Monday, April 10, 2006

Janji untuk Papua

Respons pemerintah terhadap gejolak di Papua, berupa janji mengucurkan dana khusus Rp 12,7 triliun, memang tidak salah. Bersikap sensitif atas persoalan yang dianggap krusial dan punya dampak besar jelas diperlukan. Tapi bersikap realistis juga banyak gunanya. Anggaran belanja negara tahun ini tekor. Dana besar untuk Papua, yang belum jelas dari mana sumbernya, akan semakin menekan anggaran. Butuh kerja luar biasa keras menutupi bolongnya anggaran negara.

Kerja besar itu berupa "main akrobat" dengan pos-pos anggaran. Satu pos dikurangi demi menambah pos yang lain. Ini tidak gampang. Tahun ini pemerintah mesti mengeluarkan subsidi tambahan Rp 10,2 triliun supaya tarif listrik tak naik, dan Rp 17,2 triliun dana tambahan pendidikan Rp 17,2 triliun sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bulan lalu. Padahal defisit anggaran belanja sekarang Rp 22 triliun.

Menggenjot pemasukan lewat pajak dan ekspor mudah secara teori, tapi sangat berat dijalankan di lapangan. Dunia usaha lesu menghadapi melemahnya daya beli rakyat. Pemasukan menurun, otomatis pajak yang dibayarkan kepada negara juga susut. Untuk menomboki anggaran, ujung-ujungnya pemerintah negeri ini harus melakukannya dengan mencari utang luar negeri. Soal anggaran negara tahun ini mungkin terpecahkan, tapi dengan memindah beban ke masa datang, beban bagi anak-cucu kita.

Kita setuju Papua harus dibantu. Daerah itu sudah cukup lama merana. Gejolak yang terjadi dewasa ini merupakan reaksi atas pelbagai masalah yang terus bertumpuk: mulai soal HIV/AIDS, pembalakan liar, gizi buruk, kelaparan, sampai tingginya tingkat kematian ibu dan bayi. Sudah lama orang Papua merasa eksplorasi kekayaan alamnya hanya sedikit yang dikembalikan pemerintah ke bumi Papua.

Tahun lalu, misalnya, dari perusahaan tambang PT Freeport Indonesia saja, pemerintah menerima lebih dari Rp 10 triliun, tapi anggaran untuk Papua tahun ini hanya sekitar Rp 7,2 triliun. Perlu ditanyakan: apakah angka itu sudah memenuhi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Undang-undang itu mengatur persentase bagi hasil yang cukup besar untuk Papua--80 persen dari pertambangan umum, 70 persen dari minyak bumi, dan 70 persen dari gas alam.

Katakanlah dana besar itu tersedia, soal lain yang penting adalah penyalurannya. Yang akan diguyur dana adalah bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan. Ini sasaran yang tepat. Tapi cara yang pas juga perlu dicari agar dana besar itu tak bercecer--seperti banyak proyek serupa.

Papua perlu perhatian lebih, bukan hanya di kala provinsi itu bergejolak. Justru kebiasaan menggerojok dana besar ke daerah yang bermasalah bukan tradisi yang baik untuk diteruskan. Selain terkesan reaktif, langkah ini menimbulkan preseden buruk dan bisa ditiru oleh daerah lain yang memiliki potensi konflik serupa.

Diterbitkan di Koran Tempo, 11 April 2006

No comments: