Tuesday, October 18, 2005

Kapan Urusan Haji Bebas Korupsi

Tidak terlalu mengagetkan lagi apabila polisi menduga ada penyimpangan dalam pengadaan vaksin dan asuransi haji oleh Departemen Agama. Dugaan penyimpangan, yaitu markup, juga bukan barang baru dalam khazanah kamus korupsi di negeri ini. Bahwa itu diduga dilakukan Departemen Agama, yang selama ini seakan-akan mewakili moralitas bangsa ini, tak perlu membuat kita terkaget-kaget.

Meski baru diduga, inilah untuk kesekian kali terkuak bahwa urusan haji--urusan perjalanan mengunjungi rumah Allah--tidak lepas dari korupsi. Sebelumnya, sudah ada kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar dan Direktur Jenderal Haji Taufik Kamil--keduanya masih ditahan sampai sekarang.

Yang harus segera ditinjau ulang adalah peran Departemen Agama dalam proyek haji. Peran ganda sebagai penyelenggara sekaligus pengontrol perjalanan haji, yang disahkan undang-undang, sudah waktunya dikaji. Departemen itu memberangkatkan 95 persen jemaah setiap tahun, yang total biayanya sekitar Rp 5 triliun per tahun. Tapi, dari dana segunung itu, 200 biro perjalanan haji swasta hanya kebagian 5 persen. Departemen Agama boleh dibilang adalah biro perjalanan haji terbesar di dunia. Peran ganda itu terbukti rawan korupsi. Tugas Departemen Agama sesungguhnya cukup sebagai regulator.

Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji perlu cepat dirampungkan. Undang-undang ini tidak sesuai dengan prinsip good governance karena sistem pengelolaan dana ada pada pemerintah yang cenderung tertutup dalam hal manajemen haji.

Padahal perjalanan ibadah yang kolosal itu--setiap tahun ini diikuti tak kurang dari 200 ribu hujjaj--menuntut manajemen yang ketat dan akuntabilitas yang tinggi. Mengelola dana Rp 5 triliun tak bisa dilakukan tanpa manajemen modern yang transparan dan sikap profesional. Kebocoran gampang terjadi ketika pengelolanya memasukkan keinginan menangguk untung secara curang.

Dengan manajemen yang andal dan jujur, bisa diharapkan ongkos naik haji akan lebih murah. Maka, koran ini menyarankan, jangan pilih-pilih bulu dalam urusan pemberantasan korupsi perjalanan suci ini. Yang bersalah langsung ditangkap, diperiksa, disidangkan, dihukum seberat-beratnya. Aparat Departemen Agama yang terlibat harus dihukum lebih berat. Bukankah mereka ini pagar makan tanaman?

Selanjutnya, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, perlu audit kinerja Departemen Agama, khususnya dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kedua, memberikan kesempatan lebih banyak kepada pihak swasta untuk mengelola haji agar terjadi kompetisi yang adil dan terbuka. Di masa depan, harus dipastikan setiap anggota jemaah mendapat pelayanan yang baik, sesuai dengan kemampuannya, dalam menempuh ibadah penting itu. Jemaah yang biasanya sudah bertahun-tahun menabung untuk naik haji seharusnya dimuliakan, bukan dijadikan sapi perahan.

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Oktober 2005

No comments: