Tuesday, October 11, 2005

Perlukah Amrozi cs Segera Dieksekusi

Pemindahan tiga terpidana bom Bali I--Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron--dari penjara Kerobokan, Bali, ke Pulau Nusakambangan merupakan keputusan yang tepat. Akibat meledaknya bom Bali pada Sabtu (1/10), warga Bali marah dan menuntut agar para pelaku bom Bali I yang sudah divonis mati segera dieksekusi. Memang belum pasti pelaku kedua kejahatan itu berkaitan, tapi tak ada yang bisa memastikan juga bahwa kedua kejadian itu tak berhubungan sama sekali. Sebelum kemarahan orang Bali terhadap para pelaku bom itu berubah jadi tak terkendali, pemindahan memang perlu dilakukan.

Kalau para terpidana itu tak dipindahkan, pengusutan para teroris yang meledakkan bom di Kuta dan Jimbaran pada 1 Oktober lalu justru bisa terganggu. Petugas pasti jadi lebih sibuk menghadapi pengunjuk rasa dan massa ketimbang menyelidiki pelaku bom Bali yang belum tertangkap. Padahal pengejaran otak bom Bali II, Oktober 2005, tentu perlu mendapat prioritas sekarang ini.

Tak ada orang normal yang tak marah dengan aksi bom di Bali. Sangat penting mencari benang merah antara dua kejahatan biadab itu. Sebelum itu dilakukan, kita semua harus menahan diri, tak segera menghakimi Amrozi cs, betapapun jengkelnya kita kepada pelaku bom Bali I itu. Apalagi polisi belum mempunyai bukti yang cukup untuk mengaitkan atau membebaskan Amrozi cs dari aksi teror di Kuta dan Jimbaran pada 1 Oktober lalu. Sejauh yang kita tahu, polisi masih mengumpulkan bukti dan keterangan para saksi.

Amrozi dan kawan-kawannya memang sudah terbukti sebagai pelaku peledakan bom pada 12 Oktober 2002 dan sudah pula divonis hukuman mati. Mahkamah Agung juga sudah menolak kasasi mereka. Tapi Pengadilan Negeri Denpasar -- sesuai dengan ketentuan hukum, yaitu surat edaran Mahkamah Agung nomor MA/PEMB/2057/86 tertanggal 26 Februari 1986 -- mengajukan grasi kepada Presiden.

Hukum harus dijunjung tinggi. Suka tidak suka, kita harus menghormati proses hukum yang masih berjalan. Amrozi dan kawan-kawan tak bisa dieksekusi sebelum Presiden mengeluarkan grasi.

Pemberian grasi adalah hak prerogatif presiden yang diatur oleh konstitusi. Terlepas dari apakah kita setuju atau menolak eksekusi mati, Presiden harus segera merespons permohonan grasi itu. Apakah Presiden mempertimbangkan pemanfaatan Amrozi sebagai petunjuk untuk mengungkap bom Bali pada 1 Oktober 2005, sehingga grasinya ditunda atau justru dipercepat, kita beri kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkannya.

Sementara itu, apabila dalam penyelidikan polisi segera terbukti bahwa Amrozi dan kawan-kawan jelas terlibat dengan aksi teror di Kuta dan Jimbaran awal bulan lalu, Presiden harus segera mengeluarkan keputusan tentang grasi itu. Dan kira-kira kita sudah bisa menebak apa isi keputusan Presiden itu.

Diterbitkan di Koran Tempo, 12 Oktober 2005

No comments: