Friday, October 07, 2005

Gagasan Komando Teritorial

Terorisme adalah kejahatan transnasional. Pelakunya bisa datang dari mana saja, bisa jadi berhubungan dengan banyak pihak di berbagai negara, dan melakukan aksi di mana saja. Mungkin karena menyangkut ancaman dari luar negeri itulah TNI berencana menghidupkan kembali komando teritorial -- seperti dikatakan Panglima TNI seusai peringatan hari ulang tahun TNI kemarin. Niat meningkatkan kewaspadaan terhadap teror memang perlu, tapi komando teritorial mungkin bukan jawaban tepat.

Jika menyangkut aksi teror di dalam negeri, semestinya polisilah yang berwenang melakukan penyelidikan, pengusutan, penangkapan, dan seterusnya. Kewenangan ini diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Polisi pulalah yang bertanggung jawab mencegah terjadinya aksi teror, dibantu oleh aparat intelijen.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang menyebutkan bahwa militer dapat melakukan operasi militer selain perang, antara lain untuk menghadapi terorisme. Namun, dalam kondisi negara normal, fungsi teritorial adalah tugas pemerintah sipil. Militer hanya menjalankan tugas ini pada saat keadaan darurat militer. Karena Indonesia tidak berada dalam kondisi darurat, militer tak diperkenankan menjalankan fungsi teritorialnya secara independen, tapi di bawah koordinasi pemerintah.

Menangkal kegiatan teroris harus dilakukan, tapi tidak perlu sampai membuat TNI memiliki aparat hingga ke desa-desa. Mengaktifkan kembali komando teritorial sampai menanam aparat di tingkat desa -- disebut bintara pembina desa (babinsa) -- berpotensi membuatnya terjerumus dalam kesalahan masa lalu.

Di zaman Orde Baru dulu, peran babinsa lebih banyak berurusan dengan penggalangan massa untuk memenangkan Golkar, sebagai alat pemerintah, ketimbang memantau keamanan di desa-desa. Sudah banyak cerita bahwa babinsa justru menimbulkan ketegangan sosial di desa jika penduduk di sebuah desa berseberangan dengan penguasa.

Kehadiran babinsa juga mengandung potensi konflik karena polisi juga menempatkan aparatnya di desa dan perangkat desa pun memiliki pertahanan sipil (hansip). Lagi pula, efektivitas komando teritorial dalam menangkal terorisme juga bisa dipertanyakan. Sudah terbukti bahwa aksi terorisme jalan terus, bahkan di tempat-tempat yang dijaga ketat, baik di sini maupun di negara maju. Amerika Serikat saja, yang memiliki pengamanan berlapis-lapis, menjadi korban ketika dua pesawat ditabrakkan oleh teroris ke menara kembar World Trade Center pada 2001.

Tapi pencegahan terorisme bukan tak perlu dilakukan. Untuk ini lebih baik kinerja aparat kepolisian di desa-desa dan di kampung-kampung yang dibereskan. Kualitas kerja intelijen negara juga perlu diperbaiki. Kalau semua ini dirasa kurang memadai, dan TNI tetap merasa perlu ikut membantu dengan gagasan komando teritorial, sebaiknya soal ini diputuskan oleh wakil rakyat di DPR.

Diterbitkan di Koran Tempo, 6 Oktober 2005

No comments: