Wednesday, December 01, 2004

Palestina tanpa Arafat

PEMIMPIN Palestina Yasser Arafat kini tergolek tak berdaya di sebuah bangsal rumah sakit militer Prancis, nun jauh dari negerinya. Napasnya satu-satu. Mesin-mesin menopang raganya. Doa-doa melayang ke pembaringannya. Dan lilin-lilin pun dinyalakan untuk menerangi jalan kesembuhannya.

Bukan Arafat namanya kalau penderitaannya tak memancing simpati jutaan orang di seluruh dunia. Dia Bapak Bangsa Palestina--seperti halnya Julius Nyerere di Tanzania, Kardinal Makarios di Siprus, dan Kenneth Kaunda di Zambia.

Arafatlah yang menyatukan puak Palestina yang berserakan di mana-mana. Diawali dengan upaya konsolidasi yang solid, Arafat berhasil membangun sebuah bangsa yang nyaris mustahil semula. Dia pulalah yang mengusung kemerdekaan bangsanya ke pentas dunia setelah berjuang melalui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpinnya sejak 1969.

Di mata bangsanya, Arafat alias Abu Ammar adalah pahlawan. Ia mendapat penghormatan rakyatnya, bukan semata karena simbol kemerdekaan. Sebagai manusia, ia sosok yang hangat.

Karena itulah, begitu Arafat keluar dari markas besarnya di Tepi Barat menuju Prancis pekan lalu, lantaran sakit yang teramat sangat, banyak kalangan waswas. Orang ramai mulai mengkhawatirkan situasi Palestina seandainya Arafat benar-benar mangkat suatu hari nanti.

Kosongnya kursi kepemimpinan Palestina jelas akan membawa masalah baru. Apalagi Israel, seteru abadi Palestina, terlihat belum mengendurkan tekanan dan justru seperti ingin memancing di air keruh.

Kita tahu setidaknya ada 13 faksi yang bertolak belakang di sana. Ada faksi garis keras seperti Hamas dan Islamic Jihad yang selalu memilih jalan pedang melawan Israel, musuh besarnya. Ada pula faksi Fatah yang sejak dipimpin Arafat dikenal sebagai kelompok moderat yang terbuka pada negosiasi dan kompromi.

Di sisi lain, perpindahan tongkat estafet kepemimpinan Palestina belum disiapkan secara mulus. Siapa calon pembawa tongkat berikutnya masih samar-samar.

Saat ini paling tidak ada beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Arafat. Ada Perdana Menteri Ahmed Qorei, yang mengurus administrasi pemerintahan sehari-hari, termasuk soal keuangan dan keamanan, serta penjabat sementara Ketua PLO Mahmud Abbas dan mantan Kepala Keamanan Palestina Muhammad Dahlan.

Hanya, Palestina tampaknya belum siap melahirkan nama baru sebagai pengganti Arafat. Padahal peluang bukan tak ada. Trio pemimpin itu, misalnya, bisa dipercaya mendesain rencana dan kesepakatan damai baru dengan Israel. Setelah itu, pemilu juga bisa dirancang segera.

Dari pemilu yang demokratis itulah kita berharap kelak akan lahir pemimpin baru Palestina. Pemimpin yang memperoleh legitimasi sebagai pengganti Arafat, hingga faksi-faksi yang berseteru dengan sendirinya akan tunduk pada legitimasi itu.

Memang jalan menuju pemilu tidak mudah. Sebelum hal itu tercapai, pintu perundingan dengan Israel mesti terus dibuka. Gencatan senjata juga harus segera ditegakkan, dengan atau tanpa Arafat.

Israel mesti berunding dengan paradigma baru. Tuntutan bahwa sebelum ada perundingan Arafat mesti mereformasi negara Palestina dan mengendalikan pengebom bunuh diri adalah omong kosong. Jangan lupa, di tengah lingkaran setan kekerasan, penyerbuan Israel justru menjadi dinamo penggerak bom bunuh diri itu. ***

Dimuat di Koran Tempo, 10 November 2004



No comments: