pula yang sejak awal melatih dan mengarahkan jalan mereka menuju sukses? Pemerintah? Bukan. Lagi-lagi segelintir pionir seperti Yohanes Surya dan kawan-kawannya yang berjuang--mereka pulalah yang pernah mengantarkan anak muda kita berjaya di Olimpiade Fisika.

Berilah penghargaan kepada orang-orang cerdas, mulai hari ini. Meski jalan yang ditempuh berliku dan penuh tikungan, ada baiknya anak muda seperti Stephanie dan Diptarama mendapatkan apresiasi yang lebih banyak lagi. Pemerintah, terutama, perlu memberikan perhatian konkret yang lebih besar kepada mereka. Jangan sampai cahaya di ujung lorong ini padam dan menghilang begitu saja. ***

Dimuat di Koran Tempo, 15 Desember 2004


No comments: