Monday, July 25, 2005

Jaksa Agung Jangan Menyerah

ADA berita baik dan berita buruk ketika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bicara dalam rapat kerja Lembaga Bantuan Hukum di Bali kemarin. Berita baik dari Bali itu cukup menumbuhkan harapan. Jaksa Agung menyatakan, koruptor dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan dijerat dengan Undang-Undang Korupsi. Sebelumnya, pelaku korupsi APBD hanya dikenai pasal-pasal Peraturan Pemerintah Nomor 110/200 tentang Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Korupsi jelas lebih keras sanksi hukumnya ketimbang peraturan pemerintah tadi.

Namun, berita baik ini seakan ditelan berita buruknya. Jaksa Agung memerintahkan para jaksa menunda penanganan kasus korupsi anggaran daerah. Alasannya, sejumlah pengadilan membebaskan para terdakwa. Sejak Oktober 2004 memang banyak kasus korupsi anggaran daerah disidangkan. Sejak itu sudah lima pengadilan membebaskan terdakwa dengan pertimbangan, yang terjadi bukan korupsi tapi kesalahan administrasi.

Sesungguhnya, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, dari 62 kasus dugaan korupsi DPRD, hanya satu yang tersangkanya bebas murni, yaitu di Cianjur. Selebihnya masih menunggu proses banding dan kasasi, atau malah masih dalam tahap pemeriksaan, penyidikan. Dari hasil ini, Jaksa Agung memang perlu mencermati cara kerja anak buahnya dalam membuat dakwaan, tapi tak perlu menunda menyidik perkara.

Menunda penyidikan akan membuat penanganan kasus korupsi di daerah terbengkalai. Padahal korupsi anggaran daerah ini sudah bagai "hujan merata" di hampir semua provinsi. Terlalu banyak anggota Dewan di daerah yang tersangkut. Bila "wabah" ini gagal dicegah, daya rusaknya terhadap rakyat di daerah lebih buruk daripada wabah flu burung.

Pemberantasan korupsi juga tak boleh kehilangan momentum. Jaksa Agung perlu bekerja searah dengan Presiden yang bertekad menjadikan 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi. Dalam kasus korupsi anggaran daerah, mencari penyebab kekalahan jaksa di lima pengadilan tadi lebih bermanfaat. Harus bisa ditunjukkan kepada publik, yang terjadi bukanlah kerja sama yang kompak: surat dakwaan sengaja dibuat "lemah", disambut vonis yang sudah "diarahkan".

Kita khawatir penundaan oleh Jaksa Agung akan diartikan oleh para koruptor anggaran daerah sebagai kalah sebelum bertanding. Jangan sampai muncul kesan Jaksa Agung kurang keras berusaha dalam kasus ini. Abdul Rahman perlu menyadari bahwa beban hidup masyarakat yang bertambah berat menerbitkan dukungan yang tidak kecil bagi upaya pemberantasan korupsi. Dukungan ini tidak boleh dibiarkan surut dengan penundaan penyidikan koruptor anggaran daerah ini. Jaksa Agung Abdul Rahman sudah waktunya menunjukkan bahwa ia masih sanggup menjawab antusiasme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. ***

Diterbitkan di Koran Tempo, 26 Juli 2005

No comments: