Monday, July 18, 2005

Sidang Bersama, Kenapa Tidak

DEWAN Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat mestinya tak perlu mempermasalahkan siapa yang berhak mengundang Presiden untuk membacakan pidato nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006, Agustus mendatang. Kedua lembaga tersebut juga tak perlu bersitegang dalam menentukan sidang terpisah atau bersama-sama hanya untuk mendengarkan masalah yang sama. Urusan sederhana tak perlu dibuat rumit, asalkan kedua belah pihak mau berkomunikasi berdasarkan sikap saling menghargai dan kesetaraan.

Baik DPR maupun DPD merupakan lembaga negara. Hak dan fungsi keduanya diatur dalam konstitusi. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah.

Meski berbeda hak dan fungsinya, pada prakteknya kedua lembaga itu setara di mata konstitusi. Kesetaraan itu diperoleh dari prinsip perwakilan dan perolehan suara. DPD merupakan perwakilan daerah-daerah. Baik anggota DPR maupun DPD dipilih melalui pemilihan umum. Hanya, konstitusi mengatur jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah empat orang, karena itu semua DPD berjumlah tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.

Karena posisinya setara, tak perlu ada perasaan yang satu lebih tinggi daripada yang lain. DPR, misalnya, tak harus merasa paling berhak membuat undang-undang hanya karena konstitusi menyatakan demikian. DPD pun tak perlu merasa jadi underdog, meskipun perannya hanya memberi masukan kepada DPR dalam pembuatan undang-undang. Kedua lembaga negara ini jangan terlalu terikat pada kekakuan atau basa-basi bahasa konstitusi. Daripada terjebak dalam sesuatu yang tak perlu, lebih baik melakukan terobosan-terobosan untuk memecah kebuntuan, seperti kasus undangan kepada Presiden ini.

Salah satu terobosan adalah melakukan sidang bersama untuk mendengarkan rancangan anggaran yang diajukan Presiden. Semangat kesetaraan perlu dikedepankan dalam konteks ini, lagi pula tak ada larangan untuk ini. Kalau tidak ada larangan, mengapa harus bersusah payah berdebat mengenai lembaga mana yang harus mengundang Presiden? Kekhawatiran bahwa forum sidang bersama itu berubah menjadi sidang MPR juga berlebihan. Sidang MPR jelas berbeda dengan sidang bersama antara DPR dan DPD.
Sidang bersama, selain hemat waktu, pasti jauh lebih irit anggaran. Tak perlu ada waktu dan pengeluaran tambahan hanya untuk mendengarkan pidato Presiden atas masalah yang sama. Mumpung pemerintah juga sedang melakukan kampanye penghematan, tak ada salahnya pilihan ini dicoba. ***

Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Juli 2005

No comments: