Thursday, June 30, 2005

Republik SMS

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang trendi--setidaknya dalam hal penggunaan alat komunikasi. Dia menjadi presiden pertama Indonesia yang mengirim pesan pendek atau SMS kepada rakyatnya. Isi pesan itu mulia, ajakan memerangi narkoba.

Indonesia memang Republik SMS. Sekarang sudah jamak orang saling kirim SMS. Selain terkesan lebih trendi, ide SMS oleh Presiden Yudhoyono orisinal dan--ini yang penting--tak melanggar aturan. Kita layak menghargai niat baik Presiden ini.

Namun, niat baik saja belum cukup. Ada beberapa hal yang harus dibuat jelas. Soal hak mengirim SMS, misalnya. Apakah seorang presiden punya hak meminta semua operator telepon seluler mengirimkan pesan? Siapa yang memberikan hak istimewa ini? Bagaimana bila wakil presiden, menteri, gubernur, wali kota, atau pejabat pemerintah lain menuntut hak yang sama?

Bila memang semua pejabat diberi hak yang sama, bisa-bisa banjir SMS menyerbu pengguna telepon seluler setiap hari. Padahal SMS itu belum tentu bermanfaat atau malah tak ada gunanya sama sekali bagi pengguna telepon. Ini dampak yang harus dipikirkan.

Kita patut pula bertanya soal biaya. Kalau diasumsikan ongkos mengirim satu SMS Rp 300 dan jumlah pelanggan telepon seluler yang dikirimi sekitar 10 juta orang, siapa pula yang akan membayar biaya pengiriman sebesar Rp 3 miliar itu? Apabila operator membebankan biaya ini kepada konsumen, ini jelas pelanggaran hak konsumen. Seandainya biaya itu ditanggung operator, sampai kapan operator sanggup menggratiskan layanan SMS sosial semacam itu?

Perlu juga dipertimbangkan wilayah privasi rakyat dalam pengiriman SMS ini. Telepon seluler adalah layanan untuk pribadi di wilayah pribadi. Pelanggan membayar sendiri tagihannya. Dia punya hak menolak pesan yang dirasakannya tak penting atau malah "mengganggu". Tidak seorang pun di negeri yang demokratis ini boleh memaksa pelanggan telepon seluler menerima pesan apa saja di wilayah pribadinya. Ini sama saja dengan telepon rumah kita tiba-tiba berdering dan si penelepon menyampaikan pesan yang baik-baik tanpa kita minta. Hak pelanggan untuk tidak bersedia menerima telepon itu, seperti hak untuk menolak SMS yang berisi ajakan baik, harus juga dihormati.

Memang benar, pemakai telepon seluler yang tak membutuhkan SMS itu bisa langsung menghapusnya, tapi SMS sudah telanjur masuk dan hak pelanggan untuk menolak sudah diabaikan.

Kita sambut ajakan Presiden untuk memerangi narkoba. Tapi sudah selayaknya jika Presiden mengkaji ulang pengiriman SMS massal ini--ketimbang jadi polemik yang tak perlu dan mengurangi pentingnya ajakan pemberantasan narkoba.

Diterbitkan di Koran Tempo, edisi 30 Juni 2005

1 comment:

Ikhlasul Amal said...

Apakah benar SMS tersebut dari Presiden? Atau hanya spam?