Friday, June 03, 2005

Pelajaran buat Australia

KITA tak pernah setuju dengan aksi terorisme. Karena itu, kita mengutuk keras teror yang ditujukan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia. Terorisme adalah tindakan pengecut dan tak bertanggung jawab. Tidak ada satu dalih apa pun yang membenarkan aksi tersebut.

Kita hargai Perdana Menteri Australia John Howard yang telah meminta maaf atas insiden tersebut. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Australia pernah menuntut agar para pelaku peledakan bom Bali yang menewaskan banyak warga Negeri Kanguru itu dihukum secara setimpal. Canberra juga meminta Jakarta bersedia bekerja sama mengungkapkan kasus peledakan bom di Kedutaan Besar Australia di Kuningan. Sudah sepantasnya bila kita sekarang meminta hal yang sama.

Kita belum tahu apa motif teror itu sesungguhnya. Namun, jika benar teror itu terkait dengan vonis yang diterima oleh Schapelle Corby, perempuan Australia yang dihukum 20 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana di Bali, sungguh tak masuk akal.

Corby sebenarnya tergolong orang yang beruntung karena tertangkap basah di Bali. Para hakim di sana mungkin sedang bermurah hati atau memang "terpengaruh" oleh tekanan pemerintah dan media massa Australia, sehingga mereka menjatuhkan hukuman yang tergolong ringan. Corby "cuma" diganjar hukuman 20 tahun penjara. Seandainya saja Corby berkelakuan baik selama di bui, bukan tak mungkin ia akan mendapatkan remisi dan tak perlu mendekam di penjara selama dua dasawarsa.

Bayangkan kalau saja Corby tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta dan diadili di Pengadilan Negeri Tangerang, ceritanya bisa lain. Pengadilan Tangerang terkenal sebagai "kuburan" para penjahat narkotik. Hakim-hakim Tangerang kerap menjatuhkan vonis tanpa ampun dan tak pandang bulu. Baik pria maupun wanita, warga Indonesia, Nigeria, ataupun warga asing lain, bila terbukti terlibat kejahatan narkoba, pasti divonis hukuman mati atau minimal seumur hidup di Tangerang. Nasib Corby jauh lebih "baik" ketimbang mereka yang dihukum di Tangerang.

Warga Australia, terutama para pendukung Corby, mestinya menggunakan akal sehat dan tak bereaksi berlebihan menanggapi vonis Pengadilan Negeri Denpasar. Misalnya sampai memboikot Indonesia. Toh, ini kasus kriminal biasa. Biarlah diselesaikan melalui proses hukum yang biasa juga. Bila tak puas pada putusan tingkat pertama, toh Corby masih punya kesempatan naik banding dan, bila perlu, mengajukan kasasi nantinya. Artinya, dia masih memiliki peluang. Anggap saja kasus itu sebagai pelajaran buat Corby, juga warga Australia yang lain, agar tak melanggar hukum.

Dimuat di Koran Tempo, 3 Juni 2005

No comments: