Monday, October 31, 2005

Reshuffle dengan Pendekatan Positif

TERLEPAS dari pro dan kontra yang semakin ramai terdengar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang perlu merombak kabinet. Beban persoalan yang dihadapi pemerintahannya, setidaknya sampai empat tahun mendatang, akan semakin berat.

Di tengah lesunya perekonomian, pemerintah harus mengejar target pertumbuhan 6,6 persen. Di bidang penegakan hukum, korupsi yang kian menggurita membutuhkan penanganan yang cepat, tegas, dan cerdas. Angka pengangguran yang terus meningkat juga memerlukan penanganan yang tak gampang. Masih banyak lagi masalah yang perlu ditangani.

Sayangnya, Presiden memiliki pembantu dengan kualifikasi yang berbeda-beda. Tak semua menteri mempunyai program yang jelas untuk menjawab tantangan di depan. Kabinet ini juga terasa kurang solid, kurang koordinasi antara satu menteri dan yang lain. Ada menteri yang sudah tampak bekerja, tapi kurang meyakinkan kemampuannya untuk tantangan yang lebih berat.

Seandainya nanti Presiden jadi merombak kabinetnya, sebaiknya jangan mengikuti pola yang sekarang dipakai: melakukan reshuffle dengan pendekatan negatif. Pendekatan negatif dilakukan dengan menilai program yang sudah dilakukan oleh kabinet. Para menteri diukur dengan indeks prestasi. Seandainya ada menteri yang indeks prestasinya jauh dari yang diharapkan, Presiden akan mempertimbangkan untuk diganti.

Cara ini kurang bijaksana mengingat para menteri tak pernah tahu angka yang menjadi batas lulus atau tidak (passing grade). Cara ini seperti menjadikan menteri layaknya murid sekolah saja. Padahal ini urusan pemerintahan, bukan sekolah. Presiden bukanlah kepala sekolah untuk para menterinya.

Perombakan kabinet sebaiknya dilakukan dengan pendekatan positif. Presiden mencari menteri yang memenuhi kualifikasi, yakni mereka yang dianggap memiliki kemampuan menyelesaikan masalah-masalah yang telah diproyeksikan oleh Presiden. Orang yang dipilih adalah pribadi yang kuat, baik integritas maupun konsep manajerialnya.

Agar tugas Presiden lebih ringan, sebaiknya para menteri mengikat janji untuk bersedia diganti kapan saja bila tak lagi mampu menjawab tantangan. Tak perlu memaksa diri, silakan mundur sendiri apabila banyak programnya yang gagal. Dengan begitu, Presiden lebih mudah memilih tim sesuai dengan target dan beban yang ditetapkannya.

Partai-partai politik atau Wakil Presiden boleh saja mengajukan calon menteri dan dimintai pendapat. Ini realitas politik yang tak bisa ditolak oleh Presiden. Tapi konsultasi bukan berarti tawar-menawar atau malah membuat keputusan bersama-sama. Yang menentukan dan bertanggung jawab atas perombakan kabinet dalam sistem presidensial ini sepenuhnya adalah Presiden. Kalau calon menteri yang diajukan partai atau Wakil Presiden tak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Presiden, ya, sebaiknya tegas-tegas ditolak saja.

Dimuat di Koran Tempo, edisi 1 November 2005

No comments: