Monday, April 03, 2006

Perang Kartun

Tak ada yang luar biasa sebetulnya dengan pemuatan karikatur di sebuah koran. Opini berbentuk gambar itu merupakan bentuk dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi warga negara terhadap masalah tertentu. Kebebasan yang dijamin oleh hukum negara itu tumbuh di Indonesia dan Australia. Pers di dua negara ini termasuk institusi yang dijamin kebebasannya.

Karikatur yang dimuat koran The Weekend Australian edisi Sabtu lalu, yang menggambarkan sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menunggangi orang Papua, mestinya juga dilihat sebagai bagian dari kebebasan tadi. Ungkapan Presiden Yudhoyono bahwa ia prihatin dengan pemuatan kartun yang dianggapnya "tidak senonoh" itu boleh-boleh saja diucapkan. Komentar ini serupa tapi tak sama dengan yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, yang mengatakan karikatur The Weekend itu, "Berselera rendah, menyerang, dan tidak sopan."

Artinya, tidak perlu sebuah karikatur dianggap mewakili sikap pemerintah. Sikap ini ditunjukkan pihak Australia ketika koran Rakyat Merdeka, yang terbit di Jakarta edisi Senin pekan lalu, menurunkan karikatur yang menggambarkan Perdana Menteri Australia John Howard tengah "menaiki" Menteri Luar Negeri Alexander Downer. Howard menyesalkan, sedangkan Downer mengatakan karikatur itu berselera rendah.

Bahwa secara teknis kartun di Rakyat Merdeka dan The Weekend dianggap buruk, ini menyangkut cita rasa kedua penerbitan itu saja. Para petinggi kedua negara perlu menunjukkan kelasnya untuk tidak bereaksi berlebihan, apalagi sampai membuat hubungan kedua negara semakin membara. Pers dan pemerintah, di Indonesia ataupun Australia, merupakan dua institusi yang berbeda dan tak bisa dicampuradukkan. Jika sebuah karikatur dianggap merendahkan, tidak bisa pemerintah negara tempat media itu terbit dituntut untuk ikut bertanggung jawab.

Maka, sebaiknya sekarang perhatian perlu dipusatkan pada pemulihan hubungan setelah memanas akibat pemberian visa proteksi sementara oleh pemerintah Canberra kepada 42 warga Papua. Perlu ada pertemuan antarpejabat tinggi untuk menjernihkan yang keruh, misalnya bahwa permintaan suaka dipicu oleh pembunuhan massal oleh militer Indonesia di Papua. Sementara itu, Tentara Nasional Indonesia membantah tuduhan ini. Tindakan balasan Jakarta, dengan melayangkan protes dan memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, rasanya sudah cukup memberikan sinyal bahwa Indonesia ingin Australia menjelaskan pemberian visa proteksi itu.

Setelah pertemuan antarpejabat tinggi, Jakarta dan Canberra sebaiknya memfokuskan diri kembali pada masalah yang utama: penanganan para imigran dan pencari suaka. Kedua negara mesti kembali duduk bersama untuk mengevaluasi kebijakan dan mencari titik temu seandainya kelak muncul lagi persoalan yang menyangkut keimigrasian. Ini jelas lebih penting dan bermakna ketimbang membiarkan hubungan dua negara "terbakar" oleh hal-hal yang kurang relevan seperti urusan karikatur itu.

Dimuat di Koran Tempo, 4 April 2006

No comments: