Monday, September 18, 2006

Menyikapi Blunder Sri Paus

Sudah sepantasnya jika Paus Benediktus XVI meminta maaf kepada umat Islam yang tersinggung oleh pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu. Pidato semacam itu bukan hanya gegabah, tapi secara politik merupakan langkah blunder yang berbahaya.

Dalam teks pidato berjudul "Faith, Reason and the University: Memories and Reflections" itu, Paus mengutip sebuah telaah hubungan agama dan kekerasan dengan mengambil dokumen lama Profesor Theodore Khoury. Dokumen itu membahas dialog di Ankara, Turki, pada 1391 antara Kaisar Byzantine Manuel II Paleologus dan seorang Persia.

Percakapan yang dikutip Paus yang berasal dari Jerman itu antara lain menyebutkan, "... kabar baru yang dibawa Muhammad, kalian bakal menjumpai hal-hal yang tidak manusiawi sebagaimana perintahnya menyebarkan agama dengan jalan pedang."

Sejumlah pemimpin agama dan politik negara muslim menganggap pidato itu sebagai serangan kepada Islam. Tapi, kalau dibaca lebih teliti dan dengan kepala dingin, guru besar dogmatika ini memang tidak sedang menyatakan pendapat, melainkan hanya mengutip, memberikan contoh pendapat orang lain bahwa iman sering tidak rasional.

Namun, keberatan para pemimpin agama dan politik negara muslim juga bisa dimengerti. Apalagi ucapan itu muncul di tengah situasi dunia yang sedang tegang oleh isu yang mengaitkan Islam dan kekerasan (terorisme). Pidato itu hanya akan memicu eskalasi ketegangan yang makin meningkat. Pemimpin umat Katolik itu mestinya cukup peka dan berhati-hati menjaga ucapannya.

Apalagi kontroversi ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada 2004, saat masih sebagai teolog tinggi Vatikan, ia menentang Turki bergabung ke Uni Eropa. Alasannya, Turki sebagai negara muslim secara permanen kontras dengan Eropa. Lalu awal tahun ini, Israel mengecam sang pemegang Takhta Suci itu karena menghapus sebutan Negara Yahudi dalam daftar negara yang menjadi korban terorisme.

Di bekas kamp konsentrasi Nazi, di Auschwitz, Polandia, Mei lalu, pemimpin umat Katolik Roma itu memaafkan rakyat Jerman dari "dosa" nazisme, dengan mengatakan negara itu jatuh sebagai korban "kelompok kriminal" pada 1930-an. Serangkaian pernyataan itu tentu saja sangat mengejutkan, mengingat ia baru sekitar setahun menggantikan mendiang Yohanes Paulus II.

Pernyataan sembrono ini memang tak bisa terhapus begitu saja. Umat Islam boleh saja dan mereka berhak merasa tersinggung, tapi mestinya bisa berlapang dada menerima permintaan maafnya. Siapa pun kita harus berpikir jernih dan tak memperpanjang masalah ini. Bagaimanapun Paus adalah manusia yang bisa keseleo lidah. Ia harus lebih berhati-hati dan memastikan insiden semacam itu tak akan terulang lagi. l

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 September 2006

No comments: